Senin, 10 Januari 2011

PENDAHULUAN
Sebelum kami uraikan mengenai tasawuf modern yang ada pada zaman sekarang ini, maka lebih baiknya kami dahului beberapa kontek dasar untuk menunjang itu semua, Banyak Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa pelaksanaan ibadah – pengalaman, fiqih – yang bersifat habl minallah baik dalam kontek kejiwaan maupun material, lebih ditempatkan sebagai simbolisme meski tetap wajib dilaksanakan. secara rinci bahwa substansi pelaksanaan ibadah yang terdiri dari iman, amal dan ikhsan adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.
Dalam rumusan Iman. Islam dan ihksan, sebagaimana dalam sabda nabi saw,
“Dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu 'anh, dia berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata," Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam " Rasulullah menjawab,"Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya." Orang itu berkata,"Engkau benar," kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang Iman" Rasulullah menjawab,"Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk" Orang tadi berkata," Engkau benar" Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang Ihsan" Rasulullah menjawab,"Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu." Orang itu berkata lagi,"Beritahukan kepadaku tentang kiamat" Rasulullah menjawab," Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya." selanjutnya orang itu berkata lagi,"beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya" Rasulullah menjawab," Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan." Kemudian pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, "Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?" Saya menjawab," Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui" Rasulullah berkata," Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu"
Secara teologis, manusia adalah mahkluk allah, ia adalah ciptaannya yang ditunjuk sebagai hamba dan kholifahnya di muka bumi ini. Manusia diciptakan oleh allah dari tanah liat, allah berfirman:
  •         
7. yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
         
71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
Di samping jasad, manusia juga mempunyai ruh. Allah berfirman:
         
29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
LATAR BELAKANG
Karena semakin majunya peradapan masyarakat, entah dalam dunia bisnis, dunia kerja, sosial kemasyarakatan maupun kehidupan kita yang majmuk, disitu kita pasti akan menemukan kejenuhan tiada tara, kekosongan jiwa, yang tidak akan tau dari mana sumbernya, maka dengan sedikit pandangan dari kami memungkinkan kesemuanya nanti kembali kepada hasil yang diinginkan.
Dan juga gencarnya ajaran-ajaran yang memisahkan dunia dengan agama, sehingga proses interaksi sosial tidak ada batasnya, sehingga keduniawian adalah kebahagiaan yang tiadatara. Tidak itu saja kemajuan di Era ini memang banyak melupakan konsep-konsep Agama, mendewakan harta benda, memuja sang Artis, dan lain sebagainya.
Mau lari kemana mereka kalau sudah jenuh melakukan semua kegiatan didunia tanpa ada manfaat malah menjauhkan diri dari sang khaliq, adalah ketidakbebasan jikalau terus dikekang oleh hawa nafsu, mau lari kemana mereka itu?, tidak lain adalah bunuh diri, menyepi, dan melapiaskan nafsu hinanya.
Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, tidak pandang bulu, dari mana asalmu, mengajarkan semua konsep kehidupan mulai dari A – Z, tinggal kita mau mencari atau tidak.
Masyarakat modern dewasa ini tumbuh dari pengembangan kebudayaan Yunani purba yang puncaknya ajaran filsafat rasional yang menyebar ke timur tengah lantaran pengembangan dan penaklukan raja Alexander yang agung. Kebudayaan Yunani Purba memang sangat unik, karena dai sinilah muncul pemikiran filsafat yang rasional dan ilmiah, maka dalam perkembangan filsafat dan kebudayaan yunani purba ini dinamakan zaman klasik atau zaman embrio dari masyarakat modern dewasa ini. Yang mana memunculkan pemikiran-pemikiran yang rasional ilmiah.
Saya mencoba mengambil arti kutipan S. Takdir Ali Syahbana, mengenai perbedaan yng fundamental antara filsafat rasional dari barat dan filsafat kebatinan dari timur ( India, Persia, Cina, Kejawen, Tasawuf dan sebagainya). Pokok perbedaan itu antara lain :
1. Barat memandang manusia bukan alam dan berbeda dengan alam. Menurut timur manusia itu sebagai mikrokosmos (jagat cilik).
2. Budaya barat mengakui adanya hukum alam yang mekanistik yang perlu dikaji dan dimanfaatkan bagi pengembangan cara berfikir dan ilmu pengetahuan. Dan sebaliknya dalam filsafat kebatinan dan mistik timur tidak memperdulikan adanya hukum alam.
3. Filsafat barat menggerakkan manusia untuk mengkaji rahasia-rahasia hukum alam untuk memanfaatkan bagi kemajuan hidup manusia. Sedangkan filsafat timur menggerakkan kegandrungan manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia alam ghaib yang di balik alam nyata ini.
Melihat kutipan diatas, bahwa yang punya pemikiran yang sejajar dan seirama dengan budaya barat adalah agama yahudi, Kristen dan islam. Terutama Islam Sunni (Islam Sar'i) bukannya Islam Sufi.





PENGEMBANGAN DALAM ILMU TASAWUF
Ajaran tasawuf menurut kodratnya adalah ekstrim kerohanian dan anti kritik penalaran kerohanian. Akhirnya dalam pengembangannya mampu mendominasi alam pikiran islam sejak runtuhnya bagdad dan cordova.

Tasawuf itu juga tidak berhenti pada masalah ukhrawi saja, tapi masalah sosial, budaya, dan kultur masyarakat juga menjadi segmen yang perlu dipertimbangkan, dan juga tidak lepas dari benturan-benturan politik dan sifat-sifat keduniawian.

Baiklah membicarakan Tasawuf pasti berkaitan sekali dengan yang dinamakan Thoriqoh, dan saya tidak akan memihak pada salah satu thoriqoh yang ada di Indonesia, tapi mencoba menggali dari semua yang menurut saya bagus tentang penyucian hati dalam khasanah keilmuan Agama Islam.
Dengan keterangan diatas saya mencoba menguraikan sesuatu yang terkandung dalam islam itu sendiri.
1. Keberadaan Allah
Al-Qur`an menginformasikan kepada kita tentang kebenaran sifat-sifat Allah,
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (al-Baqarah: 255)
Memahami kekuasaan Allah swt. dengan baik merupakan ikatan awal dalam rantai keimanan. Sesungguhnya, seorang mukmin akan meninggalkan pandangan masyarakat yang menyimpang tentang kekuasaan Allah swt. dan menolak keyakinan sesat dengan mengatakan, “Dan bahwasanya Orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.” (al-Jin: 4)
Kaum muslimin memercayai Allah swt. sesuai dengan penjelasan Al-Qur`an. Mereka melihat tanda-tanda keberadaan Allah pada dunia nyata dan alam gaib, kemudian mulai memercayai keagungan seni dan kekuasaan Allah.
Akan tetapi, jika umat berpaling dari Allah serta gagal bertafakur kepada Allah dan ciptaan-Nya, mereka akan mudah terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan yang menyesatkan pada saat ditimpa kesusahan. Allah menyebutnya sebagai bahaya yang potensial, dalam surah Ali Imran: 154, mengenai umat yang menyerah dalam berperang, “... sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah....”
Seorang muslim seharusnya tidak melakukan kesalahan seperti itu. Karena itu, dia harus membebaskan hatinya dari segala sesuatu yang dapat memunculkan sangkaan jahiliah dan menerima keimanan yang nyata dengan segenap jiwa sebagaimana penjelasan dalam Al-Qur`an.
2. Taqwa kepada Allah Sesuai Kesanggupan
Bertaqwa kepada Allah adalah awal dari segalanya. Semakin tebal ketaqwaan seseorang kepada Allah, semakin tinggi kemampuannya merasakan kehadiran Allah. Al-Qur`an memberikan contoh beberapa rasul yang dapat kita bandingkan dengan diri kita sehingga paham bahwa kita dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt..
Allah swt. menginginkan manusia agar bertaqwa dengan sebenar-benarnya. Berbagai cara untuk menunjukkan penghormatan kepada Yang Mahakuasa dapat dilakukan, sebagai contoh: berjalan di jalan Allah, melakukan perbuatan baik, mengikuti contoh-contoh yang diberikan para rasul, menaati serta memperhatikan ajaran-ajaran Allah, dan sebagainya.

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (at-Taghaabun: 16)
3. Takdir
Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur`an, “... Allah mengatur urusan (makhluk-Nya)….” (ar-Ra’d: 2) Dalam ayat lain dikatakan, “… dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)....” (al-An’aam: 59) Dialah Allah Yang menciptakan dan mengatur semua peristiwa, bagaimana mereka berawal dan berakhir. Dia pulalah yang menentukan setiap gerakan bintang-bintang di jagat raya, kondisi setiap yang hidup di bumi, cara hidup seseorang, apa yang akan dikatakannya, apa yang akan dihadapinya, Kaum mukminin seharusnya menyadari kenyataan yang agung ini. Sebagai konsekuensinya, sudah seharusnya mereka tidak berbuat kebodohan seperti orang-orang yang menolak kenyataan dalam hidupnya. Dengan memahami bahwa hidup itu hanya ”mengikuti takdir”, mereka tidak akan pernah kecewa atau merasa takut terhadap apa pun. Mereka menjadi yakin dan tenang seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. yang bersabda kepada sahabatnya, “Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (at-Taubah: 40) ketika sahabatnya itu merasa khawatir ditemukan para pemuja berhala yang bermaksud membunuh mereka ketika bersembunyi di dalam gua.
4. Iman kepada Allah
Karena Allah adalah pembuat keputusan, setiap kejadian merupakan anugerah bagi makhluk-Nya: segala sesuatu telah direncanakan untuk kebaikan agama dan untuk kehidupan orang yang beriman di akhirat kelak. Kaum mukminin dapat merujuk pada pengalaman mereka untuk melihat bahwa ada sesuatu yang bermanfaat bagi diri mereka pada akhir sebuah kejadian. Untuk alasan tersebut, kita harus selalu memercayai Allah.
Dialah Yang Maha Esa dan Maha Melindungi. Seorang mukmin harus bersikap sebagaimana yang Allah inginkan: memenuhi tanggung jawabnya kemudian berserah diri pada Allah dengan hasilnya. Ayat berikut mengungkapkan misteri ini, yang tidak diketahui oleh orang-orang yang ingkar.
“... Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya, Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (ath-Thalaaq: 2-3)
5. Bertafakur
Di dalam Al-Qur`an dijelaskan bahwa orang-orang yang ingkar kepada Allah swt. adalah orang yang tidak mengenal ataupun menyadari adanya tanda-tanda Allah. Yang membedakan seorang muslim dengannya adalah kemampuannya untuk melihat tanda-tanda tersebut dan bukti-buktinya. Dia tahu bahwa semua ini tidak diciptakan dengan sia-sia dan dia pun dapat menyadari kekuatan serta keagungan seni Allah di mana pun dan mengetahui cara memuja-Nya. Dialah yang termasuk orang yang berakal.
“Sesungguhnya, Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” (al-An’aam: 95)
Biji-bijian ini merupakan salah satu dari sejumlah tanda-tanda ciptaan Allah swt. di alam ini. Jika manusia mulai berpikir tidak hanya dengan akal mereka, tetapi juga dengan hati mereka dan bertanya sendiri, “mengapa dan bagaimana”, mereka akan mampu memahami bahwa semua yang ada di alam ini merupakan bukti keberadaan dan kekuasaan Allah.
6. Berhati-hati
Allah menciptakan alam ini dengan disertai tanda-tanda penciptaan-Nya. Akan tetapi, orang yang mengingkari-Nya tidak dapat memahami kenyataan tersebut karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk “melihat” tujuan penciptaan ini. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur`an, “... mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah)....” (al-A’raaf: 179) Secara kasat mata, mereka tidak memiliki kearifan dan pemahaman untuk menanggapi kenyataan yang ada ini.
Orang-orang beriman tidak termasuk kategori “buta” ini. Mereka menyadari dan menerima kenyataan bahwa seluruh alam ini diciptakan Allah swt. dengan tujuan dan maksud tertentu. Keyakinan ini marupakan langkah awal dari keimanan seseorang. Seiring dengan meningkatnya keyakinan dan kearifan, kita akan dapat mengenali setiap detail ciptaan Allah.
Dalam tradisi Islam, ada tiga langkah pemacu keimanan: Ilmul-yaqin (mendapatkan informasi), Ainul-Yaqin (melihat), dan Haqqul-Yaqin (mengalami/merasakan).
Hujan dapat dijadikan contoh dari ketiga langkah ini. Ada tiga tahapan dalam mengetahui tentang turunnya hujan.
Tahap pertama (Ilmul-Yaqin), ketika seorang duduk di dalam rumah yang jendelanya tertutup, kemudian ada yang datang dari luar memberitahukan padanya bahwa hujan turun dan dia memercayainya.
Tahap kedua (Ainul-Yaqin) adalah tahap kesaksian. Orang tersebut menuju jendela, membuka tirai, dan melihat hujan turun.
Tahap ketiga (Haqqul-Yaqin). Dia membuka pintu, keluar rumah, dan berada “di bawah” siraman air hujan.
Berhati-hati adalah bentuk tindakan dari do’a untuk beralih dari tingkatan Ilmul-Yaqin menuju tingkatan Ainul-Yaqin, bahkan lebih.
Upaya melihat tanda-tanda keberadaan Allah dan tidak menjadi “buta” seperti orang yang ingkar, membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Di dalam Al-Qur`an, orang beriman diseru untuk mengamati dan memperhatikan tanda-tanda keberadaan Allah di sekitar mereka dan ini hanya mungkin bisa dilakukan bila dilakukan dengan berhati-hati.
Karena itu, seorang muslim harus menjaga pikiran dari memikirkan hal-hal yang tidak berguna, tidak pernah kehilangan arah dengan kejadian-kejadian di sekitarnya, dan harus selalu menjaga pikirannya.
7. Kebaikan pada Semua Peristiwa
Segala sesuatu diciptakan dengan maksud dan tujuan tersembunyi. Bersama-sama dengan tujuan tersembunyi ini ada beberapa keuntungan bagi seorang mukmin di dalam semua peristiwa. Hal ini dikarenakan Allah berada di sisi orang-orang yang beriman dan tidak pernah mengecewakan mereka.
Pada awalnya, perjuangan hidup tampak tidak menyenangkan. Akan tetapi, seorang muslim harus mengerti bahwa kejadian yang tampaknya menakutkan, contohnya, persekongkolan orang kafir melawan orang beriman, akan berakhir dengan kemenangan bagi orang beriman. Cepat atau lambat, Allah akan memberikan kemurahan hati-Nya, sehingga orang beriman harus yakin bahwa terdapat hikmah pada semua kejadian.
8. Kematian Itu Dekat
Pada dasarnya, kaum yang mementingkan duniawi adalah bodoh, ceroboh, dan dangkal pikirannya. Hidup mereka tidak berdasarkan logika, tetapi mereka hidup dengan kesesatan dan keyakinan yang salah serta mengikuti sangkaan yang berakhir dengan kekeliruan. Salah satu kekeliruan ini adalah keyakinan mereka tentang kematian. Mereka percaya bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu dipikirkan.
Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah lari dari kenyataan dengan cara mengabaikan kematian. Tanpa memikirkannya, mereka percaya bahwa mereka dapat menghindari peristiwa itu. Akan tetapi, hal ini seperti burung unta yang menenggelamkan kepalanya ke dalam pasir untuk mengindari bahaya. Mengabaikan bahaya tidak membuat bahaya itu hilang. Sebaliknya, orang tersebut berisiko menghadapi bahaya dengan tanpa memiliki persiapan. Akibatnya, ia akan menerima kejutan yang lebih besar lagi. Tidak seperti halnya orang beriman yang mentafakuri kematian dan menyiapkan dirinya terhadap kenyataan yang sangat penting ini, kebenaran yang akan dialami semua manusia yang hidup. Allah memperingatkan orang kafir dalam ayat-Nya,
9. Tidak Pernah Berhenti Melawan Iblis
Ketika Allah menciptakan Adam dan memerintahkan malaikat sujud di hadapannya, mereka semua sujud kecuali iblis. Iblis kemudian dikutuk. Tanggapan iblis adalah meminta Allah menangguhkan hukuman sampai tiba hari dihidupkan kembali. Dengan demikian, ia memiliki kesempatan untuk membuat manusia berbuat dosa dan menyimpang dari batasan yang ada. Dengan penangguhan dari Allah, ia berjanji akan melakukan hal-hal yang dapat menggelincirkan umat manusia.
Siapa yang tidak berhati-hati terhadap tipu daya iblis dan tidak dapat melindungi dirinya dari bujuk rayu iblis, ia akan mudah dikalahkan oleh iblis. Karena itu, seorang mukmin harus mewaspadai keberadaan iblis, sebagaimana dijelaskan, “Sesungguhnya, setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Faathir: 6)
Orang-orang beriman harus selalu berhati-hati terhadap keberadaan iblis karena dialah yang menjadi sasaran utamanya. Setan tidak berkeinginan untuk membuat orang-orang kafir melampaui batas karena mereka sudah berpaling dan menjadi sekutunya. Dia berusaha keras membanting tulang untuk melemahkan orang-orang yang beriman sehingga menghalangi mereka untuk menyembah Allah. Itulah sebabnya mengapa orang-orang beriman diingatkan berulang-ulang untuk melawan setan, Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur`an, orang yang beriman dengan sebenar-benarnya itu tidak akan terpengaruh oleh bujuk rayu iblis. Akan tetapi, siapa yang lemah dan tidak berbuat kebaikan bisa dengan mudah terpengaruh oleh bisikannya. Janganlah lupa bahwa iblis akan terus-menerus berusaha keras menyebarkan kejahatannya. Orang-orang beriman harus selalu bersama-sama saling mengingatkan untuk selalu mengingat Allah swt. di mana pun dan kapan pun kita berada.
10. Jiwa yang Condong kepada Kejahatan
Musuh lain yang harus kita perangi adalah diri kita sendiri. Allah mengilhami manusia dengan kebaikan dan keburukan. Keburukan dalam diri kita selalu bekerja untuk setan. Al-Qur`an menjelaskan kedua sisi jiwa kita tersebut,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7-10)

Kita harus waspada terhadap sisi keburukan yang ada dalam diri kita sendiri dan selalu menjaga hati dalam menentang bahaya. Mengabaikan sisi keburukan jiwa kita tidak akan menolong kita lepas dari keburukannya. Akan tetapi, kita harus menyucikan jiwa seperti yang diajarkan dalam Al-Qur`an.
Dengan demikian, kaum mukminin tidak pernah menyatakan bahwa diri mereka suci, tetapi tetap berhati-hati terhadap hasutan dan kesia-siaan jiwa mereka. Pengakuan Yusuf a.s., “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya, Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,“ (Yusuf: 53) harus selalu diingat sebagai contoh yang baik untuk bersikap dengan tepat.
Perjuangan melawan hawa nafsu adalah pertempuran yang terbesar bagi seorang muslim. Mereka harus membatasi emosi dan keinginannya, yang mana yang dapat diterima dan yang mana yang tidak dapat diterima. Ia harus melawan dorongan nafsu dalam jiwanya, seperti keegoisan, iri hati, sombong, dan serakah.
Itulah sebabnya, orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya memiliki kepuasan jiwa. Hal ini terjadi karena mereka menjauhkan diri dari kejahatan, melawan nafsu jiwa mereka, dan membaktikan diri hanya kepada Allah.
11. Pilihan Allah
Jika menentukan bentuk fisik kita saja tidak bisa, apalagi menentukan takdir kita. Hanya Allahlah yang berhak menentukan kelahiran manusia, lingkungannya, keluarganya, serta pengalaman yang akan ia dapatkan dalam hidupnya. Allah pulalah yang mengilhami kita kebijakan dan kebaikan.
Iman kita bahkan tidak bergantung pada karakter kita sendiri. Allah pulalah Yang Maha Esa yang memberikan kita keimanan. Dialah yang mengarahkan, mengajarkan, dan melatih, sebagaimana jawaban Musa a.s. atas pertanyaan Firaun, “Musa berkata, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’” (Thaahaa: 50)
Karena itu, orang beriman adalah orang-orang yang dipilih oleh kemurahan Allah, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka....” (al-Qashash: 68)
12. Berdo’a
Berdo’a merupakan cara berdialog dengan Allah; juga merupakan ciri utama yang membedakan orang yang beriman dari orang musyrik. Berdo’a bisa dijadikan sebagai alat ukur keimanan seseorang kepada Tuhannya.
Kebanyakan orang berpikir bahwa tidak ada yang mengatur alam semesta ini dan segala sesuatu berinteraksi dengan sendirinya. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi tunduk kepada-Nya, tidak ada makhluk yang takdirnya tidak diatur oleh Allah dan tidak patuh kepada-Nya. Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) mengatakan kepadanya, “… Jadilah…,” lalu jadilah ia. (al-Baqarah: 117)
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut... berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf: 55-56)
Sebenarnya, do’a-do’a kita merupakan pengakuan atas kelemahan kita dengan menunjukkan rasa terima kasih kepada Allah. Tanpa berdo’a berarti menunjukkan kesombongan dan pembangkangan kepada Allah. Allah menyatakan,
Berdo’a pada Allah adalah ibadah dan juga rahmat yang besar. Tindak permohonan yang mudah ini merupakan kunci untuk mencapai tujuan, baik dunia maupun akhirat.
13. Penyesalan dan Memohon Ampun
Dua sifat Allah yang paling sering diulang dalam Al-Qur`an adalah “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Allah benar-benar menyayangi hamba-hamba-Nya dan tidak menghukum mereka secara langsung atas dosa-dosa mereka, jadi dengan do’a dapat menangguhkan hukuman, Dia memberi waktu kepada orang yang berbuat salah untuk memohon ampun dan bertobat. Tidak peduli betapa besar dosa yang ia lakukan, ia selalu mendapat kesempatan untuk dimaafkan jika bertobat dan berbuat kebaikan, dan Tobat juga berarti permohonan dukungan dan kekuatan dari Allah untuk membantu orang yang bersalah agar tidak mengulangi perbuatan salah yang sama. Bentuk Tobat yang diterima Allah adalah yang diikuti dengan perbuatan-perbuatan baik,
Ayat ini menyeru orang-orang beriman kepada keselamatan, “… Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)

“Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (al-Furqaan: 71)

Terkadang seseorang bisa saja melakukan dosa yang sama karena bujukan nafsunya, bahkan setelah bertobat. Akan tetapi, hal ini bukanlah alasan baginya untuk tidak bertobat. Dia bisa bertobat karena kesalahan-kesalahan sepanjang hidupnya. Harus diingat pula bahwa tobat seseorang tidak akan diterima ketika kematian telah datang menjemput dan ia mulai melihat nasibnya di hari kemudian.

Al-Gozali (w.1111 M) adalah sosok fiqih yang sufi, sekaligus fillosuf dan ahli kalam. Karya monumentalnya Ikhya’ Ulumuddin adalah cermin dari al-Ghizali melakukan substansiasin fiqih dengan tasawuf. Diantaranya ia mengatakan, “ilmu bagi saya lebih mudah dari pada mengamalkan”.
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat difahami bahwa fiqih saja tanpa di isi dengan tasawuf maka hasil yang akan di peroleh adalah kulitnya saja, atau bisa dikataka basa basi seorang hamba dengan sang khaliqnya.

















PENUTUP

Walaupun pembahasan diatas jauh dari sempurna, dari apa yang dianjurkan Bapak Dosen mengenai Tasawuf Masakini abad xxi ini, maka kami telah cukup mendapatkan pelajaran berharga, pengalaman fiqih saja akan menghasilkan manusia-manusian formalistic, namun kering dalam bahasa nuansa etika, sehingga melahirkan sebuah masyarakat yang cenderung mengalami keterpecahan integritas moralnya.

Dan yang terakhir kami ucapkan banyak terimakasih atas koreksinya, semoga pemaparan semua yang ada diatas bisalah menjadi pemicu, semangat para salik untuk menuju kesucian jiwa, dan membersihkan semua penyakit hati yang bersarang dalam hati manusia, yang akhirnya menjadikan insan yang selalu tunduk akan perintahNya.
Tasawuf dalam Paham sufiyah yang mana dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan tasawuf tersusun atas tiga fase:
1. Fase takhalli atau takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Takhliyah zhahiriyah yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh macam anggota maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan, mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian, manusia melakukan Takhliyah bathiniyah yang didahului dengan taubat yaitu dengan cara Istigfar, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
2. Fase Tahalli, mengisi jiwa seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan ibadat qolbi. Maka hiasilah diri nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan sifat siddiq.
3. Fase Tajalli, adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah. dimana fase ini telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil usaha dari fase pertama dan kedua. Meskipun dalam diri manusia cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang pertama dan yang utama adalah menjauhkan diri dari larangan Allah. Meninggalkan larangan-Nya lebih berat dari pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi orang tua agar mendidik anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.

HADITS IBADAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.1. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sosial kita tidak akan lepas dari dari ketiga unsur ini, yaitu tentang tamu, tetangga dan mengasihi para dhuafa. Maka dengan tiga masalah ini, kami sedikit menguraikan bagaimana cara kita untuk mengabdikan diri kepada sang Khalik dengan cara, menghormati, mengasihi, menyayangi, mengutamakan mereka, agar supaya pengabdian ini benar-benar diterima di sisiNya. Karena dalam suatu hadist di sebutkan “Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari), “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya tidak menyakiti tetangganya” Dalam hadist lagi diterangkan, Seorang bertanya kepada Nabi Saw, “Islam yang bagaimana yang baik?” Nabi Saw menjawab, “Membagi makanan (kepada fakir-miskin) dan memberi salam kepada yang dia kenal dan yang tidak dikenalnya.” (HR. Bukhari), dan lagi Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling cinta kasih dan belas kasih seperti satu tubuh. Apabila kepala mengeluh (pusing) maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan demam. (HR. Muslim). Dengan latar belakang tersebut kami disini menyuguhkan tentang bagaimana cara menggapai ketiga masalah tersebut, sehingga atas dorongan Dosen terwujudlah apa yang ada di tangan anda ini, semoga ada manfaat dan gunanya.

A.2. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah materi dalam makalah ini diarahkan pada Pembahasan Cara menghormati dan memuliakan tamu, tetangga dan dhu’afa dan pengertian secara tekstual maupun kontekstual, sehingga pemahaman nanti tidak monoton. Dan juga kami uraikan istimbat hukum dalam setiap pembahasan dan di sertai pendapat para ulama yang mana semua nanti insya allah akan kami bahas.


A.3. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan makalah ini untuk memahami pentingnya menghormati dan memuliakan tamu, tetangga dan dhu’afa sera kewajiban kita sebagai pemeluk Agama islam. Sehingga pembahasan ini nanti bisa bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi masyarakat. Karena perbuatan yang baik atau terpuji atau tercela terhadap Allah SWT dinamakan hubungan vertical, sedangkan perbuatan yang berhubungan dengan perkara yang terpuji atau tercela terhadap sesama manusia atau alam sekitar dinamakan hubungan horizontal. Yang mana tujuan utama nanti untuk membentuk manusia seutuhnya.semoga makalah ini adamanfaat dan barakahnya.

MENGHORMATI TAMU DAN TETANGGA
SERTA MENYANTUNI KAUM DHU’AFA

A. Pembahasan
1. MEMULIAKAN TAMU DAN MENGUTAMAKANNYA.
a. Hadist yang menerangkan
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ اِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَقَالَ إِنِّى مَجْهُوْدٌ، فَاَرْسَلَ اِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَقَالَتْ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا عِنْدِى اِلاَّ مَاءٌ ثُمَّ اَرْسَلَ اِلىَ اُخْرَى فَقَالَتَ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى قُلْنَ كُلُّهُنَّ مِثْلَ ذَلِكَ لاَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا عِنْدِى اِلاَّ مَاءٌ فَقَالَ مَنْ يُضِيْفُ هَذَا اللَّيْلَةَ رَحِمَهُ اللهُ ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلاَنْصَارِ فَقَالَ : اَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ فَانْطَلَقَ بِهِ اِلىَ رَحْلِهِ فَقَالَ ِلإِ مْرَأَتِهِ هَلْ عِنْدَكِ شَىْءٌ قَالَتْ : لاَ اِلاَّ قُوْتَ صِبْيَانىِ قَالَ فَعَلِّلِيْهِمْ بِشَىْءٍ فَاِذَا دَخَلَ ضَيْفُنَا فَأَطْفِئِ السِّرَاجَ وَاَرِيْهِ اَنَا نَأْكُلُ فَأِذَا اَهْوَى لِيَأْكُلَ فَقُوْمِىْ اِلَى السِّرَاجِ حَتَّى تُطْفِئِيْهِ قَالَ فَقَعَدُوا وَاَكَلَ الضَّيْفُ فَلَمَّا اَصْبَحَ غَذًا عَلَى الَّنبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ.
Dari abu Hurairah ra katanya: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. Lalu dia berkata. “aku dalam kesulitan (susah hidup dan lapar).” Maka beliau bawa orang itu kerumah istri beliau satu persatu, menanyakan kalau-kalau mereka ada sedia makanan. Para istri beliau menjawab “demi Allah yang mengutus Anda dengan yang haq, aku tidak sedia apa-apa selain air.”begitulah jawaban mereka masing-masing. Lalu bersabda beliau kepada para sahabat. “siapa besedia menerima tamu malam ini niscaya dia diberi rahmat oleh Allah ta’ala. Maka berdirilah seorang laki-laki Anshor seraya berkata: Aku ya Rasulullah!” maka dibawalah orang itu kerumahnya.diabertanya kepada istrinya, “adakah engkau sedia makanan? “jawab istrinya, tidak ada kecuali makanan anak-anak.” Katanya “bujuklah mereka dengan apa saja. Bila tamu kita telah masuk. Tunjukkan kepadanya bahwa kita makan bersamanya, bila dia telah mulai makan, berdirilah kedekat lampu lalu padamkan. Maka duduklah mereka, dan sang tamupun makanlah. Setelah subuh. Sahabat tersebut bertemu nabi saw. Lalu kata beliau. “Allah kagum dengan cara kamu berdua melayani tamu kalian tadi malam. HR. Bukhori 1966.
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلُّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad).
b. Pemahaman secara Tekstual
Dalam hadis dijelaskan bahwa Nabi memerintahkan menghormati dan menjamu tamu, serta mengasihi golongan yang lebih kecil.
c. Pemahaman secara Kontekstual
Apa saja yang kamu miliki maka berikanlah untuk menghormati tamu, walaupun itu sangat merugikan kamu sendiri. Dan hormatilah orang-orang yang ada di sekeliling kamu baik yang sudah tua maupun yang masih muda.
d. Istimbat Hukum
Bagi seorang yang tamu atau yang ditamui, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
a. Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
b. Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
c. Orang yang mengundang adalah muslim.
d. Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
e. Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
f. Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
g. Tamu adalah anugerah karena tamu membawa berkah tersendiri, sehingga dalam islam ditegaskan melalui Al-Quran maupun Al-Hadist secara panjang lebar, entah tamu tersebut bertujuan baik maupun jelek, maka menurut hemat kami hormatilah semua tamu yang datang kerumahmu, karena itu, kita harus selalu Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu tersebut untuk memberikan makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya yang diterangkan dalam Al-Quran: “Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-pen) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27), maka posisi tamu disini sangat penting untuk diperhatikan, di hormati dan di layani sebaik-baik mungkin.
h. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari-Muslim)
i. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
Adapun tatacara bertamu dan menerima tamu sebagai berikut:
1. Adab bertamu
a. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim.
b. Ucapkanlah salam kepada orang yang ditamui
c. Tersenyumlah, karena tersenyum adalah ibadah
d. Jagalah tingkah laku dan gunakan akhlak yang terpuji
e. Berbuatlah yang tidak bertentangan dengan syariat
f. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka.
2. Adab menerima tamu
a. Berniatlah menerima tamu Allah
b. Jawablah salam orang yang bertamu tersebut
c. Hormatilah semampunya dan jangan berlebih-lebihan
d. Ajaklah bicara dengan sopan dan santun
e. Persilahkan pulang atau menginap
f. Mengantarkan pulang sampai pintu pagar
Dari pemaparan diatas bahwa Tamu adalah raja maka hormatilah tamu tersebut dengan sekuat tenagamu, dan menghormati tamu itu hukumnya wajib.
e. Pendapat Para Ulama
a. Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
b. Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
c. Berkata Imam Qutaibah, bila Imam Malik keluar menyambut tamunya beliau berpakaian indah, memakai sifat mata, wewangian dan membagi bagikan kipas kepada masing masing tamunya, ia adalah Imam yang sangat berwibawa, majelis dirumahnya selalu hening dan tak ada suara keras dan tak pula ada yang berani mengeraskan suaranya, ruangan beliau dipenuhi kesejukan dan ketenangan, dan beliau dimakamkan di kuburan Baqi’
2. BERBUAT BAIK KEPADA TETANGGA.
a. Hadist yang menerangkan
عَنْ عَائِشَةَ تَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ يَقُوْلُ : مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِى بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ اَنَّهُ لَيُوَرِّثَنَّهُ.
Dari ‘Aisah ra. Katanya dia mendengar Rasulullah saw. Bersabda: " Jibril senantiasa berwasiat kepadaku supaya selalu baik kepada tetangga. Sehingga aku menduga bahwa jibril akan menjadikannya pewaris. HR. Bukhori 2252.
عن أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : يَا اَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَحْتَ مَرَقَةً فَاَكْثِرْ مَاءَ هَاوَ تَعَاهَدُ جِيْرَانَكَ.
Dari Abu Dzar, katanya Rasulullah saw bersabda: bila engkau memasak gulai, perbanyaklah kuahnya dan sisihkan untuk tetanggamu. HR. Bukhori 2253.
b. Pemahaman secara Tekstual
Dalam hadis diatas menerangkan bahwa Rasulullah saw. Memerintahkan kepada kita agar berbuat baik kepada tetangga serta memperbanyak kuah apabila kita memasak.
c. Pemahaman secara Kontekstual
Dalam masyarakat, kita diperintahkan berbuat baik kepada tetangga baik yang islam maupun non islam, serta kita di suruh untuk memberikan sesuatu apabila ada kelebihan pada kita.
d. Istimbat Hukum
Alangkah sepinya jika kita hidup sendiri, tiada kawan tiada saudara maka beruntunglah kita sebagai manusia, di anugerahi semua itu. Di dalam rumah kita memiliki keluarga, ada ayah-ibu, adik-kakak, bahkan juga anak. Tak hanya itu saja, kita juga hidup bersama-sama orang-orang yang hidup disekeliling kita, dengan mereka kita saling ulur tangan, saling menjaga, memberikan rasa aman, dan juga saling melindungi dari bahaya orang-orang jahat yang tidak bisa diprediksikan. Mereka yang hidup disekeliling kita yang bernama tetangga.
Tetangga adalah saudara kita yang paling dekat entah saudara seiman ataupun tidak, oleh karena itu dalam islam ditegaskan dan disoroti begitu pentingnya tetangga itu, dan dianjurkan bahwa, hormatilah tetanggamu, karena tetangga itu adalah benteng kita, pagar kita, yang tak kenal menyerah, baik dalam segi social maupun sepiritual, itulah tetangga. Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, tertidur di Masjidil Haram. Dia telah bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit lalu yang satu berkata kepada yang lain, "Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini?" Jawab yang lain, "Enam ratus ribu."Lalu ia bertanya lagi, "Berapa banyak yang diterima ?" Jawabnya, "Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq, dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq." Ketika Abdullah bin Mubarak mendengar percakapannya itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat ke Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq itu sehingga ia sampailah ke rumahnya. Dan ketika diketuknya pintunya, keluarlah seorang lelaki dan segera ia bertanya namanya. Jawab orang itu, "Muwaffaq." Lalu abdullah bin Mubarak bertanya padanya, "Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai darjat yang sedemikian itu?" Jawab Muwaffaq, "Tadinya aku ingin berhaji tetapi tidak dapat kerana keadaanku, tetapi mendadak aku mendapat wang tiga ratus diirham dari pekerjaanku membuat dan menampal sepatu, lalau aku berniat haji pada tahun ini sedang isteriku pula hamil, maka suatu hari dia tercium bau makanan dari rumah jiranku dan ingin makanan itu, maka aku pergi ke rumah jiranku dan menyampaikan tujuan sebenarku kepada wanita jiranku itu. Jawab jiranku, "Aku terpaksa membuka rahsiaku, sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari tanpa makanan, kerana itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba bertemulah aku dengan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong sebahagiannya dan bawa pulang untuk masak, maka makanan ini halal bagi kami dan haram untuk makanan kamu." Ketika aku mendegar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil wang tiga ratus dirham dan keserahkan kepada jiranku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam jagaannya itu. "Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku." Kata Muwaffaq lagi. Demikianlah cerita yang sangat berkesan bahawa membantu jiran tetangga yang dalam kelaparan amat besar pahalanya apalagi di dalamnya terdapat anak-anak yatim. Rasulullah ada ditanya, "Ya Rasullah tunjukkan padaku amal perbuatan yang bila kuamalkan akan masuk syurga." Jawab Rasulullah, "Jadilah kamu orang yang baik." Orang itu bertanya lagi, "Ya Rasulullah, bagaimanakah akan aku ketahui bahawa aku telah berbuat baik?" Jawab Rasulullah, "Tanyakan pada tetanggamu, maka bila mereka berkata engkau baik maka engkau benar-benar baik dan bila mereka berkata engkau jahat, maka engkau sebenarnya jahat."
Hak-hak bertetangga
a. Saling menengok jika ada yang sakit
b. Melayat jika ada yang meniggal
c. Saling menyimpan rahasia
d. Ikut bergembira jika tetangga kita gembira
e. Jika kena musibah maka harus saling membantu
f. Tidak meninggikan bangunan, jika mengganggu
g. Ketika memasak hendaklah diperbanyak kuahnya
Dalam kata lain bahwa betetangga itu itu wajib hukumnya, saling mengasihi, menyayangi, dan saling ulur tangan.


e. Pendapat Para Ulama

a. Menurut Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan tetangga adalah 40 rumah di samping kiri, kanan, depan dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita bertemu dengan mereka, baik hanya sekedar melempar semyuman, lambaian tangan, salam atau ngobrol di antara pagar rumah dan sebagaimya
b. Dr Yusuf Qafdhawi menyebutkan, “seorang tetangga memitikt peran sentral dalam memetihara harta dan kehormatan warga sekitarnya” Dengan demikian seorang mukmin pada hakikatnya merupakan penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik tetangganya Bahkan, seorang tidak dikatakan beriman jika dia tidak bisa memberi rasa aman pada tetangganya.
c. Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga.
3. MENYANTUNI KAUM DHU’AFA.
a. Hadist yang menerangkan
عَنْ أَبىِ مُوسَى قَالَ: كاَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ إِذَا اَتَاهُ طَالِبٌ حَاجَةٍ اَقْبَلَ عَلَى جُلَسَائِهِ فَقَالَ: إِشْفَعُوْا فَلْتُؤْ جَرُوا ، وَلْيَقْضِ اللهُ عَلىَ لِسَانِهِ نَبِيِّهِ مَااَحَبَّ.
Dari abu musa ra katanya: apabila orang minta-minta datang kepada Nabi saw. beliau menghadap kepada orang-orang yang duduk beserta beliau. Lalu beliau bersabda : tolonglah mereka, niscaya tuan-tuan akan mendapatkan pahala, dan semoga melalui ucapan Nabi-Nya terkabullah apa yang diinginkannya. HR. Bukhori 2254.
b. Pemahaman secara Tekstual
Hadist diatas memang terasa sedikit menerangkan, tapi sangat luas sekali pemahamannya karena Nabi Muhammad menyuruh kita untuk menolong orang tidak punya.
c. Pemahaman secara Kontekstual
Tolong menolonglah antar sesama manusia karena dalam tolong menolong itu ada pahalanya, dan nabinyapun bisa menjadi lantaran atau wasilah untuk mendapatkan pahala tersebut.
d. Istimbat Hukum
Telah kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita, ketimpangan-ketimpangan yang menggugah hati mulai dari ketimpangan spiritual, moral, kehidupan social, perekonomian, kebudayaan dan masih banyk lagi. Tapi disini kami hanya akan membahas tentang pentingnya peran kita untuk para du’afa, yang mana kehidupan socialnya kurang diperhatikan, karena para du’afa adalah asset yang paling besar jika kita mau untuk berfikir, mengapa karena didasarkan pada kenyataan, seorang duafa itu lebih cepat masuk syurga, karena harta yang dihisab tidak ada, dan doanya pun cepat terkabulkan. Maka dengan menyantuni para du’afa kita akan menunai derajat yang mulia disisi Allah swt.
Posisi du’afalah yang cocok menjadi ladang kita untuk mencari keridlaan Allah, tanpa du’afa dunia ini akan kiamat, kenapa? Karena kalau semua orang itu kaya, siapa yang akan saling kasih mengkasihi.Sudah dijelaskan tadi, bahwa du’afa adalah aset yang paling bagus untuk mencari keridlaanNya. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya sebagai umat yang beradab, hidup rukun saling harga-menghargai;
Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah);
Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan;
Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.










PENUTUP

1. Kesimpulan.
Demikianlah, sesungguhnya dalam islam itu tertata dengan rapi, dan sangat lembut untuk menuju kehidupan yang lebih harmonis kepada semua insan tanpa ada pilih kasih, dan sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran meskipun kepada orang asing karena mereka itu masih keturunan Nabi Adam As. Mengingat ayat 70 Surat al-Isra yang artinya: "Sangat Kami muliakan keturunan Nabi Adam dan Kami sebarkan segala yang berada didarat dan lautan, juga Kami mengutamakan mereka lebih utama dari mahluk lainnya". Kesimpulan dari ayat ini bahwa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat surat al Maidah yang artinya: "Hendaklah tolong menolong dengan sesama dan dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan dengan sungguh-sungguh terhadap Agama maupun Negara, sebaliknya jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama maupun Negara".
Jadi semakin jelas bahwa kita sebagaimana model interaksi yang ideal antar kita dengan orang yang lebih tinggi dari kita, dengan sesama dalam arti yang sederajat dalam segalanya, dengan orang yang ada dibawah kita dan dengan fakir miskin. Dan islam juga menjelaskan bahwa kedamaian lahir bathin akan terwujud ditengah-tengah masyarakat manakala masing-masing individu berpegang teguh terhadap etika sosial. karena ada dalil “ sesungguhnya sesuatu itu tergantung pada niatnya” dan “ perintah kepada sesuatu, berarti melarang pada sesuatu”. Jadi kami menyimpulkan bahwa hukum untuk Menghormati tamu dan tetangga Serta menyantuni kaum dhu’afa itu tergantung pada individu masing-masing.
Adapun menurut hemat kami ada beberapa hukum sebagai berikut:
1. Wajib, jika perbuatan tersebut tidak membawa kemudharatan kepada kita, tapi sebaliknya akan membawa tatanan hidup yang harmonis dalam khasanah masyarakat yang madani.
2. Sunah, jika perbuatan tersebut tersebut akan membawa dampak yang sangat positif bagi kelangsungan bermasyarakat.
3. Mubah, jika perbuatan tersebut tidak berlebih-lebihan, atau dalam kata lain tidak membawa efek yang membahayakan dan kelangsungan bermasyarakat.
4. Makruh, dalam devinisinya adalah suatu larangan jika ditinggalkan mendapat pahala, dan jika dilakukan tidak mendapatkan siksa. Maka menurut kami, jika perbuatan tersebut tidak membawa akibat yang buruk dan juga tidak membawa mambawa manfaat, maka lakukanlah untuk masalah ini.
5. Haram, jika Menghormati tamu dan tetangga Serta menyantuni kaum dhu’afa akan membawa kerusakan tatanan kehidupan bermasyarakat serta social, maka hindarilah untuk Menghormati tamu dan tetangga Serta menyantuni kaum dhu’afa tersebut. Waallahu a’lam.
2. SARAN
Dalam sebuah hadist dijelaskan: "Bukanlah dari golonganku orang yang tidak sayang kepada yang ada dibawahnya dan tidak menaruh hormat kepada orang yang ada diatasnya". Lebih dari itu, kami juga membuat patokan bagaimana seharusnya sikap kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan orang asing, baik yang seagama dengan kita maupun yang tidak seagama. Kita harus tetap saling hormat menghormati, harga menghargai Tepo Seliro.
Menyangkut Hubungan dengan Non Muslim lebih jelas lagi, kami menegaskan seperti berikut: "Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat Al Kafirun ayat 6: 'Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk ku', maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tapi janganlah ikut campur". Jadi kami menggaris bawahi adanya toleransi beragama, sejauh tidak melanggar etika teologis. Jangan karena alasan toleransi, keyakinan di korbankan.
Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya tambahan lain menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.
Terahir kami menyatakan: "Oleh karena demikian, hendaklah segenap Mahasiswa bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan lahir dan batin dunia maupun akhirat, supaya hati tentram. jasad aman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: Budi utama jasmani sempurna. Tidak lain amalan kita, yaitu saling mengasihi diantara sesama makhluk Allah, jadi amalkan sebaik-baiknya guna mencapai kebajikan, menjauhi segala kejahatan lahir batin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan".
Demikianlah apa yang bisa kami sampaikan semoga saran dan kritik teman-teman Mahasiswa dapat menjadi penopang hidup kita menjadi yang lebih baik, dan selalu mendapatkan ridlo dari Allah swt. Aamiin aamiin.

BAHAYA KRESEK HITAM

Bahaya Kresek Hitam
Di Hari Raya Idul Adha, kantong kresek seringkali dimanfaatkan sebagai wadah daging kurban. Di balik sifatnya yang praktis dan murah, kantong kresek mengandung bahan kimia berbahaya yang bisa mengontaminasi makanan di dalamnya.

Sejak pertengahan tahun lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan peringatan resmi tentang bahaya kantong kresek. Bedasar hasil penelitiannya, kantong kresek, terutama warna hitam, merupakan produk daur ulang mengandung bahan kimia berbahaya.

Tak hanya itu, dalam proses daur ulang, produsen juga tak memerhatikan riwayatnya. "Apakah bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan, kotoran manusia, atau limbah logam berat," demikian petikan peringatan BPOM tentang kantong kresek.

BPOM meminta masyarakat tak menggunakan kantong kresek sebagai wadah makanan, terutama makanan siap santap. Selain diragukan kebersihannya, kantong kresek berwarna dikhawatirkan mengandung zat karsinogen yang dalam pemakaian jangka panjang dapat memicu kanker.

Bahan kimia plastik tak hanya mudah terurai dan migrasi ketika terkena makanan panas. Namun, juga makanan mengandung asam, cuka, vitamin c, berminyak atau berlemak. Tak berlebihan jika Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengimbau agar daging kurban tidak dimasukkan dalam kantong kresek, terutama warna hitam.

Selain kantong kresek, kemasan plastik berbahan polivinil klorida (PVC) dan kemasan makanan styrofoam juga berisiko melepaskan bahan kimia berbahaya. Jangan menggunakan kemasan makanan mengandung PVC sebagai wadah makanan panas, berminyak, berlemak atau mengandung alkohol.


Sumber : http://id.news.yahoo.com/viva/20101116/tls-bahaya-kresek-hitam-34dae5e.html

makan dan minuman

MENGAPA MUSLIM TIDAK BOLEH MENIUP MAKANAN DAN MINUMAN?
Makan dan minum bagi seorang muslim sebagai sarana untuk menjaga kesehatan badannya supaya bisa manegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya dia berusaha agar makan dan minumnya mendapatkan pahala dari Allah. Caranya, dengan senantiasa menjaga kehalalan makanan dan minumanya serta menjaga adab-adab yang dituntunkan Islam.

Makan dan minum seorang muslim tidak sebatas aktifitas memuaskan nafsu, menghilangkang lapar dan dahaga semata. Karenanya, seorang muslim apabila tidak lapar maka dia tidak makan dan apabila tidak haus, dia tidak minum. Hal ini seperti yang diriwayatkan dari seorang sahabat,

نَحْنُ قَوْمٌ لاَ نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لاَ نَشْبَعُ

“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“

Dari sini, maka seorang muslim dalam makan dan minumnya senantiasa memperhatikan adab Islam yang telah dicontohkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam agar bernilai ibadah. Dan di antara adabnya adalah tidak bernafas dan meniup minuman. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits, di antaranya dari Abu Qatadah, Nabishallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)

Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Al-Tirmidzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)

Dan juga hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk meniup di dalam air minum." (HR. al-Tirmidzi no. 1887 dan beliau menyahihkannya)

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu."

Dalam Zaadul Ma'ad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupnya.

Apa Hikmahnya?

Apa hikmahnya, sering menjadi pertanyaan kita sebelum mengamalkannya. Padahal dalam menyikapi tuntunan Islam hanya sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami taat), tanpa harus terlebih dahulu mengetahui hikmahnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin al-Khathab sesudah mencium hajar Aswad, "Sesungguhnya aku tahu engkau hanya seonggok batu yang tidak bisa menimpakan madharat dan tidak bisa mendatangkan manfaat. Kalau seandainya aku tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menciummu, pasti aku tidak akan menciummu." (HR. Al-Bukhari no. 1494 dan Muslim no. 2230)

Namun yang jelas bahwa setiap yang disyariatkan dan dituntunkan oleh Islam pasti mendatangkan kebaikan dan setiap yang dilarangnya pasti mendatangkan madharat. Dan apabila seorang muslim mengetahui hikmah dari sebuah syariat, maka dia akan semakin mantap dalam mengamalkannya. Dan apabila belum mampu menyingkapnya, maka keterangan dari Al-Qur'an dan Sunnah sudah mencukupi.

Di antara hikmah larangan meniup minuman yang masih panas adalah karena nanti struktur molekul dalam air akan berubah menjadi zat asam yang membahayakan kesehatan.

Sebagaimana yang diketahui, air memiliki nama ilmiah H20. ini berarti di dalam air terdapat 2 buah atom hidrogen dan satu buah atom oksigen yang mana 2 atom hidrogen tersebut terikat dalam satu buah atom oksigen. Dan apabila kita hembus napas pada minuman, kita akan mengeluarkan karbon dioksida (CO2). Dan apabila karbon dioksida (CO2) bercampur dengan air (H20), akan menjadi senyawa asam karbonat (H2CO3). Zat asam inilah yang berbahaya bila masuk kedalam tubuh kita.

Senyawa H2CO3 adalah senyawa asam yang lemah sehingga efek terhadap tubuh memang kurang berpengaruh tapi ada baiknya kalau kita mengurangi masuknya zat asam kedalam tubuh kita karena dapat membahayakan kesehatan.

Dari sini juga semakin jelas hiikmah dari larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam agar ketika minum seteguk demi seteguk, jangan langsung satu gelas sambil bernapas di dalam gelas. Hal ini karena ketika kita minum langsung banyak, maka ada kemungkinan kita akan bernapas di dalam gelas, yang akan menyebabkan reaksi kimia seperti di atas.

Sumber : zonapencarian.blogspot.com