الردود السنية
على أحمد بن تيمية
AR-RUDUD
AS-SUNNIYYAH
‘ALA AHMAD IBN
TAIMIYAH
Oleh
K.H. MASYHURI
SYAHID, MA
Diterbitkan dan disebarluaskan oleh
Pusat Kajian Islam
Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah
(SYAHAMAH)
PENGANTAR
PENERBIT
Segala puji bagi Allah, Tuhan
sekalian alam. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan atas Sayyidina Muhammad, keluarga serta para sahabatnya yang baik
dan suci.
Ini adalah tulisan
yang ringkas namun cukup komprehensif, berisi nama-nama para ulama Ahlussunnah
Wal Jama’ah yang membantah Ahmad ibn Taimiyah al Harrani, jilid I. Buku ini
ditulis oleh al Ustadz KH Masyhuri Syahid, salah satu ketua MUI Propinsi DKI
Jakarta.
Kami selaku
penerbit, mengetengahkan buku ini ke hadapan
para pembaca yang budiman dengan harapan buku ini menjadi nasehat bagi kaum
muslimin sehingga mewaspadai Ibnu Taimiyah dan tidak membaca buku-bukunya,
karena buku-buku tersebut penuh dengan muatan Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), Tajsim (keyakinan bahwa Allah adalah
jisim; benda, yang mempunyai ukuran, besar atau kecil) dan pengkafiran terhadap
umat Islam yang ber-istighatsah
dengan para nabi dan orang-orang saleh. Tujuan ditulisnya buku ini adalah untuk
membela agama Allah dan menjaga masyarakat muslim dari keyakinan-keyakinan yang
menyimpang.
Pusat Kajian Islam
Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah
(SYAHAMAH)
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah, Tuhan
sekalian alam. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan atas Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya yang baik dan
suci.
Allah ta’ala
berfirman:
)كنتم
خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر(
(ءال عمران :110)
Maknanya: “Kalian adalah sebaik–baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru
kepada al Ma’ruf (hal-hal yang
diperintahkan Allah) dan mencegah dari al Munkar (hal-hal yang dilarang Allah)”.
(Q.S. Ali ‘Imran: 110)
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam bersabda:
"من رأى منكم منكرا فليغيره بيده
فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان" (رواه مسلم)
Maknanya: “Barangsiapa di antara kalian mengetahui suatu perkara munkar,
hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia
merubahnya dengan lisannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia mengingkari
dengan hatinya. Dan hal itu (yang disebut terakhir) paling sedikit buah dan hasilnya; dan merupakan hal yang diwajibkan atas seseorang ketika ia
tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lidahnya”. (H.R. Muslim)
Syari'at telah menyeru untuk mengajak kepada yang al ma’ruf, yaitu hal-hal yang
diperintahkan Allah dan mencegah hal-hal yang munkar, yang diharamkan oleh
Allah, menjelaskan kebathilan sesuatu yang bathil dan kebenaran perkara yang
haqq. Pada masa kini, banyak orang yang
mengeluarkan fatwa tentang agama, sedangkan fatwa-fatwa tersebut sama sekali
tidak memiliki dasar dalam Islam. Karena itu perlu ditulis sebuah buku untuk
menjelaskan yang haqq dari yang bathil, yang benar dari yang tidak benar.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam
Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam memperingatkan masyarakat dari orang yang menipu ketika menjual
makanan. Al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengatakan tentang dua orang yang hidup di
tengah-tengah kaum muslimin: “Saya
mengira bahwa si fulan dan si fulan tidak mengetahui sedikitpun tentang agama
kita ini”.
Kepada seorang khathib, yang mengatakan:
من يطع الله ورسوله فقد رشد ومن يعصهما فقد غوى
Maknanya: "Barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka ia telah
mendapatkan petunjuk, dan barang siapa bermaksiat kepada keduanya maka ia telah
melakukan kesalahan", Rasulullah menegurnya dengan mengatakan:
بئس الخطيب أنت
Maknanya: "Seburuk-buruk khathib adalah engkau”(H.R. Ahmad), ini dikarenakan khathib tersebut menggabungkan
antara Allah dan Rasul-Nya dalam satu dlamir
(kata ganti) dengan mengatakan ومن يعصهما. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “katakanlah:
ومن يعص الله ورسوله
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tidak membiarkan perkara sepele ini,
meski tidak mengandung unsur kufur atau syirik. Jika demikian halnya, bagaimana
mungkin beliau akan tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang menyelewengkan
ajaran-ajaran agama dan menyebarkan penyelewengan-penyelewengan tersebut di tengah-tengah
masyarakat. Tentunya orang semacam
ini lebih harus diwaspadai dan
dijelaskan kepada masyarakat bahaya dan kesesatannya.
Ketika kami menyebut beberapa nama orang yang
menyimpang dalam risalah ini, maka hal ini tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan, bahkan
sebaliknya ini adalah hal yang wajib dilakukan untuk memperingatkan masyarakat.
Dalam sebuah hadits sahih bahwa Fathimah
binti Qays berkata kepada Rasulullah: "Wahai
Rasulullah, aku telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm”. Rasulullah
berkata: "Abu Jahm suka memukul
perempuan, sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta
(yang mencukupi untuk nafkah yang wajib),
menikahlah dengan Usamah”. (H.R.
Muslim dan Ahmad)
Dalam hadits ini
Rasulullah mengingatkan Fathimah binti Qays dari Mu’awiyah dan Abu Jahm. Beliau
menyebutkan nama kedua orang tersebut di belakang mereka dan menyebutkan hal
yang dibenci oleh mereka berdua, ini dikarenakan dua sebab. Pertama: Mu’awiyah orang yang sangat
fakir sehingga ia tidak akan mampu memberi nafkah kepada istrinya. Kedua: Abu Jahm adalah seorang yang
sering memukul perempuan.
Jikalau terhadap hal semacam
ini saja Rasulullah angkat bicara dan memperingatkan, apalagi berkenaan dengan
orang-orang yang mengaku berilmu dan ternyata menipu masyarakat serta
menjadikan kekufuran sebagai Islam. Oleh karena itu Imam asy-Syafi’i mengatakan
di hadapan banyak orang kepada Hafsh al Fard:
“Kamu benar-benar telah kufur
kepada Allah yang Maha Agung” (yakni telah jatuh dalam kufur hakiki yang
mengeluarkan seseorang dari Islam sebagaimana dijelaskan oleh Imam al Bulqini
dalam kitab Zawa-id ar Raudlah),
(lihat Manaqib asy-Syafi’i, jilid I,
h. 407). Beliau juga menyatakan tentang Haram bin Utsman, seorang yang hidup
semasa dengannya dan biasa berdusta
ketika meriwayatkan hadits: "Meriwayatkan
hadits dari Haram (bin Utsman) hukumnya
adalah haram”. Imam Malik juga mencela (jarh)
orang yang semasa dan tinggal di daerah yang sama dengannya; Muhammad bin
Ishaq, penulis kitab al Maghazi. Imam
Malik berkata: “Dia seringkali berbohong". Imam Ahmad bin Hanbal berkata
tentang al Waqidi: “al Waqidi seringkali berbohong”.
SIAPAKAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ?
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas
umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
..فمن أراد بحبوحة
الجنة فليلزم الجماعة
Maknanya: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga
hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al
Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan
hadits
hasan shahih)
Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah,
Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi
(W 333 H) -semoga Allah meridlai
keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits)
dan ‘aqli (argumen rasional) disertai
dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah
(sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah,
Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada
keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari)
dan al Maturidiyyun (para pengikut al
Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam
pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah
Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah”. Mereka
adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para
pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab
Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas
ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa
mengikuti mereka.
Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan
dalam mengetahui aqidah al Firqah
an-Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah
ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Rasulullah
shallalllahu ‘alayhi wasallam ditanya
tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab:
إيـمان بالله ورسوله" (رواه البخاري)"
Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. al Bukhari)
Sama sekali tidak mempunyai arti (berpengaruh),
ketika golongan Musyabbihah mencela ilmu
ini dengan mengatakan "ilmu ini adalah ‘ilm
al Kalam al Madzmum (ilmu kalam yang dicela) oleh salaf. Mereka tidak mengetahui bahwa ‘ilm al Kalam al Madzmum adalah yang
dikarang dan ditekuni oleh Mu’tazilah, Musyabbihah dan ahli-ahli bid’ah semacam
mereka. Sedangkan ‘ilm al Kalam al Mamduh
(ilmu kalam yang terpuji) yang ditekuni oleh Ahlussunnah, dasar-dasarnya
sesungguhnya telah ada di kalangan para sahabat. Pembicaraan dalam ilmu ini
dengan membantah ahli bid’ah telah dimulai pada zaman para sahabat. Sayyidina
Ali -semoga Allah meridlainya- membantah
golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya.
Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad-Dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta alam ini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan empat puluh orang Yahudi yang
meyakini bahwa Allah adalah jism
(benda). Beliau juga membantah
orang-orang Mu’tazilah. Ibn Abbas -semoga
Allah meridlainya- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Ibn Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘Umar
-semoga
Allah meridlai mereka semua- juga telah membantah kaum Mu’tazilah. Dari
kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn
al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -semoga Allah meridlai mereka- juga
telah membantah kaum Mu’tazilah. Dan masih
banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya-, beliau sangat
mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik dan
al Imam Ahmad -semoga Allah meridlai
mereka- sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi (W 429
H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam
Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az-Zarkasyi
(W 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan
al 'Allaamah al Bayyadli (W 1098 H)
dalam Isyarat al Maram dan lain-lain.
Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab
khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al 'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam
‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah
karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam Muhammad ibn
Hibatillah al Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan
karyanya ini kepada sulthan Shalah
ad-Din al Ayyubi (W 589 H) -semoga Allah
meridlainya-, beliau sangat tertarik dengan buku tersebut sehingga
memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di
madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalah ad-Din adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian
khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah.
Beliau memerintahkan para muadzdzin
untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah
di waktu tasbih (sebelum adzan
shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania,
Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan
lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam
menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah
dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.
SEKILAS TENTANG IBNU TAIMIYAH
Ahmad ibn Taimiyah lahir di
Harran, Syiria, di tengah keluarga berilmu yang bermadzhab Hanbali. Ayahnya
adalah seorang yang berperawakan tenang. Beliau dihormati oleh para ulama Syam
dan para pejabat pemerintah sehingga
mereka mempercayakan beberapa jabatan ilmiah kepadanya untuk membantunya.
Setelah ayahnya wafat, Ibnu Taimiyah menggantikan posisinya. Orang-orang yang
selama ini mempercayai ayahnya, menghadiri majelisnya guna mendorong dan
memotivasinya dalam meneruskan tugas-tugas ayahnya dan memujinya. Namun pujian
tersebut ternyata justru membuat Ibnu Taimiyah terlena dan tidak menyadari
motif sebenarnya dibalik pujian tersebut. Ibnu Taimiyah mulai menyebarkan satu
demi satu bid’ah-bid’ahnya hingga para ulama dan pejabat yang dulu memujinya
tersebut mulai menjahuinya satu persatu.
Ibnu Taimiyah meskipun tersohor dan memiliki banyak
karangan dan pengikut, namun sesungguhnya ia adalah seperti yang dinyatakan
oleh al Hafizh al Faqih Waliyy ad-Din
al ‘Iraqi (W 862 H): “Ibnu Taimiyah telah menyalahi Ijma’ dalam
banyak permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah, sebagian dalam masalah Ushul
ad-Din (pokok-pokok agama) dan sebagian berkenaan dengan masalah-masalah furu’
ad-Din (cabang-cabang agama), Ibnu Taimiyah
dalam masalah-masalah tersebut mengeluarkan pendapat lain; yang berbeda setelah terjadi ijma’ di
dalamnya".
Berbagai kalangan orang awam
dan yang lainpun mulai terpengaruh dan mengikuti Ibnu Taimiyah sehingga
ulama-ulama di masa Ibnu Taimiyah mulai angkat bicara dan membantah
pendapat-pendapatnya serta memasukkannya dalam kelompok para para ahli bid’ah.
Di antara yang membantah Ibnu Taimiyah adalah al Imam al Hafizh Taqiyy ad-Din Ali bin Abd al Kafi as-Subki (W 756
H) dalam karyanya ad-Durrah al Mudliyyah
fi ar-Radd 'ala Ibn Taimiyah, beliau mengatakan:
“Amma ba’du. Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam
dasar-dasar keyakinan (Ushul al 'Aqa-id), ia telah meruntuhkan tonggak-tonggak
dan sendi-sendi Islam setelah ia sebelum ini bersembunyi di balik kedok
mengikuti al Qur’an dan as-Sunnah. Pada zhahirnya ia mengajak kepada kebenaran
dan menunjukkan kepada jalan surga, ternyata kemudian ia bukan melakukan ittiba’ (mengikuti sunnah, ulama
Salaf dan konsensus ulama) tetapi justru membuat bid’ah-bid’ah baru, ia menyempal
dari umat muslim dengan menyalahi Ijma’ mereka dan ia juga mengatakan tentang
Allah perkataan yang mengandung tajsim (meyakini Allah adalah jisim; benda yang
memiliki ukuran dan dimensi) dan ketersusunan (tarkib) bagi dan Allah".
Di antara perkataan Ibnu Taimiyah dalam ushul ad-din yang menyalahi ijma’ kaum muslimin adalah perkataannya bahwa jenis
alam ini qadim (tidak bermula),
(sebagaimana ia katakan dalam tujuh karyanya: Muwafaqah Sharih al Ma’qul li
Shahih al Manqul, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Syarh Hadits an-Nuzul, Syarh Hadits ‘Imran ibn al Hushain,
Naqd Maratib al Ijma’, Majmu’ah Tafsir Min Sitt Suwar, Al Fatawa) dan Allah
pada Azal (keberadaan tanpa
permulaan) selalu diiringi dengan makhluk. Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa Allah
adalah jism (bentuk), mempunyai arah
dan berpindah-pindah. Ini semua adalah hal yang ditolak dalam agama Allah ini.
Dalam sebagian karangannya,
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Allah Ta’ala persis sebesar ‘Arsy, tidak lebih
besar atau lebih kecil, Maha suci Allah dari perkataan ini. Ibnu Taimiyah juga
menyatakan bahwa para nabi itu tidak ma’shum,
Nabi Muhammad tidak memilik jah (kehormatan),
karena itu menurutnya jika ada orang bertawassul dengan Nabi maka ia salah
besar (sebagaimana ia nyatakan dalam bukunya
at-Tawassul Wa al Wasilah. Ia
juga mengatakan bahwa berpergian untuk berziarah ke makam Rasulullah adalah perjalanan
yang tergolong maksiat dan tidak boleh mengqashar
shalat karenanya (sebagaimana ia kemukakan dalam kitab al Fatawa). Dalam hal ini ia
benar-benar sangat berlebihan padahal tidak ada seorangpun sebelumnya
berpendapat semacam ini. Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa siksa bagi
penduduk neraka akan terhenti dan tidak akan berlaku selama-lamanya (sebagaimana
dituturkan oleh sebagian ahli fiqh dari sebagian karangan Ibnu Taimiyah dan
dinukil oleh muridnya; Ibn al Qayyim al Jawziyyah dalam kitab Hadi al Arwah).
Ibnu Taimiyah sudah berkali-kali
diperintah untuk bertaubat dari perkataan dan keyakinannya yang sesat ini, baik
dalam masalah-masalah ushul maupun furu', namun ia selalu mengingkari
janji-janjinya sehingga akhirnya ia dipenjara dengan kesepakatan para qadli
(hakim) dari empat madzhab; Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Al Imam al Hafizh al Faqih al Mujtahid
Taqiyy ad-Din as-Subki dalam salah satu risalahnya mengatakan: “Ibnu Taimiyah dipenjara atas kesepakatan
para ulama dan para penguasa”. Terakhir mereka menyatakan Ibnu Taimiyah
adalah sesat, harus diwaspadai dan dijauhi, seperti dijelaskan oleh Ibnu Syakir al Kutubi (murid Ibnu
Taimiyah sendiri) dalam kitabnya ‘Uyun
at-Tawarikh. Pada saat yang sama, raja Muhammad ibn Qalawun mengeluarkan
keputusan resmi pemerintah untuk dibaca di semua Masjid di Syam dan Mesir agar
masyarakat mewaspadai dan menjauhi Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Ibnu
Taimiyah akhirnya dipenjara di benteng Al-Qal’ah di Damaskus hingga mati
di tahun 728 H.
KOMENTAR SEBAGIAN ULAMA AHLUSSUNNAH TENTANG IBNU TAIMIYAH
Al Hafizh Ibnu Hajar (W 852 H) menukil dalam kitab ad-Durar al Kaminah juz I, hlm. 154-155 bahwa para ulama menyebut
Ibnu Taimiyah dengan tiga sebutan: Mujassim,
Zindiq, Munafiq. Ibnu Hajar menyatakan; Ibnu Taimiyah menyalahkan sayyidina ‘Umar ibn al Khaththab –semoga Allah meridlainya-, dia
menyatakan tentang sayyidina Abu Bakr
ash-Shiddiq –semoga Allah meridlainya-
bahwa beliau masuk Islam di saat tua renta dan tidak menyadari betul apa yang
beliau katakan (layaknya seorang pikun). Sayyidina
Utsman ibn ‘Affan –semoga Allah
meridlainya-, -masih kata Ibnu Taimiyah-
mencintai dan gandrung harta dunia (materialis) dan sayyidina 'Ali ibn Abi
Thalib –semoga Allah meridlainya-,
-menurutnya- salah dan menyalahi nash al-Qur’an dalam 17 permasalahan, 'Ali menurut
Ibnu Taimiyah tidak pernah mendapat
pertolongan dari Allah ke manapun beliau pergi, dia sangat gandrung dan haus
akan kekuasaan dan dia masuk Islam di waktu kecil padahal anak kecil itu Islamnya
tidak sah.
Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karyanya Hasyiyah al Idlah fi Manasik al Hajj Wa al 'Umrah
li an-Nawawi, hlm. 214 menyatakan tentang pendapat Ibnu
Taimiyah yang mengingkari kesunnahan safar (perjalanan) untuk ziarah ke makam
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
"Janganlah tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan
ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang disesatkan
oleh Allah seperti dikatakan oleh al ‘Izz
ibn Jama’ah. At-Taqiyy as-Subki dengan panjang lebar juga telah membantahnya
dalam sebuah tulisan tersendiri. Perkataan Ibnu Taimiyah yang berisi celaan dan
penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad
ini tidaklah aneh karena dia bahkan telah mencaci Allah, Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang kafir dan atheis. Ibnu
Taimiyah menisbatkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah, ia menyatakan Allah
memiliki arah, tangan, kaki, mata (yang merupakan anggota badan) dan hal-hal
buruk yang lain. Karenanya, Demi Allah ia telah dikafirkan oleh banyak
para ulama, semoga Allah memperlakukannya dengan kedilan-Nya dan tidak menolong
pengikutnya yang mendukung dusta-dusta yang dilakukan Ibnu Taimiyah terhadap
Syari’at Allah yang mulia ini”.
Pengarang kitab Kifayatul
Akhyar Syekh Taqiyy ad-Din al Hushni (W 829 H), setelah menuturkan bahwa
para ulama dari empat madzhab menyatakan Ibnu Taimiyah sesat, dalam kitabnya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa
tamarrada beliau menyatakan:
فصار كفره (ابن تيمية) مجمعا عليه
“Maka dengan demikian, kekufuran Ibnu Taimiyah
adalah hal yang disepakati oleh para ulama”.
Adz-Dzahabi (Mantan murid Ibnu Taimiyah) dalam risalahnya Bayan Zaghal al Ilmi wa ath-Thalab, hlm 17
berkata tentang Ibnu Taimiyah:
”Saya sudah lelah mengamati dan menimbang sepak terjangnya (Ibnu
Taimiyah), hingga saya merasa bosan setelah bertahun-tahun menelitinya. Hasil
yang saya peroleh; ternyata bahwa penyebab tidak sejajarnya Ibnu Taimiyah dengan
ulama Syam dan Mesir serta ia dibenci, dihina, didustakan dan dikafirkan oleh
penduduk Syam dan Mesir adalah karena ia
sombong, terlena oleh diri dan hawa nafsunya (‘ujub), sangat haus dan gandrung
untuk mengepalai dan memimpin para ulama dan sering melecehkan para ulama
besar. Lihatlah Wahai pembaca betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang
tidak dimilikinya dan betapa nestapanya akibat yang ditimbulkan dari gandrung
akan popularitas dan ketenaran. Kita mohon semoga Allah mengampuni kita".
Adz-Dzahabi melanjutkan:
“Sesungguhnya apa yang telah menimpa Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya,
hanyalah sebagian dari resiko yang harus mereka peroleh, janganlah pembaca
ragukan hal ini”.
Risalah adz-Dzahabi ini memang benar adanya dan
ditulis oleh adz-Dzahabi karena al Hafizh
as-Sakhawi (W 902 H) menukil perkataan
adz-Dzahabi ini dalam bukunya al I’lan bi
at-Taubikh, hlm. 77.
Al Hafizh
Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu Taimiyah juga mencelanya.
Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) juga melakukan hal yang sama, sejak membaca pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Kitab al ’Arsy yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi dan telah menyisakan tempat kosong di Kursi itu untuk mendudukkan Nabi Muhammad shallallahu
‘alayhi wasallam bersama-Nya”, beliau melaknat Ibnu Taimiyah. Abu
Hayyan mengatakan: “Saya melihat sendiri
hal itu dalam bukunya dan saya tahu betul tulisan tangannya". Semua ini
dituturkan oleh Imam Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya yang berjudul an-Nahr al Maadd min al Bahr al Muhith.. Ibnu
Taimiyah juga menuturkan keyakinannya bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dalam beberapa kitabnya: Majmu’ al Fatawa, juz IV, hlm. 374, Syarh
Hadits an-Nuzul, hlm. 66, Minhaj
as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz I ,
hlm. 262. Keyakinan seperti ini jelas
merupakan kekufuran. Termasuk kekufuran Tasybih;
yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dijelaskan oleh para
ulama Ahlussunnah. Ini juga merupakan
bukti bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah Mutanaaqidl
(Pernyataannya sering bertentangan antara satu dengan yang lain). Bagaimana ia mengatakan -suatu saat- bahwa Allah
duduk di atas ‘Arsy dan –di saat yang lain- mengatakan Allah duduk di atas Kursi ?!, padahal kursi itu jauh sangat
kecil di banding ‘Arsy.
Setelah semua yang dikemukakan ini, tentunya tidaklah
pantas, terutama bagi orang yang mempunyai pengikut untuk memuji Ibnu Taimiyah
karena jika ini dilakukan maka orang-orang tersebut akan mengikutinya, dan dari
sini akan muncul bahaya yang sangat besar. Karena Ibnu Taimiyah adalah penyebab
kasus pengkafiran terhadap orang yang ber-tawassul,
ber-istighatsah dengan Rasulullah dan
para Nabi, pengkafiran terhadap orang yang berziarah ke makam Rasulullah, para
Nabi serta para Wali untuk ber-tabarruk.
Padahal pengkafiran seperti ini belum pernah terjadi sebelum kemunculan Ibnu Taimiyah.
Sementara itu, sekarang ini para pengikut Ibnu Taimiyah juga mengkafirkan
orang-orang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi dan
orang-orang yang Saleh, bahkan mereka menamakan Syekh ‘Alawi ibn Abbas al Maliki dengan nama Thaghut
Bab as-Salam (ini artinya mereka
mengkafirkan Sayyid ‘Alawi), karena beliau -semoga
Allah merahmatinya- mengajar di sana,
di Bab as-Salam, al Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah.
PARA ULAMA, AHLI FIQH DAN PARA QADHI YANG MENDEBAT ATAU
MEMBANTAH IBNU TAIMIYAH
Berikut
adalah nama-nama para ulama yang semasa dengan
Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta menyerang pendapat-pendapatnya. Mereka adalah para ulama dari
empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1.
Al Qadli al Mufassir Badr ad-din Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i
(W 733 H).
2.
Al Qadli Muhammad ibn al Hariri al Anshari al Hanafi.
3.
Al Qadli Muhammad ibn Abu Bakar al Maliki
4.
Al Qadli Ahmad ibn ‘Umar al Maqdisi al Hanbali
Dengan fatwa empat Qadli (hakim)
dari empat madzhab ini, Ibnu Taimiyah dipenjara pada tahun 762 H. Peristiwa ini
diuraikan dalam ‘Uyun at-Tawarikh
karya Ibnu Syakir al Kutubi, Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi karya
Ibn al Mu’allim al Qurasyi.
5.
Syekh
Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i,
kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang
yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh
Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an-
Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh
Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
6.
Syekh Kamal
ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalam Tuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau
ini semasa dengan Ibnu Taimiyah .
7.
Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W 710
H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi
‘Ilm al Kalam.
8.
Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau
berkata: "Ibnu Taimiyah berkeyakinan
Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib
dibunuh”.
9.
Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau
mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya .
10.
Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau
mengatakan: "Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas
‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman)
dengan huruf dan suara".
11.
Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam beberapa karyanya:
- Al I’tibar Bi Baqa
al Jannah Wa an-Nar
- Ad-Durrah al
Mudliyyah Fi ar- Radd ‘Ala Ibn
Taimiyah
- Syifa as-Saqam fi
Ziyarah Khairi al Anam
- An-Nazhar al Muhaqqaq
fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
- Naqd al Ijtima’ Wa
al Iftiraq fi Masa-il al Ayman wa ath-Thalaq
- at-Tahqiq fi
Mas-alah at Ta’liq
-
Raf' asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
12.
Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli
al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki,
yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau
membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
13.
Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti
dijelaskan dalam:
- Dzakha-ir al Qashr
fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33,
buah karya
Ibnu Thulun
- Ahadits
Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi
wasallam
14.
Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn
Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali
(W 762 H).
15.
Syekh
Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733
H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk
membantahnya, berjudul Risalah fi
Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah
(arah) bagi Allah.
16.
Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah
dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan
ziarah ke makam Rasulullah.
17.
Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W 715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
18.
Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu
Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
19.
Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
20.
Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam
dua risalahnya:
-Risalah fi ar-Radd
‘Ala Ibn Taimiyah fi Mas-alah
ath-Thalaq.
-Risalah fi ar-Radd
‘Ala Ibn Taimiyah fi Mas-alah
az-Ziyarah.
21.
Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
22.
Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din
Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
23.
Surat keputusan
resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk
memenjarakannya.
24.
Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam
dua risalahnya :
-Bayan Zaghal
al ‘Ilm wa ath- Thalab.
-An-Nashihah
adz-Dzahabiyyah
25.
Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr
al Muhith.
26.
Syekh ‘Afif
ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
27.
Al Faqih ar-Rahhalah Ibnu Baththuthah (W 779 H) dalam karyanya Rihlah Ibn Baththuthah.
28.
Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah
al Kubra.
29.
Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764 H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya: ‘Uyun at-Tawarikh.
30.
Syekh
‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala
Munkir az-Ziyarah.
31.
Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al
Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az-Ziyarah al-Muhammadiyyah.
Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as-Sathi’ah karya Al ’Azami.
32.
Syekh Isa
az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah
fi Mas-alah ath- Thalaq
33.
Syekh Ahmad
ibn Utsman at-Turkamani al-Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al
Abhats al Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.
34.
Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang
terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam: Bayan Musykil al
Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
35.
Al Hafizh
Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya:
-Ad-Durar al Kaminah
fi A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah
-Lisan al Mizan
-Fath al Bari Syarh
Shahih al Bukhari
-Al Isyarah Bi
Thuruq Hadits az- Ziyarah
36.
Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
37.
Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy-Syafi’i (W 851 H) dalam
Tarikh Ibn Qadli Syuhbah.
38.
Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam
Ahmad.
39.
Pimpinan
para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803
H).
40.
Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah
dan orang yang menyebutnya Syekh al Islam[1].
Artinya orang yang menyebutnya dengan julukan Syekh al Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat
kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh
as-Sakhawi dalam Adl-Dlau Al Lami'.
41.
Syekh
Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W 867 H)
dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu
Taimiyah fi al I’tiqad.
42.
Syekh
Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W 899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
43.
Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan
Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
44.
Ahmad ibn
Muhammad Yang dikenal dengan Ibnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath 'Ali ibn
Nashir.
45.
Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu
Qira (W 968 H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.
46.
al Bayyadli
al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram
Min ‘Ibarat al Imam.
47.
Syekh
Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah
an- Nazhirin Wa Khulashah Manaqib ash- Shalihin.
48.
Syekh Ibnu
Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karya-karyanya;
- Al Fatawi al Haditsiyyah
- Al Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr al Mu’azhzham
- Hasyiyah
al Idhah fi Manasik
al Hajj
49.
Syekh Jalal
ad-Din ad-Dawwani (W 928 H) dalam Syarh al ‘Adludiyyah.
50.
Syekh 'Abd
an-Nafi’ ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Arraq ad-Dimasyqi (W 962 H) seperti
dijelaskan dalam Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm. 32-33, buah karya Ibnu Thulun.
51.
Al Qadli Abu Abdullah al Muqri dalam Nazm
al-La-ali fi Suluk al Amali.
52.
Mulla ‘Ali
al Qari al Hanafi (W 1014 H) dalam Syarh
asy-Syifa li al Qadli ‘Iyadl.
53.
Syekh Abd
ar-Ra-uf al Munawi asy -Syafi’i (W 1031
H) dalam Syarh asy-Syama-il li at-
Tirmidzi.
54.
Al Muhaddits Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Illan ash-Shiddiqi al Makki (W 1057 H) dalam
risalahnya al Mubrid al Mubki fi ar-Radd
'ala ash-Sharim al Munki.
55.
Syekh
Ahmad al Khafaji al Mishri al Hanafi (W 1069 H) dalam Syarh asy-Syifa li al Qadli ‘Iyadl.
56.
Al Muarrikh Ahmad Abu al ‘Abbas al Muqri (W 1041 H) dalam Azhar ar-Riyadl.
57.
Syekh
Ahmad az-Zurqani al Maliki (W 1122 H) dalam Syarh
al Mawahib al-Ladunniyyah.
58.
Syekh Abd
al Ghani an-Nabulsi (W 1143 H) dalam banyak karya-karyanya.
59.
Al Faqih ash-Shufi Muhammad Mahdi ibn
‘Ali ash Shayyadi yang terkenal dengan ar-Rawwas
(W 1287 H)
60.
As-Sayyid Muhammad Abu al Huda ash-Shayyadi (W 1328 H)
dalam Qiladah
al Jawahir.
61.
Al Mufti Musthafa ibn Ahmad asy-Syaththi al Hanbali ad-Dimasyqi (W 1349 H) dalam
karyanya an-Nuqul asy-Syar’iyyah.
62.
Mahmud Khaththab
as-Subki (W 1352 H) dalam ad-Din al Khalish
atau Irsyad al Khalq Ila ad-Din
al-Haqq.
63.
Mufti
Madinah asy-Syekh Al Muhaddits
Muhammad al Khadlir asy-Syinqithi (W 1353 H) dalam karyanya Luzum ath-Thalaq ats-Tsalas Daf’uhu Bi Ma La
Yastathi’ al ‘Alim Daf’ahu.
64.
Syekh
Salamah al ‘Azami asy-Syafi’i (W 1376 H) dalam al Barahin as-Sathi’ah fi Radd Ba’dl al Bida’ asy-Sya-i’ah dan beberapa
makalah dalam surat kabar Mesir Al Muslim
65.
Mufti Mesir
Syekh Muhammad Bakhit al Muthi’i (W 1354 H) dalam karyanya Tathhir al Fuad Min Danas aI I’tiqad
66.
Wakil Syekh al Islam pada Daulah Utsmaniyyah (Dinasti Bani Utsman) Syekh Muhammad Zahid al
Kawtsari (W 1371 H) dalam beberapa karyanya:
-Maqalat al Kawtsari
-At-Ta’aqqub al Hatsits
lima Yanfihi Ibnu Taimiyah mi
al Hadits
-Al Buhuts al Wafiyyah
fi Mufradat Ibnu Taimiyah
-Al Isyfaq ‘Ala
Ahkam ath- Thalaq
67.
Ibrahim
ibn Utsman as-Samnudi al Mishri dalam karyanya Nushrah al Imam as-Subki Bi Radd ash-Sharim al Munki.
68.
‘Alim Makkah
Muhammad al ‘Arabi at-Tabban (W 1390 H) dalam Bara-ah al Asy’ariyyin Min ‘Aqa-id al Mukhalifin.
69.
Syekh
Muhammad Yusuf al Banuri al Bakistani dalam Ma’arif
as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.
70.
Syekh
Manshur Muhammad ‘Uwais dalam Ibnu Taimiyah
Laisa Salafiyyan.
71.
Al-Hafizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al Ghummari al Maghribi (W 1380 H) dalam beberapa
karyanya, di antaranya:
-Hidayah
ash-Shaghra
-Al Qaul al Jaliyy
72.
asy-Syekh al Muhaddits Abdullah al Ghammari al Maghribi (W 1413 H) dalam banyak karyanya, di
antaranya:
- Itqan ash-Shan-‘ah
Fi Tahqiq Ma’na al Bid’ah
- Ash-Shubh as-Safir fi Tahqiq Shalah
al Musafir
- Ar-Rasa-il al
Ghammariyyah
73.
Al Musnid Abu al Asybal Salim ibn Jindan (W 1969 H) dari Jakarta Indonesia dalam
karyanya Al Khulashah al Kafiyah fi al Asanid al ‘Aliyah.
74.
Hamdullah
al Barajuri, ‘Alim Saharnapur dalam al Bashair Li Munkiri at-Tawassul Bi Ahl al Qubur
75.
Syekh
Musthafa Abu Sayf al Hamami. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dalam karyanya Ghawts al ‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad. Buku ini mendapat persetujuan dan rekomendasi dari
beberapa ulama besar, di antaranya; Syekh Muhammad Sa’id al ‘Arfi, Syekh Yusuf
ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Syekh Muhammad al Buhairi, Syekh Muhammad
Abd al Fattah ‘Inati, Syekh Habibullah al Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah
al ‘Arabi dan Syekh Muhammad Hifni Bilal.
76.
Muhammad
ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al Mishri
77.
As-Sayyid Syekh al Faqih Alawi ibn
Thahir al Haddad al Hadlrami.
78.
Mukhtar
ibn Ahmad al Muayyad al ‘Adzami (W 1340 H) dalam Jala’ al Awham ‘An Madzahib al A-immah
al 'Izham Wa at-Tawassul Bi Jahi Khair al Anam ‘Alaihi ash-Shalatu Wa as-Salam yang
beliau tulis sebagai bantahan terhadap buku Ibnu Taimiyah; Raf' al Malam.
79.
Syekh
Ismail al Azhari dalam Mir-at an-Najdiyyah.
80.
KH.
Muhammad Ihsan dari Jampes Kediri Jawa timur dalam Kitabnya Siraj ath-Thalibin
81.
KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari (W 1366 H/1947 R), Rais
Akbar Nahdlatul Ulama dari Jombang Jawa Timur, dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
82.
KH. Ali
Maksum (W 1989 R), Rais ‘am Nahdhatul
Ulama IV dari Yogyakarta Jawa Tengah dalam bukunya Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
83.
KH Abu al
Fadll bin Abd asy-Syakur, dari Senori Tuban Jawa Timur dalam kitab-kitabnya, di antaranya:
- Al Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al
Musamma Bi Ahlussunnah Wal Jama’ah
- Syarh al Kawakib al-Lamma’ah
84 KH. Ahmad Abdul Hamid dari Kendal
Jawa Tengah dalam Bukunya ’Aqa-id Ahlussunnah Wal Jama’ah
85. KH Siradjuddin 'Abbas (W
1401 H/1980 R) dalam banyak karyanya:
-I’tiqad
Ahlussunnah wal Jama’ah
- 40 Masalah
Agama, jilid IV
86.Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid ash-Shaulati (W 1997 R) Ampenan Pancor Lombok NTB dalam
bukunya Hizb
Nahdhatul Wathan Wa Hizb Nahdhatul Banat.
87. KH. Muhammad Muhajirin
Amsar ad-Dari (W 2003 R) dari Bekasi Jawa Barat dalam salah satu surat yang
beliau tulis.
88. Al Habib Syekh al Musawa ibn Ahmad al Musawa as-Saqqaf; Penasehat
Umum Perguruan Tinggi dan Perguruan Islam Az Ziyadah Klender Jakarta Timur.
89. KH. Muhammad Syafi’i
Hadzami Mantan Ketua Umum MUI Propinsi DKI Jakarta 1990-2000 dalam bukunya Taudlih
al Adillah.
90. KH. Ahmad Makki Abdullah
Mahfudz Sukabumi Jawa Barat dalam Bukunya Hishnu as-Sunnah Wal Jama’ah fi Ma’rifat Firaq Ahl al Bid’ah.
91. Syekh Abdullah Tha'ah. Beliau membantah Ibnu
Taimiyah dalam bukunya al Fatawa al
'Aliyyah yang beliau tulis pada tahun 1932. Buku ini memuat fatwa para
ulama, para Imam, pengajar dan para mufti
serta para Qadli di Makkah, yang sebagian berasal dari Indonesia,
Thailand dan lain-lain. Mereka menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah sesat dan
menyesatkan. Berikut nama para ulama yang turut menghadiri majlis pernyataan
fatwa tersebut serta menandatanganinya : Sayyid Abdullah –Mufti Madzhab Syafi'i
di Makkah-, Syekh Abdullah Siraj –pimpinan para Qadli dan Kepala para ulama
Hijaz-, Syekh Abdullah ibn Ahmad –Qadli Makkah-, Syekh Darwisy –Amin Fatwa Makkah-, Muhammad 'Abid ibn
Husain –Mufti Madzhab Maliki di Makkah-, Syekh Umar ibn Abu Bakr Bajuneid
–Wakil Mufti Madzhab Hanbali di Makkah-, Syekh Abdullah ibn Abbas –Wakil Qadli
Makkah-, Syekh Muhammad Ali ibn Husein
al Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh Ahmad al Qari –Qadli
Jeddah-, Syekh Muhammad Husein –Seorang
Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh
Mahmud Zuhdi ibn Abdur Rahman –Seorang
pengajar di Makkah-, Syekh Muhammad
Habibullah ibn Maayaabi –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Abdul Qadir ibn Shabir al Mandayli
(Mandailing-Sumut) –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Mukhtar ibn 'Atharid al Jawi (asal
Jawa) –Seorang pengajar di Makkah-,
Syekh Sa'id ibn Muhammad al Yamani –Seorang Imam dan pengajar di
Makkah-, Syekh Muhammad Jamal ibn
Muhammad al Amir al Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Sayyid 'Abbas ibn 'Abdul 'Aziz al Maliki
–Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Abdullah Zaydan asy-Syinqithi –Seorang
pengajar di Makkah-, Syekh Mahmud Fathani (asal Thailand) –Seorang pengajar di
Makkah-, Syekh Hasanuddin ibn Syekh Muhammad Ma'shum asal Medan Deli-Sumut.
92. Syekh Ahmad Khathib al Minangkabawi, Seorang
Imam Madzhab Syafi'i di Makkah asal Minangkabau Sumatera dalam bukunya al Khiththah al Mardliyyah.
93. Syekh Muhammad Ali Khathib Minangkabau,
Murid Syekh Ahmad Khathib al
Minangkabawi, dalam kitabnya Burhan al Haqq. Beliau juga telah
mengumpulkan para ulama di Sumatera untuk membantah Rasyid Ridla penulis al Manar dan para pengikutnya di
Indonesia.
94. Syekh Abdul Halim ibn Ahmad Khathib al
Purbawi al Mandayli, Murid Syekh Mushthafa Husein, pendiri Pon-Pes. al
Mushthafawiyyah, Purba Baru, Sumut dalam risalahnya Kasyf al Ghummah yang beliau tulis tahun 1389 H -12/8/1969.
95. Syekh Abdul Majid Ali (W. 2003) Kepala Kantor
Urusan Agama daerah Kubu-Riau, Sumatera, salah seorang ulama kharismatik dan
terkenal di daerah tersebut. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan menyatakan
bahwa gurunya Syekh Abdul Wahhab Panay-Medan mengkafirkan Ibnu Taimiyah.
96. K.H. Abdul Qadir Lubis, pimpinan Pon.Pes. Dar
at-Tauhid, Mandailing-Sumut (W. 2003). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah di
sebagian majlisnya.
97. K.H. Muhammad Sya'rani Ahmadi Kudus Jawa
Tengah dalam bukunya al Fara-id
as-Saniyyah wa ad-Durar al Bahiyyah yang beliau tulis pada tahun 1401 H.
Dalam buku ini beliau menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah seorang Musyabbih Mujassim (orang yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim -benda-).
98. K.H. Muhammad Mashduqi Mahfuzh, Ketua Umum
MUI Jawa Timur dalam bukunya al
Qawa'id al Asasiyyah li Ahlissunnah Wal Jama'ah.
99. Syekh al Muhaddits al Faqih Abdullah al Harari al Habasyi dalam kitabnya al Maqalaat as-Sunniyyah Fi Kasyf Dlalalaat
Ahmad ibn Taimiyah.
Terakhir, Wahai seorang pencari kebenaran, lihat dan amatilah! bagaimana
mungkin kita berpegangan dengan orang yang dicela oleh sekian banyak para ulama
yang menjelaskan hakekatnya serta kesesatan-kesesatannya agar diwaspadai,
dijauhi dan tidak diikuti oleh umat. Apakah menjelaskan kebenaran itu pantas
ditentang dan ditolak !? Subhanaka Hadza Buhtan
'Azhim.
قال
الإمام العالم الصوفي أبو علي الدقاق: "الساكت عن الحق شيطان أخرس"
)رواه أبو القاسم القشيـري في رسالته(
Al Imam al ‘Alim ash Shufi Abu ‘Ali ad-Daqqaq -semoga Allah
meridlainya- yang maknanya:
”Orang yang diam dan tidak menjelaskan kebenaran adalah setan yang bisu”.
(Diriwayatkan oleh Abu al Qasim al Qusyayri
dalam Ar-Risalah al Qusyairiyyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.