Jumat, 15 Februari 2013

Utsman Ibn Affan dan Ali Bin Abi Talib


UTSMAN IBN AFFAN DAN ALI BIN ABI TALIB

( 24-35 H/644-656 M)             (35-40 H/656-661 M)


I. PENDAHULUAN
Sejarah mencatat bahwa kehidupan pada masa jahiliyah yang identik dengan konflik dalam kontek berbagai aspek, termasuk politik, budaya, agama dan bahkan sosial, tentu akan menjadi bahan perbandingan dan zaman Khulafaur-Rasyiddin, keadaan tersebut masih mewarnainya.
Dalam pemerintahan Utsman ibn Affan juga situasi itu masih berlangsung, terbukti wafatnya Utsman adalah dilatar belakangi oleh konflik yang terjadi ketika itu.
Ada beberapa konsekwensi logis yang mengantarkan kita pada latar belakang terpilihnya Utsman, walaupun telah diketahui bersama bahwa pengangkatan Utsman adalah atas campur tangan "Umar" dan keadaan itulah yang menjadi embrio permasalah yang klimaknya tepat pada pemerintahan Utsman ibn Affan
Khalifah Utsman Bin Affan (kalifah ke-III) dan Ali Bin Abi Thalib (kalifah ke-IV) tidak terlepas dari pengaruh geliat jahiliyah, makalah ini akan menjelaskan bagaimana kondisi sosial seperti ekonomi, politik, agama dan lain-lain pada masa dua khalifah yang terakhir ini. Bagaimana kondisi itu saling berkaitan hingga menjadi faktor penyebab kekacauan pada masa kedua khalifah ini. Apakah nepotisme dan korupsi layak dituduhkan kepada Utsman?, benarkah Ali terlibat dalam konspirasi pembunuhan Utsman seperti yang dituduhkan sahabat-sahabatnya kala itu ?.

II. PEMBAHASAN
A.     Utsman ibn Affan
1.      Kepemimpinan Utsman ibn Affan
Utsman ibnu ‘Affan ibnu Abil Ash ibnu Umayyah, dilahirkan di waktu Rasulullah berusia lima tahun dan masuk Islam atas seruan Abu Bakar Ash Shiddieq. Beliau terhitung saudagar besar dan kaya, dan sangat pemurah dan menafkahkan hartanya untuk kepentingan agama Islam.
Di waktu Rasulullah mengerahkan “Jaisyul Usrah” (balatentara yang dikerahkan dalam waktu kesukaran, yakni pada peperangan Tabuk) Utsman mendermakan 950 Unta, 59 ekor kuda dan 1000 Dinnar untuk keperluan lasykar. Pada peristiwa-peristiwa sebelum itupun Utsman banyak sekali mendermakan harta dengan tidak ditahan-tahannya, untuk kemenangan Islam.
Beliau termasuk sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Rasulullah untuk masuk Surga. Ada diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “ Tiap-tiap Nabi mempunyai teman, temanku di Surga ialah utsman.” Oleh karena pertalian beliau amat akrab dengan Rasullah, maka Rasullah mengawinkannya dengan putrinya yang bernama Ruqaiyah dan setelah Ruqaiyah meninggal dalam peperangan Badr, maka Nabi mengawinkannya dengan putri yang kedua, yaitu Ummu Kalsum oleh karena itu Utsman dikenal dengan sebutan “Dzun Nurain” (yang mempunyai dua cahaya). Ummu Kalsum meninggal pada tahun sembilan Hijriyah. Rasulullah berkata kepadanya : “Andaikata kata kami mempunyai putri yang ketiga, tentu akan kami kawinkan pula dengan engkau”.

2. Pengangkatan Utsman
Ketika  Khalifah Umar menjelang wafat ummat Islam menyarankan untuk memilih Khalifah sebagai pengganti. Karena itu beliau mengambil jalan tengah, antara menunjuk dan tidak. Beliau menunjuk enam orang sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Rasulullah akan masuk surga, dan mereka adalah orang-orang terbaik, pun ditinjau dari sifat kedudukan masing-masing mereka pastilah orang yang akan menjadi Khalifah dan itu harus dipilih diantara mereka. Diantara mereka berenam yaitu: Utsman ibnu ‘Affan, Ali ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibnu Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqqash dan Abdurrahman ibnu “Auf.
Melalui persaingan yang sangat alot dengan Ali, sidang yang diberi nama saat itu sidang (komisi) Ahlu asy Syura atau Ahlu al-Halli wa al-‘Aqli  dimana lembaga ini dibentuk dan bergerak dalam bidang yudiritas dan bertugas mengontrol kebijakan-kebijakan penguasa sebagai wakil rakyat yang dipercaya untuk tugas itu dan lembaga sebagai penampung dan penyalur aspirasi rakyat saat itu, akhirnya memberi mandat ke-Khalifahan kepada Utsman Ibnu ‘Affan dijaman Khulafaurrasyidin, yaitu periodenya sampai mencapai 12 tahun lamanya, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang indah dan sukses baginya. Dalam sejarah mengatakan jaman pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu 6 tahun masa keemasan atau jaman perluasan ekspansi Islam, dan 6 tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Selama paruh pertama pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama pada perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai oleh Islam seperti Mesir dan Irak dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedi Militer yang terencanakan secara cermat dan simultan disegala front, di Mesir pasukan Muslim diintruksikan Memasuki Afrika Utara.
Salah-satu pertempuran penting disini adalah “Zatis Sawari” (peperangan tiang kapal) yang terjadi dilaut Tengah dekat kota Iskandariyah antara Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Constantine dengan Lasykar Muslim yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Abi Sarah. Pada perang itu Islam berhasil mengalahkan Romawi yaitu bergerak menuju Basrah untuk menaklukkan sisa kerajaan Sasan di Irak dan dari kota Kuffah sampai menuju Laut Kaspia.
Perluasan-perluasan berikutnya terus jadi sasaran dalam pemerintahan Utsman dan tentunya Islam saat itu penuh dengan kekayaan dan kekuatan militernya. Upaya-upaya lain pun dilaksanakan seperti penyebaran Agama Islam. Masa-masa yang dilewati oleh Khalifah yang terkenal dengan kedermawanannya dan juga ketaatannya dalam beragama,  dan sebagai pengganti Khalifah Umar ia memberikan warna yang berbeda, dengan membuat terobosan-terobosan terutama dalam merubah Islam kepada perubahan dan termasu. Pengumpulan macam-macaman teks Al-Qur’an-   yang kemudian ditulis dalam tulisan atau aturan bacaan yang satu agar tidak terjadi perdebatan dalam hal menetapkan bacaan Al-Qur’an dan sebagai rujukan bagi Al-Qur’an yang dialeg bacaan berbeda yang dikepalai oleh Zaid Ibnu Sabit.
3.      Tuduhan Nepotisme dan Tadwin Mushaf Imam
Nepotisme berasal dari bahasa Yunani yaitu nepiu yang artinya keponakan dan dalam bahasa Inggris berasal dari kata Nepotism dapat diartikan dengan: mendahulukan sanak saudaranya sendiri khususnya dalam pemberiaan jabatan.
Dalam pemerintahan Khalifah Utsman tergolon
g sukses pada enam tahun awal dari pemerintahannya, namun sesuai dengan cacatan sejarah bahwa enam kedepan banyak terjadi perubahan-perubahann termasuk tuntutan rakyat, dimana adanya Nepotisme ditubuh pemerintahan Utsman sangat meresahkan kehidupan rakyat.
Ketika Utsman mengangkat Marwan ibnu Hakam, sepupu Khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik, menjadi sekretaris utamanya, dan ketika itu spontan rakyat timbul mosi tak percaya terhadap keputusan yang diambil oleh Utsman tersebut. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid ibnu Uqbah dan Abdullah ibnu Sa’ad masing-masing menjadi Gubernur Suriah, Irak, dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum.
Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat Khalifah memperoleh harta pemerintah dengan mengorban kekayaan umum dan tanah Negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah dan Marwan sendiri menyalahgunakan harta Baitul Mal (dipakai untuk kepentinagn pribadi dan diberikan juga untuk kaum kerabat lainnya dan seakan-akan beliau tidak sadar bahwa harta Baitul Mal adalah Harta Kaum Muslimun) Muawiyah mengambil alih tanah Negara Suriah dan Khalifah mengijinkan Abdullah untuk mengambil untuk dirinya sendiri seperlima dari harta rampasan perang Tripoli.
Situasi itu benar-benar semakin mencekam, bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan ummat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Penulisan Al-Qur’an yang diperkirakan sebagai langkah yang efektif malah menjadi menambah permasalahan dan bahkan mengundang kecaman, dan juga Utsman malah dituduh tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang dibakukan itu. Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh, di Kuffah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang Gubernur yang diangkat Oleh Khalifah. Selain ketidaksetian rakyat terhadap Abdullah ibnu Sa’ad saudara angkat Khalifah sebagai penggati Gubernur ‘Amr ibn Ash juga karena komplik soal pembagian ganimah..
Ada beberapa hal yang mendasari kenapa hal itu terjadi, yaitu pada saat pemerintahan Abu Bakar  dan Umar para pejabat senior tidak diperbolehkan keluar dari Madinah. Karena mereka adalah sebagai percontohan bagi pejabat junior, namun aturan itu tidak diterapkan lagi oleh Utsman. Tetap Utsman lebih cenderung dan lebih sering berdiskusi dengan pejabat junior yang notabenennya adalah kaum kerabatnya sendiri yang haus akan kekuasaan dan jabatan.
Pergolakan semakin memanas saat itu, Abdullah ibn Saba' seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, memotori para sahabat untuk membuat gerakan-gerakan pemberontakan, sahabat yang terpancing oleh tipu daya muslihat Abdullah ibn Saba' adalah: Abu Zar al-Ghiffari, Ammar ibn Yasir` dan Abdullah ibn Mas'ud. Sebenarnya Abdullah ibn Saba' telah cukup lama menantikan moument ini, dimana situasi ini dapat menghancurkan Islam, yang pertama-tama ia mempropaganda barisan pengikut Ali ibn Thalib.
Waktu itu barisan pengikut Ali selalu dimarjinalkan oleh pejabat-pejabat dari pihak Utsman, isu-isu yang dilancarkan oleh Abdullah ibn Saba' bagaikan gayung bersambut, dan saat itu lahirlah golongan yang disebut dengan "Mazhab Whisayah". Mazhab ini mempunyai ideologi bahwa Alilah yang berhak menjadi Khalifah dan dia adalah orang yang mendapat wasiat dari Nabi Muhammad SAW. Para penganut mazhab ini sangat memuliakan Ali sebagaimana rasul menjulukinya sebagai "Pintu Ilmu". Paham tersebut sesuai dengan doktrin dan ideologi yang dibawa oleh Abdullah ibn Saba' dan ia menambahi paham itu dengan paham-paham yang dibawanya dari Persi yaitu paham "Hak Ilahi", aliran ini berasal dari Persi yang dibawa ke Yaman tempat kelahiran Abdullah ibn Saba' fase sebelum datangnya Islam. Menurut paham ini Alilah yang berhak sebagai Khlifah tetai Utsman mengambilnya dengan jalan pemaksaan.

4. Pemberontakan Terhadap Utsman
Beranjak dari hasutan-hasutan Abdullah ibn Saba', semua isu-isu kotornya sangat tepat sasaran, shingga setiap kebijakan-kebijakan Utsman menjadi bumerang baginya, ditambah lagi para kerabatnya tidak punya tanggung jawab terhadap rakyat.
Terjadilah pembrontakan-pembrontakan dimana-mana, saat iitu yang paling getol mengkritiksi Utsman adalah Abu Zar al-Ghiffari, ia menyoroti aspek nefotisme dan kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi ditubuh pemerintahan Utsman. Ketika kobaran-kobaran pembrontakan didaerah menuntut agar Utsman segera turun dari pemerintahan, namun Utsman ibn Affan tetap bersikukuh mempertahankan kekahlifahannya.
Mesir dan Basrah, mereka merapatkan barisan menuju ke Madinah dan sampai disana mereka bertemu dengan Ali ibn Thalib yang berusaha bernegosiasi dengan mereka yang datang dari Mesir dan Basrah. Karena kebijakan dan ketawadukan Ali ibn Thalib, para pemberontak itu bersikap legowo dan memahami saran-saran Ali, dan bersedia untuk kembali kedaerah masing-masing .
Saat diperjalanan, menuju daerah masing-masing, pemberontak asal Mesir memergoki seorang kurir yang membawa surat perintah, yang isi surat tersebut ditujukan kepada Gubernur Mesir untuk membunuh pemimpin pemberontak ketika mereka sampai di Mesir, dan surat tersebut berstempelkan Khalifah.
Setelah diteliti ternyata surat tesebut ditulis oleh Marwan ibn Hakam tanpa sepengetahuan Utsman ibn Affan, kemudian mereka membatalkan untuk kembali pulang ke Mesir dan menghubungi pemberontak yang dari Basrah agar segera kembali dan bersama-sama menuju Madinah untuk mempertanyakan hal tersebut. Dalam perjalanan ke Madinah mereka mendengar kabar bahwa pasukan dari Mesir dan Syam sedang bersiap-siap menuju Madinah untuk melindungi Utsman ibn Affan dan pasukan tersebut bermaksud untuk membasmi mereka.
Saat itu keadaan semakin genting, dan begitu mendengar kabar tentang kedatangan pasukan dari Mesir dan Syam tersebut, pasukan pemberontak bahkan bermaksud untuk membunuh Utsman ibn Affan. Padahal ketika menemukan surat dari kurir (yang berisikan untuk membunuh pemimpin mereka) tidaklah ada prasangka yang positif mereka apa maksud dan tujuan surat tersebut, apakah hanya berbentuk provokasi atau sebagai polotik Marwan ibn Hakam untuk menjatuhkan Utsman agar bani Umayyah menggantikan  ke Khalifahan Utsman ibn Affan.
Walaupun selintas, surat tersebut adalah berstempelkan Khalifah dan jelas-jelas yang memegang stempel saat itu adalah Marwan ibn Affan, namun yang membuat surat diketahui pastinya dan hanya tuduhan tanpa saksi dan bukti konkrit.
Ditambah lagi provokasi Abdullah ibn Saba' maka hilanglah keimanan dan ketaqwaan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, yang ada saat itu hanyalah dendam dan nafsu ingin membunuh Utsman ibn Affan.
Akibat nafsu yang tidak dapat dikendalikan lagi, sesampai di Madinah mereka langsung mendatangi rumah Utsman ibn Affan, Ketika itu Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husin dan beberapa orang lainnya berusaha menghalau dan mencoba bernegosiasi kembali, Namun hal tersebut gagal, karena banyaknya para pembrontak, Ali ibn Thalib dan yang lainnya tak kuasa menghalangi mereka yang penuh dengan hawa nafsu untuk membunuh Utsman ibn Affan.
Dan mereka mulai mengepung rumah Utsman ibn Affan yang saat itu Khalifah Utsman sedang membaca Al-Qur'an dan saat menemukan Utsman, dengan tangan-tangan Iblis para pemberontak itu menghujamkan pedangnya kearah Utsman yang sudah tua-renta  itu, dan pemberotak lainnya berduyun-duyun menghabisi Utsman dan akhirnya ia tewas bersama keluarganya.
Dengan bersimbah darah Utsman ibn Affan terbujur kaku di atas sajadahnya dan saat itu tiada lagi aroma keIslaman yang ada hanya aroma Iblis yang mengisi ruang-ruang rumah Khalifah Utsman Affan. Maka berakhirlah ke Khalifahan Utsman ibn Affan yang berlangsung sampai dua belas tahun lamanya.

B.     Kepemimpinan Ali bin Abi Talib yang Kurang Efektif
1. Ali Bin Abi Thalib Sebelum Khalifah
Ali bin Abu Thalib r.a. nama Abu Thalib adalah Abdu Manaf bin Abdul Muthalib. Beliau adalah sepupu Rasul juga menantunya, ibunya bernama Fatimah Binti Asad Binti Hasyim, ia dilahirkan 32 tahun setelah kelahiran Nabi. Beliau diasuh dan dididik oleh Rasul sejak kecil. Iapun jadi pemeluk Islam pertama dari golongan anak-anak dan dijuluki si orang pintar oleh Rasul.
Ali bin Abu Thalib merupakan seorang para pendahulu Islam, salah seorang ulama yang tekun iabadah, pemberani, zuhud dan ahli dalam berpidato; salah seorang yang pernah mengumpulkan Al-Qur`an dan menunjukkannya kepada Nabi SAW. Dan menunjukkannya pula kepada beliau, Abdul Aswad ad Dauli, Abu Abdurrahman As Salma dan Abdurrahman bin Abu Laila. Ali adalah khalifah pertama dari bani Hasyim, nama panggilannya Abus Sibthain yakni Al Hasan dan Al Husain. Ia adalah pahlawan Islam di medan perjuangan seperti Hamzah dan Umar. Ali adalah teman berdiskusi Abu Bakar dan Umar dan menjadi tokoh istimewa pada akhir pemerintahan Utsman.

2. Pengangkatan Ali
Setelah Utsman terbunuh  kelompok yang dari Mesir menganjurkan penduduk Madinah untuk membaiat pemimpin setelah Utsman, atau Ali, Thalhah dan Zubeirpun akan mereka bunuh. Akhirnya mereka mendatangi Ali untuk membaiat meskipun pada awalnya ia menolak. Tapi tidak ada lagi yang lebih pantas daripada dirinya, iapun bersedia dengan syarat dilakukan di mesjid, ia tidak mau ini dilakukan sembunyi-sembunyi. Sikap ini menandakan bahwa ia sudah tahu bahwa apa yang akan terjadi tidaklah hal yang mudah diatasi.
Iapun di baiat di masjid pada hari jum’at 25 Dzul Hijjah 35 H. Tetapi pada pembaitan ini banyak para sahabat yang tidak ikut dan membaiat belakangan, seperti Thalhah, Zubeir dan lainnya. Dua orang inipun memberi baiah karena terpaksa oleh ancaman Hukaim Bin Jabalah yang diutus oleh orang Madinah.
3. Dinamika sosial, ekonomi, agama, intelektual dan politik
Masa pemerintahan Ali penuh dengan perang sipil, Khalifah ini dihadapkan pada situasi politik yang genting, hal ini tentu berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat dan ekonomi mereka. Sejak awal pemerintahannya sudah terlihat gejala-gejala akan meletusnya perang sipil dan perang ini dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi panutan sosial maupun agama, di satu pihak mereka juga sangat menghormat Ali. Kondisi yang seperti ini sangat menyengsarakan masyarakat.
Pada bidang ekonomi perang pasti berpangaruh negatif pada mayoritas punduduk, perdagangan menjadi lesu, ditambah lagi ulah para penteror yang sering merampas harta benda masyarakat yang bertujuan dagang maupun tidak.
Sebaliknya perpindahan ibukota membawa pengaruh yang positif untuk perdagangan paling tidak disekitar Kufah menjadi salah satu pusat peta perdagangan dan peradaban kala itu. Ali juga Memperbaiki sistem pembagian faiy yang berlaku pada masa Utsman, ia tidak lagi menerapkan sentralisasi, tapi seluruh faiy dibagi secara merata kepada orang yang berhak.
Hal yang paling menonjol pada masa pemerintahan Ali adalah munculnya aliran dalam Islam yang berawal dari permasalahan politik seperti
a)      Khawarij yang muncul pertama kali setelah perang Shiffin. Pada awalnya adalah golongan politik yang tidak setuju dengan Ali. Akhirnya merekapun memberontak kepada Ali. Anggapan mereka bahwa semua yang ikut dan menyetujui tahkim adalah kafir dan layak dibunuh.
b)      Syi’ah adalah anti Khawarij, pada awalnya juga golongan politik sebagai tandingan Khawarij, mereka adalah yang membaiat Ali untuk kedua kalinya setelah masalah Tahkim. Tapi pada pertengahan masa pemerintahan Ali mereka mulai berubah menjadi golongan dalam agama karena anggapan mereka Ali lebih pantas menjadi khalifah.
c)      Mazhab Wishayah. Yaitu keyakinan bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali agar melanjutkan kekhalifahannya. Mazhab ini adalah hasil rekayasa Abdullah bin Saba’.
d)      Mazhab Sabaiyah, pengikut  Abdullah bin Saba’, keyakinan golongan ini adalah adanya inkarnasi.
PROFILE : IMAM ALI Bag. 11
Assalamu’alaykum Wr. Wb
Disadur dari buku :
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam Jl. Blora 29 Jakarta Oktober 1981
Perang Unta
Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindar­kan lagi namun Imam Ali r.a. masih tetap berusaha utk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama muslimin. Ia teringat kenangan lama yg indah ketika bersama Thalhah dan Zubair berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.
Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dgn dua tokoh bekas sahabatnya yg saat itu telah mengangkat senjata utk menentangnya. Pada pertemuan muka dgn Thalhah Imam Ali r.a. berkata: “Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isteri­mu sendiri di rumahmu tetapi engkau datang ke tempat ini mem­bawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?”
Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya da­pat menundukkan kepala utk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yg dipimpinnya.
Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran segera mengikuti sambil berka­ta: “Demi Allah aku tak akan melepaskan tekadku utk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia lolos. Akan kubunuh dia krn dia juga turut membunuh Utsman!”
Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yg dilepaskan oleh anggota pa­sukannya sendiri.
Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dgn Zubair ia bertanya: “Hai Abdullah apakah yg mendo­rongmu sampai datang ke tempat ini?”
“Untuk menuntut balas atas kematian Utsman” jawab Zu­bair dgn terus terang.
“Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?” tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. “Allah mengutuk orang yg membunuhnya! Hai Zubair engkau kuingatkan. Ingat­kah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. ­waktu itu beliau bertopang pada tanganmu melewati aku ke­mudian beliau tersenyum padaku lalu menoleh kepadamu sambil berkata: “Hai Zubair engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!”
“Oh ya” jawab Zubair setelah beberapa saat mengingat-­ingat.
“Mengapa engkau sekarang memerangi aku?” tanya Imam Ali r.a. pula.
“Demi Allah” sahut Zubair “aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar utk memerangimu.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu Zubair cepat-cepat ke­luar meninggalkan pasukan dgn air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yg bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair ter­pisah dari pasukannya segera diikuti dan kemudian dibunuh.
Perang Unta atau Waq’atul Jamal antara sesama kaum mus­limin sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq’atul Jamal Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengata­kan bahwa dua pasukan saling berhadapan pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah terus menerus dibakar semangatnya dgn syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan utk mengarungi pertem­puran sengit melawan Imam Ali r.a. dan pasukannya.
Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: “Tidak ada fihak yg harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!” Sejalan dgn itu ia menarik tali kekang unta yg dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:
Hai ibu… hai ibu tanah air telah lepas dariku
Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan
Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan
Jika Ali lepas dari tangan matilah aku
Atau jika dua anaknya Hasan dan Husein lepas..
Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!
Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan ia sen­diri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dgn pasir. Tali kekang yg lepas dari tangannya segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yg benar-benar berani bertempur sampai mati ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil meng­hunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a. Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :
Mereka kuserang tetapi tak kulihat ayah si Hasan
Aduhai..itu merupakan kesedihan di atas kesedihan
Mendengar tantangan Abdullah bin Abza Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan utk melakukan serangan dgn tom­bak. Beberapa saat perang tanding berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a. tiba-tiba ujung tombak yg runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya: “Sudah­kah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?” Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.
Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat meng­adu senjata banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: “Hancurlah muka kalian!” Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a. meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain.(1)
Melihat peperangan semakin dahsyat bersama regu pasukan yg mengenakan serban hijau terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan Al Husein dan Muhammad Al Ha­nafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yg ber­nama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasu­kan Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: “Majulah dgn panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan ber­henti di tempat lain!”
Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah ia sudah dihujani anak-panah yg beterbangan dari arah lawan. Melihat itu ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: “Tunggu dulu sampai mereka kehabisan anak-panah!”
Mengetahui hal itu Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yg disuruhnya itu dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban Imam Ali menghampirinya sendiri dari be­lakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya Ia membentak: “Hayo maju!”
Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yg di tangan puteranya diambil kembali dgn tangan kiri sedang pedang yg terkenal dgn nama “Dzul Fiqar” terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan “Jamal”. Setelah melaku­kan serangan beberapa saat lamanya menangkis dan memukul musuh Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.
“Ya Amirul Mukminin” desak Al Asytar “cukuplah kami saja yg melaksanakan tugas itu!”
Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Me­noleh saja pun tidak darahnya masih mendidih. Sedemikian me­luapnya sampai semua orang yg ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yg berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pa­sukan kepada puteranya Muhammad A1 Hanafiyah.
Segera ia maju lagi menyerang musuh utk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sam­bil memainkan pedang dgn gesit dan cekatan. Anggota-ang­gota pasukan Thalhah yg menjadi sasaran serangannya lari ter­birit-birit menyelamatkan diri. Banyak yg mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua Imam Ali r.a. kembali lagi ke induk pasukan.
“Kalau anda sampai gugur” puji sahabatnya setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya “barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah cukup kami saja yg menyerang dan bertempur!”
“Demi Allah” jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-­sahabatnya itu. “Aku sangat tidak setuju dgn fikiran kalian.
Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kam­pung akhirat!”
Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: “Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!”
Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yg berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: “Siapa orangnya yg sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!”
Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran unta yg di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai me­ringkik-ringkik keras sekali krn tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.
Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang utk lbh mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terham­bat tumpukan manusia yg berada di sekelilingnya. Setiap ang­gota pasukan yg mati penggantinya datang berlipat ganda.
Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: “Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dgn panah! Bantailah unta celaka itu!”
Unta yg dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yg menembus krn di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor lan­dak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: “Hai penuntut balas darah Utsman!” Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yg diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dgn semboyan: “Hai Muhammad!” Nama putera Imam Ali r.a. yg memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera meng­ikuti semboyan yg diserukan Imam Ali r.a.
Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.
Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yg diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.
Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yg terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yg makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yg ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah me­lewati mayat-mayat mereka.
Perlawanan yg diberikan oleh pasukan Makkah dan Bash­rah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa sudah tidak mereka peduli­kan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yg besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yg luka dan mati. Padang pasir yg kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.
Melihat keadaan yg mengerikan itu Imam Ali r.a. meng­ambil suatu keputusan cepat utk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Am­mar. Kepada kedua orang sahabatnya itu Imam Ali r.a. memerin­tahkan: “Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai api­nya masih berkobar. Unta itulah yg dijadikan semacam kiblat oleh mereka!”
Dua orang yg diperintah itu segera maju bersama bebe­rapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya ber­nama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta lalu ponok dekat lehernya dipukul de­ngan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta mering­kik keras-keras dan akhirnya rebah.
Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perin­tah: “Potong tali pengikat Haudaj!”
Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu gakar Ash Shiddiq : “Ambillah sau­dara perempuanmu!” Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muham­mad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza’iy.
Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Ab­bas supaya menemui Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu utk duduk. Kuambil saja sebuah bantal yg dibawa olehnya selama perjalanan lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata: “Hai Ibnu Abbas engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!”
“Ini bukan rumah bunda” jawabku “bukan rumah yg oleh Allah bunda diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda aku tidak berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda!”
“Melalui aku” kataku meneruskan “Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke Madinah.”
Tiba-tiba ia menyahut: “Mana ada Amirul Mukminin?”
“Dulu memang Abu Bakar” jawabku dgn sabar dan hormat “kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang Ali!”
“Tidak aku tidak mau!” sahut Sitti Aisyah.
“Bunda sekarang bukan lagi orang yg dapat memerintah atau melarang” kataku terpaksa menegaskan “Tidak bisa meng­ambil dan tidak bisa memberi.”
Sitti Aisyah kemudian menangis sampai suaranya kedengar­an dari luar rumah. Lalu ia berkata: “Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku insyaa Allah Ta’aalaa. Demi Allah tidak ada suatu negeri yg kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang ini.”
“Mengapa begitu?” tanyaku. “Demi Allah kami tetap me­mandang bunda sebagai Ummul Mukminin. Kami tetap meman­dang ayahnya bunda Abu Bakar sebagai seorang shiddiq.”
Sehabis pertemuan dgn Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya kulaporkan semua yg kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yg dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu Amirul Mukminin merasa le­ga. Menanggapi laporanku ia berucap: “Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi jawaban jawaban seperti itu.”
Sudah lazim terjadi tiap kelompok masyarakat atau pasukan ssusai menghadapi peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yg menuntut agar semua orang yg terlibat dalam pasukan lawan yg sudah kalah itu dijadikan tawanan diperlakukan sebagai budak dan dibagi-­bagikan.
Menjawab tuntutan ekstrim itu dgn tegas Imam Ali r.a. mengatakan: “Tidak!”
“Mengapa anda melarang kami?” tanya fihak ekstrim itu “untuk menjadikan mereka sebagai hamba-hamba sahaya pada­hal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!”
“Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu” ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. “Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun tentang apa saja yg dipergunakan pasukan musuh utk melawan kalian boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yg berada di dalam rumah penduduk Bahsrah apalagi yg pintunya tertutup rapat semua itu adl milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!”
Anasir-anasir ekstrim tidak puas dgn penjelasan itu. Me­reka tetap bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya.
Malahan berani mengucapkan kata-kata yg bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yg batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak Imam Ali r.a. menjawab dgn tantangan: “Coba siapa dari kalian yg berani merampas Sitti Aisyah…? Coba siapa yg berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh jawab… Dia akan kuserahkan!”
Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yg sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t.
Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a. Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan yg baru saja melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terjadinya pertempu­ran. Bersama beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. keluar utk membuktikannya sendiri dgn hati tersayat-sayat sedih.
Benar bahwa pada akhir masa hidupnya Thalhah mengambil sikap permusuhan tetapi bagaimana pun juga ia adl sahabat Rasul Allah s.a.w. dan termasuk pejuang yg gigih menegakkan Islam bersama para sahabat Nabi yg lain. Tidak jarang di masa lalu Imam Ali r.a. berjuang bahu-membahu dalam berbagai pe­perangan melawan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a. bukan seorang pembalas dendam dan bukan pula orang yg tidak mengenal peri-kemanusiaan. Ia mempunyai rasa keadilan yg sangat tinggi. Oleh krn itu tidak sukar bagi­nya menilai seseorang dgn ukuran yg obyektif. Thalhah me­mang dipandang telah berbuat salah tetapi kesalahannya tidak menghilangkan kebajikan-kebajikan dan jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin. Fikiran-fikiran seperti itu layak dimiliki oleh seorang pemimpin ummat yg hidup penuh taqwa dan zuhud. Sekelumit pun Imam Ali r.a. tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam menghadapi perlawanan Thalhah. Hanya kebenaran dan keridhoan Allah sajalah yg didambakan sepanjang hidupnya.
Setibanya di depan jenazah Thalhah bin Ubaidillah ia menun­dukkan kepala. Kemudian jongkok utk membersihkan jenazah dari lumuran debu bercampur darah. Imam Ali r.a. tidak sanggup membendung derasnya linangan airmata dan menangislah ia ter­sedu-sedu. Ia berdiri menengadah ke langit sambil mengangkat ke­dua belah tangan memohonkan pengampunan kepada Allah s.w.t. bagi Thalhah bagi dirinya sendiri dan bagi segenap kaum muslimin. Selesai berdoa Imam Ali r.a. memerintahkan beberapa orang sahabat supaya membenahi jenazah Thalhah dgn se­baik-baiknya.
Kembali ke tempat kediamannya
Perang Unta atau Perang Jamal telah selesai. Tibalah saat yg tepat utk segera mengembalikan Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. ke Madinah. Untuk keperluan itu Imam Ali r.a. mempersiap­kan segala sesuatu yg dipandang perlu guna menjamin keama­nan dan keselamatan Ummul Mukminin selama dalam perjalanan pulang.
Persiapan dilakukan dgn sebaik-baiknya krn ia menge­tahui bahwa di kalangan pasukannya terdapat anasir-anaisr eks­trim yg jika tidak diadakan tindakan-tindakan pencegahan dapat berbuat onar dan mengganggu perjalanan Sitti Aisyah r.a. Bagaimana pun juga Ummul Mukminin harus dihormati dan di­lindungi.
Tak mungkin Ummul Mukminin dilepas seorang diri me­nempuh perjalanan jarak jauh di tengah padang pasir belantara. Ia harus dikawal. Tetapi siapakah yg harus mengawalnya? Apakah seregu pasukan dapat diserahi tugas pengawalan Ummul Muk­minin? Tentu saja dapat. Tetapi kemungkinan resikonya pun ada. Lebih-lebih mengingat Ummul MuKminin itu baru saja dianggap sebagai salah seorang pemimpin. Setelah ia gagal dan keluar dari peperangan sebagai fihak yg kalah kemudian dipulangkan ke Madinah dgn pengawalan pasukan yg baru saja berhenti
memusuhinya kemungkinan apakah yg bisa terjadi di tengah perjalanan?
Sebagai seorang pemimpin yg sudah biasa berkecimpung dalam peperangan menghadapi tipu muslihat musuh Imam Ali r.a. tidak kehilangan akal. Sejumlah wanita dari Bani Qies diajak bermusyawarah dan diberi petunjuk tentang apa yg harus dilakukan dalam melaksanakan tugas. Mereka diminta kesediaan­nya utk bertindak
sebagai regu pengawal Ummul Mukminin.
Imam Ali r.a. juga mengerti bahwa krn mereka itu se­muanya wanita mungkin tidak akan disegani atau ditakuti oleh orang-orang yg hendak berbuat jahat di perjalanan. Agar tidak sampai dipandang “remeh” oleh orang lain mereka harus ber­pakaian sebagai pria. Lengkap dgn jubah dan serban serta pe­dang tersandang di pinggang. Para pengawal khusus ini harus dapat bertindak seperti pria selama dalam perjalanan.
Selain wanita-wanita yg bertugas itu sendiri seorang pun tidak boleh mengetahui rencana itu. Perahasiaannya dilakukan dgn ketat.
Setelah semua persiapan selesai di bawah lindungan Ilahi Ummul Mukminin diberangkatkan pulang ke Madinah. Selama dalam perjalanan Sitti Aisyah r.a. yg berada di dalam haudaj sama sekali tidak mengetahui bahwa para pengawalnya terdiri dari kaum wanita. Segala yg diperlukan selama perjalanan sudah di­sediakan dalam haudaj sehingga Sitti Aisyah r.a. tidak perlu turun utk suatu keperluan. Begitu juga “para prajurit” tak seorang pun dari mereka yg berhadapan muka dgn Sitti Aisyah r:a. dan tak seorang pun yg bercakap-cakap dgn suara yg bisa di dengar dari haudaj. Semuanya diatur sedemikian rapi dan sem­purna.
Sepanjang perjalanan Ummul Mukminin bersungut-sungut krn dikiranya Imam Ali r.a. mempercayakan pengawalan atas dirinya kepada orang-orang pria. Bukankah itu tidak sesuai de­ngan tatakrama yg semestinya? Ia bersungut-sungut dan terus bersungut-sungut krn tidak menduga sama sekali bahwa rom­bongan pengawal yg tampak gagah itu semuanya terdiri dari kaum wanita!
Baru setelah tiba di Madinah yaitu setelah Ummul Mukmi­nin turun dari haudaj ia melihat sendiri semua prajurit pengawal­nya menanggalkan jubah sorban dan sabuk gantungan pedang. Ia terpukau keheran-heranan mengapa semuanya itu tidak diketahui padahal perjalanan sedemikian jauh? Sambil menanggalkan pa­kaian pria “prajurit-prajurit” itu terkekeh-kekeh dan berkata ke­pada Ummul Mukminin: “Lihatlah kami ini semuanya wanita!”
Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a kini telah kembali ke tem­pat kediaman semula dgn penuh kenangan pahit. Sejak itu sampai akhir hayatnya ia tidak lagi melibatkan diri dalam kegiatan politik apa pun. Seluruh sisa hidupnya yg masih panjang itu di­pergunakan sebaik-baiknya utk menekuni kehidupan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada pesan-pesan suaminya Nabi Muhammad s.a.w.
Sebuah Penilaian
Seusai Perang Unta Imam Ali r.a. bersama pasukannya me­nuju ke sebuah dusun di Bashrah Dzi-qar. Di dusun itu dulu per­nah terjadi pertempuran seru antara pasukan muslimin melawan pasukan Persia.
Abu Minhaf menyajikan keterangan Zaid bin Shuhan sa­habat Imam Ali r.a. yg menyaksikan dan mendengarkan sen­diri apa yg dikatakan olehnya dalam khutbah yg diucapkan di dusun Dzi-qar sehabis perang Unta.
Dengan serban berwarna hitam terlilit di sekitar kepala kata Zaid bin Shuhan Imam Ali r.a. mengucapkan sebuah Khut­bah yg berisi penilaian tentang Perang Unta.
“Alhamdulillah dalam segala hal dan segala keadaan sepan­jang hari dan sepanjang malam. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adl Rasul Allah serta ham­ba-Nya. Beliau diutus sebagai rahmat kepada segenap manusia hamba Allah. Pada saat bumi ini penuh dgn fitnah goyah ika­tan peraturan penghuninya di mana setan-setan disembah dan di­puja iblis musuh Allah menyelinap ke dalam aqidah semua pen­duduk.”
“Pada saat seperti itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib s.a.w. memadamkan kobaran apinya dan memudarkan percikan baranya. Dengan Rasul-Nya itu Allah s.w.t. mencabut tongak-tonggak penghalang dan menegakkan semua yg miring serba bengkok. Beliau s.a.w. adl pembimbing ke jalan hidayat seorang Nabi pilihan Allah s.w.t. Beliau telah menunaikan apa yg telah diperintahkan Allah kepadanya dan telah pula menyam­paikan risalah Tuhannya kepada ummat manusia. Dengan Rasul-­Nya itu Allah s.a.w memperbaiki semua yg rusak mengamankan semua jalan menuju ke arah kebenaran memulihkan kerukunan dan mempersatukan semua orang yg dahulu dadanya dibakar oleh perasaan dendam dan dengki.”
“Setelah semuanya itu terwujud menjadi kenyataan yg be­nar Allah s.a.w. memanggil beliau s.a.w. kembali ke sisi-Nya da­lam keadaan beliau selalu bersyukur. Sepeninggal beliau s.a.w. kaum muslimin membai’at Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Kha­lifah. Abu Bakar telah bekerja tanpa menghemat tenaga. Setelah wafat ia diganti oleh Umar. Umar pun telah bekerja dgn se­penuh tenaga. Setelah wafat kaum muslimin menggantinya de­ngan membai’at Utsman sebagai Khalifah. Ia telah mendapatkan sesuatu dari kalian dan kalian pun telah memperoleh sesuatu dari dia sampai akhirnya terjadi apa yg telah terjadi.”
“Kemudian sesudah itu kalian datang kepadaku untuk. me­nyatakan bai’at padahal aku sama sekali tidak pernah membutuh­kan hal itu. Waktu itu kalian kutinggal masuk ke dalam rumah tetapi kalian mendesak supaya aku keluar. Aku menahan tangan tetapi kalian menarik-narik dan berdesak-desakan memperebut­kan tanganku sampai kukira kalian akan membunuhku atau hen­dak saling bunuh di antara kalian sendiri. Namun ternyata kalian membai’at diriku sedang aku sendiri tidak merasa senang atau gembira.”
“Allah s.w.t. mengetahui bahwa aku tidak suka memim­pin pemerintahan atau memegang kekuasaan di kalangan ummat Muhammad s.a.w. Sebab aku mendengar sendiri beliau s.a.w. per­nah menyatakan: “Tidak ada seorang penguasa pun yg memerin­tah ummatku yg kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyat­nya utk diperlihatkan catatan-catatan tentang perbuatannya. Jika ia seorang yg berlaku adil akan selamatlah. Tetapi jika ia seorang yg berlaku dzalim akan tergelincirlah ke dalam neraka.”
“Kalian bersama orang banyak membai’atku. Begitu juga Thalhah dan Zubair. Dua orang itu pun menyatakan bai’atnya ma­sing-masing kepadaku. Waktu itu kulihat ada tanda-tanda lain yg memperlihatkan niat cidera dalam pandangan mata mereka. Tak lama kemudian dua orang itu minta izin kepadaku utk mela­kukan umrah. Mereka berdua kuberitahukan terus terang bahwa sebenarnya mereka itu tidak berniat melakukan umrah. Tetapi mereka berangkat juga. Lalu secara diam-diam menghubungi Sit­ti Aisyah. Bersama orang lain yg mau mengikuti kedua orang itu Sitti Aisyah dikelabui. Pengikut-pengikut mereka itu terdiri dari orang-orang Makkah yg baru memeluk Islam setelah kota Makkah dibebaskan oleh Rasul Allah s.a.w. dari kekuasaan kaum musyrikin.”
“Kemudian mereka semua berangkat menuju Bashrah. Di­sanalah mereka melakukan perbuatan tercela dan merugikan kaum muslimin. Alangkah anehnya dua orang itu. Dulu mereka bersi­kap loyal kepada Abu Bakar dan Umar tetapi kepadaku mereka bersikap membangkang dan memberontak. Padahal mere­ka tahu benar bahwa aku ini tidak kurang dibanding dgn Abu Bakar dan Umar. Jika aku mau tentu hal itu sudah kukatakan sejak dulu.”
“Yang pasti ialah bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan telah me­nulis surat kepada dua orang tersebut dari Syam utk berusaha membujuk. Dua orang itu merahasiakan surat Muawiyah terhadap­ku lalu keluarlah mereka mengelabui orang banyak dgn alas­an seolah-olah dua orang itu hendak menuntut balas atas terbu­nuhnya Khalifah Utsman. Demi Allah dua orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa aku ini memang tidak melakukan perbuatan yg sangat tercela seperti itu. Tetapi dua orang itu ti­dak mau bersikap adil terhadap diriku dan terhadap diri para pem­bunuh Utsman.”
“Sebenarnya dua orang itulah yg langsung terlibat dalam penumpahan darah Utsman dan dua orang itulah yg seharusnya dimintai pertanggunganjawab. Alangkah kosongnya tuduhan mereka itu! Demi Allah dua orang itu benar-benar sesat dan tidak dapat mendengar tidak mau mengerti dan tidak dapat melihat. Hanya setan-setan sajalah yg telah menggiring pasukan berkuda dan pejalan kaki di belakang dua orang itu utk mengembalikan kedzaliman kepada tempatnya dan mengembalikan kebatilan kepada asal mulanya.”
Ibnu Abil-Hadid: Syarh Nahjil-Balaghah VI/224-229 dan Lubabun-nuqul Fi Asbabin-nuzul: Imam Jalaluddin Assayuthi.
Wassalam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.