UTSMAN IBN AFFAN DAN ALI BIN ABI TALIB
( 24-35 H/644-656
M)
(35-40 H/656-661 M)
I. PENDAHULUAN
Sejarah mencatat bahwa
kehidupan pada masa jahiliyah yang identik dengan konflik dalam kontek berbagai
aspek, termasuk politik, budaya, agama dan bahkan sosial, tentu akan menjadi
bahan perbandingan dan zaman Khulafaur-Rasyiddin, keadaan tersebut masih
mewarnainya.
Dalam pemerintahan Utsman ibn Affan juga situasi itu masih
berlangsung, terbukti wafatnya Utsman adalah dilatar belakangi oleh konflik
yang terjadi ketika itu.
Ada beberapa konsekwensi logis
yang mengantarkan kita pada latar belakang terpilihnya Utsman, walaupun telah
diketahui bersama bahwa pengangkatan Utsman adalah atas campur tangan
"Umar" dan keadaan itulah yang menjadi embrio permasalah yang
klimaknya tepat pada pemerintahan Utsman ibn Affan
Khalifah Utsman Bin Affan
(kalifah ke-III) dan Ali Bin Abi Thalib (kalifah ke-IV) tidak terlepas dari
pengaruh geliat jahiliyah, makalah ini akan menjelaskan bagaimana kondisi
sosial seperti ekonomi, politik, agama dan lain-lain pada masa dua khalifah
yang terakhir ini. Bagaimana kondisi itu saling
berkaitan hingga menjadi faktor penyebab kekacauan pada masa kedua khalifah
ini. Apakah nepotisme dan korupsi layak dituduhkan kepada Utsman?, benarkah Ali
terlibat dalam konspirasi pembunuhan Utsman seperti yang dituduhkan
sahabat-sahabatnya kala itu ?.
II. PEMBAHASAN
A.
Utsman ibn Affan
1.
Kepemimpinan Utsman ibn
Affan
Utsman ibnu ‘Affan ibnu Abil Ash ibnu Umayyah,
dilahirkan di waktu Rasulullah berusia lima tahun dan masuk Islam atas seruan
Abu Bakar Ash Shiddieq. Beliau terhitung saudagar besar dan kaya, dan sangat
pemurah dan menafkahkan hartanya untuk kepentingan agama Islam.
Di waktu Rasulullah
mengerahkan “Jaisyul Usrah” (balatentara yang dikerahkan dalam waktu kesukaran,
yakni pada peperangan Tabuk) Utsman mendermakan 950 Unta, 59 ekor kuda dan 1000
Dinnar untuk keperluan lasykar. Pada peristiwa-peristiwa sebelum itupun Utsman
banyak sekali mendermakan harta dengan tidak ditahan-tahannya, untuk kemenangan
Islam.
Beliau termasuk sahabat yang telah diberi kabar
gembira oleh Rasulullah untuk masuk Surga. Ada diriwayatkan bahwa Rasulullah
pernah bersabda: “ Tiap-tiap Nabi mempunyai teman, temanku di Surga ialah
utsman.” Oleh karena pertalian beliau amat akrab dengan Rasullah, maka Rasullah
mengawinkannya dengan putrinya yang bernama Ruqaiyah dan setelah Ruqaiyah
meninggal dalam peperangan Badr, maka Nabi mengawinkannya dengan putri yang
kedua, yaitu Ummu Kalsum oleh karena itu Utsman dikenal dengan sebutan “Dzun
Nurain” (yang mempunyai dua cahaya). Ummu Kalsum meninggal pada tahun sembilan
Hijriyah. Rasulullah berkata kepadanya : “Andaikata kata kami mempunyai putri
yang ketiga, tentu akan kami kawinkan pula dengan engkau”.
2. Pengangkatan Utsman
Ketika Khalifah Umar
menjelang wafat ummat Islam menyarankan untuk memilih Khalifah sebagai
pengganti. Karena itu beliau mengambil jalan tengah,
antara menunjuk dan tidak. Beliau menunjuk enam orang sahabat yang telah diberi
kabar gembira oleh Rasulullah akan masuk surga, dan mereka adalah orang-orang
terbaik, pun ditinjau dari sifat kedudukan masing-masing mereka pastilah orang
yang akan menjadi Khalifah dan itu harus dipilih diantara mereka. Diantara
mereka berenam yaitu: Utsman ibnu ‘Affan, Ali ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair
ibnu Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqqash dan Abdurrahman ibnu “Auf.
Melalui persaingan yang sangat alot dengan Ali, sidang
yang diberi nama saat itu sidang (komisi) Ahlu asy Syura atau Ahlu
al-Halli wa al-‘Aqli dimana lembaga ini dibentuk dan bergerak dalam
bidang yudiritas dan bertugas mengontrol kebijakan-kebijakan penguasa sebagai
wakil rakyat yang dipercaya untuk tugas itu dan lembaga sebagai penampung dan
penyalur aspirasi rakyat saat itu, akhirnya memberi mandat ke-Khalifahan kepada
Utsman Ibnu ‘Affan dijaman Khulafaurrasyidin, yaitu periodenya sampai mencapai
12 tahun lamanya, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya
menjadi saat yang indah dan sukses baginya. Dalam sejarah mengatakan jaman
pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu 6 tahun masa keemasan atau jaman
perluasan ekspansi Islam, dan 6 tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang
buruk.
Selama paruh pertama pemerintahannya, Utsman melanjutkan
sukses para pendahulunya, terutama pada perluasan wilayah kekuasaan Islam.
Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai oleh Islam seperti Mesir dan Irak
dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedi Militer yang
terencanakan secara cermat dan simultan disegala front, di Mesir pasukan Muslim
diintruksikan Memasuki Afrika Utara.
Salah-satu pertempuran penting disini adalah “Zatis
Sawari” (peperangan tiang kapal) yang terjadi dilaut Tengah dekat kota Iskandariyah antara Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Constantine dengan
Lasykar Muslim yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Abi Sarah. Pada perang itu Islam
berhasil mengalahkan Romawi yaitu bergerak menuju Basrah untuk menaklukkan sisa
kerajaan Sasan di Irak dan dari kota
Kuffah sampai menuju Laut Kaspia.
Perluasan-perluasan berikutnya terus jadi sasaran dalam
pemerintahan Utsman dan tentunya Islam saat itu penuh dengan kekayaan dan
kekuatan militernya. Upaya-upaya lain pun dilaksanakan seperti penyebaran Agama
Islam. Masa-masa yang dilewati oleh Khalifah yang terkenal dengan
kedermawanannya dan juga ketaatannya dalam beragama, dan sebagai
pengganti Khalifah Umar ia memberikan warna yang berbeda, dengan membuat
terobosan-terobosan terutama dalam merubah Islam kepada perubahan dan termasu.
Pengumpulan macam-macaman teks Al-Qur’an- yang kemudian ditulis
dalam tulisan atau aturan bacaan yang satu agar tidak terjadi perdebatan dalam
hal menetapkan bacaan Al-Qur’an dan sebagai rujukan bagi Al-Qur’an yang dialeg
bacaan berbeda yang dikepalai oleh Zaid Ibnu Sabit.
3. Tuduhan
Nepotisme dan Tadwin Mushaf Imam
Nepotisme berasal dari bahasa Yunani yaitu nepiu yang artinya
keponakan dan dalam bahasa Inggris berasal dari kata Nepotism dapat
diartikan dengan: mendahulukan sanak saudaranya sendiri khususnya dalam
pemberiaan jabatan.
Dalam pemerintahan Khalifah Utsman tergolon
g sukses pada enam tahun awal dari pemerintahannya, namun sesuai
dengan cacatan sejarah bahwa enam kedepan banyak terjadi perubahan-perubahann
termasuk tuntutan rakyat, dimana adanya Nepotisme ditubuh pemerintahan Utsman
sangat meresahkan kehidupan rakyat.
Ketika Utsman mengangkat Marwan ibnu Hakam, sepupu Khalifah yang
dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik, menjadi
sekretaris utamanya, dan ketika itu spontan rakyat timbul mosi tak percaya
terhadap keputusan yang diambil oleh Utsman tersebut. Begitu pula penempatan
Muawiyah, Walid ibnu Uqbah dan Abdullah ibnu Sa’ad masing-masing menjadi
Gubernur Suriah, Irak, dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum.
Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat
Khalifah memperoleh harta pemerintah dengan mengorban kekayaan umum dan tanah
Negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah dan Marwan sendiri
menyalahgunakan harta Baitul Mal (dipakai untuk kepentinagn pribadi dan
diberikan juga untuk kaum kerabat lainnya dan seakan-akan beliau tidak sadar
bahwa harta Baitul Mal adalah Harta Kaum Muslimun) Muawiyah mengambil alih
tanah Negara Suriah dan Khalifah mengijinkan Abdullah untuk mengambil untuk
dirinya sendiri seperlima dari harta rampasan perang Tripoli.
Situasi itu benar-benar semakin mencekam, bahkan
usaha-usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan
ummat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Penulisan
Al-Qur’an yang diperkirakan sebagai langkah yang efektif malah menjadi menambah
permasalahan dan bahkan mengundang kecaman, dan juga Utsman malah dituduh tidak
punya otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang dibakukan itu. Rasa tidak
puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh, di Kuffah dan
Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang
Gubernur yang diangkat Oleh Khalifah. Selain ketidaksetian rakyat terhadap
Abdullah ibnu Sa’ad saudara angkat Khalifah sebagai penggati Gubernur ‘Amr ibn
Ash juga karena komplik soal pembagian ganimah..
Pergolakan semakin memanas saat itu, Abdullah ibn Saba'
seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, memotori para sahabat untuk
membuat gerakan-gerakan pemberontakan, sahabat yang terpancing oleh tipu daya
muslihat Abdullah ibn Saba' adalah: Abu Zar al-Ghiffari, Ammar ibn Yasir` dan
Abdullah ibn Mas'ud. Sebenarnya Abdullah ibn Saba' telah cukup lama menantikan
moument ini, dimana situasi ini dapat menghancurkan Islam, yang pertama-tama ia
mempropaganda barisan pengikut Ali ibn Thalib.
Waktu itu barisan pengikut Ali selalu dimarjinalkan oleh
pejabat-pejabat dari pihak Utsman, isu-isu yang dilancarkan oleh Abdullah ibn
Saba' bagaikan gayung bersambut, dan saat itu lahirlah golongan yang disebut
dengan "Mazhab Whisayah". Mazhab ini mempunyai ideologi bahwa Alilah
yang berhak menjadi Khalifah dan dia adalah orang yang mendapat wasiat dari
Nabi Muhammad SAW. Para penganut mazhab ini
sangat memuliakan Ali sebagaimana rasul menjulukinya sebagai "Pintu
Ilmu". Paham tersebut sesuai dengan doktrin dan ideologi yang dibawa
oleh Abdullah ibn Saba' dan ia menambahi paham itu dengan paham-paham yang
dibawanya dari Persi yaitu paham "Hak Ilahi", aliran ini berasal dari
Persi yang dibawa ke Yaman tempat kelahiran Abdullah ibn Saba' fase sebelum
datangnya Islam. Menurut paham ini Alilah yang berhak sebagai Khlifah tetai
Utsman mengambilnya dengan jalan pemaksaan.
4. Pemberontakan Terhadap Utsman
Beranjak dari hasutan-hasutan Abdullah ibn Saba', semua
isu-isu kotornya sangat tepat sasaran, shingga setiap kebijakan-kebijakan
Utsman menjadi bumerang baginya, ditambah lagi para kerabatnya tidak punya
tanggung jawab terhadap rakyat.
Terjadilah pembrontakan-pembrontakan dimana-mana, saat
iitu yang paling getol mengkritiksi Utsman adalah Abu Zar al-Ghiffari, ia
menyoroti aspek nefotisme dan kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi ditubuh
pemerintahan Utsman. Ketika kobaran-kobaran pembrontakan didaerah menuntut agar
Utsman segera turun dari pemerintahan, namun Utsman ibn Affan tetap bersikukuh
mempertahankan kekahlifahannya.
Mesir dan Basrah, mereka merapatkan barisan menuju ke
Madinah dan sampai disana mereka bertemu dengan Ali ibn Thalib yang berusaha
bernegosiasi dengan mereka yang datang dari Mesir dan Basrah. Karena kebijakan
dan ketawadukan Ali ibn Thalib, para pemberontak itu bersikap legowo dan
memahami saran-saran Ali, dan bersedia untuk kembali kedaerah masing-masing .
Saat diperjalanan, menuju daerah masing-masing,
pemberontak asal Mesir memergoki seorang kurir yang membawa surat
perintah, yang isi surat tersebut ditujukan
kepada Gubernur Mesir untuk membunuh pemimpin pemberontak ketika mereka sampai
di Mesir, dan surat
tersebut berstempelkan Khalifah.
Setelah diteliti ternyata surat tesebut ditulis oleh
Marwan ibn Hakam tanpa sepengetahuan Utsman ibn Affan, kemudian mereka
membatalkan untuk kembali pulang ke Mesir dan menghubungi pemberontak yang dari
Basrah agar segera kembali dan bersama-sama menuju Madinah untuk mempertanyakan
hal tersebut. Dalam perjalanan ke Madinah mereka mendengar kabar bahwa pasukan
dari Mesir dan Syam sedang bersiap-siap menuju Madinah untuk melindungi Utsman
ibn Affan dan pasukan tersebut bermaksud untuk membasmi mereka.
Saat itu keadaan semakin genting, dan begitu mendengar
kabar tentang kedatangan pasukan dari Mesir dan Syam tersebut, pasukan
pemberontak bahkan bermaksud untuk membunuh Utsman ibn Affan. Padahal ketika
menemukan surat dari kurir (yang berisikan untuk
membunuh pemimpin mereka) tidaklah ada prasangka yang positif mereka apa maksud
dan tujuan surat
tersebut, apakah hanya berbentuk provokasi atau sebagai polotik Marwan ibn
Hakam untuk menjatuhkan Utsman agar bani Umayyah menggantikan ke
Khalifahan Utsman ibn Affan.
Walaupun selintas, surat tersebut
adalah berstempelkan Khalifah dan jelas-jelas yang memegang stempel saat itu
adalah Marwan ibn Affan, namun yang membuat surat diketahui pastinya dan hanya tuduhan
tanpa saksi dan bukti konkrit.
Ditambah lagi provokasi Abdullah ibn Saba' maka hilanglah
keimanan dan ketaqwaan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, yang ada saat itu
hanyalah dendam dan nafsu ingin membunuh Utsman ibn Affan.
Akibat nafsu yang tidak dapat dikendalikan lagi,
sesampai di Madinah mereka langsung mendatangi rumah Utsman ibn Affan, Ketika
itu Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husin dan beberapa orang lainnya berusaha
menghalau dan mencoba bernegosiasi kembali, Namun hal tersebut gagal, karena
banyaknya para pembrontak, Ali ibn Thalib dan yang lainnya tak kuasa
menghalangi mereka yang penuh dengan hawa nafsu untuk membunuh Utsman ibn Affan.
Dan mereka mulai mengepung rumah Utsman ibn Affan yang
saat itu Khalifah Utsman sedang membaca Al-Qur'an dan saat menemukan Utsman,
dengan tangan-tangan Iblis para pemberontak itu menghujamkan pedangnya kearah
Utsman yang sudah tua-renta itu, dan pemberotak lainnya berduyun-duyun
menghabisi Utsman dan akhirnya ia tewas bersama keluarganya.
Dengan bersimbah darah Utsman ibn Affan terbujur kaku di
atas sajadahnya dan saat itu tiada lagi aroma keIslaman yang ada hanya aroma
Iblis yang mengisi ruang-ruang rumah Khalifah Utsman Affan. Maka berakhirlah ke
Khalifahan Utsman ibn Affan yang berlangsung sampai dua belas tahun lamanya.
B.
Kepemimpinan Ali bin Abi
Talib yang Kurang Efektif
1. Ali Bin Abi Thalib Sebelum Khalifah
Ali bin Abu Thalib r.a. nama
Abu Thalib adalah Abdu Manaf bin Abdul Muthalib. Beliau adalah sepupu Rasul
juga menantunya, ibunya bernama Fatimah Binti Asad Binti Hasyim, ia dilahirkan
32 tahun setelah kelahiran Nabi. Beliau diasuh dan dididik oleh Rasul sejak kecil.
Iapun jadi pemeluk Islam pertama dari golongan anak-anak dan dijuluki si orang
pintar oleh Rasul.
Ali bin Abu Thalib merupakan
seorang para pendahulu Islam, salah seorang ulama yang tekun iabadah,
pemberani, zuhud dan ahli dalam berpidato; salah seorang yang pernah
mengumpulkan Al-Qur`an dan menunjukkannya kepada Nabi SAW. Dan menunjukkannya
pula kepada beliau, Abdul Aswad ad Dauli, Abu Abdurrahman As Salma dan
Abdurrahman bin Abu Laila. Ali adalah khalifah pertama dari bani Hasyim, nama
panggilannya Abus Sibthain yakni Al Hasan dan Al Husain. Ia adalah pahlawan
Islam di medan perjuangan seperti Hamzah dan Umar. Ali adalah teman berdiskusi
Abu Bakar dan Umar dan menjadi tokoh istimewa pada akhir pemerintahan Utsman.
2. Pengangkatan Ali
Setelah Utsman terbunuh
kelompok yang dari Mesir menganjurkan penduduk Madinah untuk membaiat pemimpin
setelah Utsman, atau Ali, Thalhah dan Zubeirpun akan mereka bunuh. Akhirnya
mereka mendatangi Ali untuk membaiat meskipun pada awalnya ia menolak. Tapi
tidak ada lagi yang lebih pantas daripada dirinya, iapun bersedia dengan syarat
dilakukan di mesjid, ia tidak mau ini dilakukan sembunyi-sembunyi. Sikap ini menandakan
bahwa ia sudah tahu bahwa apa yang akan terjadi tidaklah hal yang mudah
diatasi.
Iapun di baiat di masjid pada
hari jum’at 25 Dzul Hijjah 35 H. Tetapi pada pembaitan ini banyak para sahabat
yang tidak ikut dan membaiat belakangan, seperti Thalhah, Zubeir dan lainnya. Dua orang inipun memberi baiah karena terpaksa oleh ancaman Hukaim
Bin Jabalah yang diutus oleh orang Madinah.
3. Dinamika sosial, ekonomi, agama,
intelektual dan politik
Masa pemerintahan Ali penuh
dengan perang sipil, Khalifah ini dihadapkan pada situasi politik yang genting,
hal ini tentu berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat dan ekonomi mereka.
Sejak awal pemerintahannya sudah terlihat gejala-gejala akan meletusnya perang
sipil dan perang ini dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi
panutan sosial maupun agama, di satu pihak mereka juga sangat menghormat Ali.
Kondisi yang seperti ini sangat menyengsarakan masyarakat.
Pada bidang ekonomi perang
pasti berpangaruh negatif pada mayoritas punduduk, perdagangan menjadi lesu,
ditambah lagi ulah para penteror yang sering merampas harta benda masyarakat
yang bertujuan dagang maupun tidak.
Sebaliknya perpindahan ibukota
membawa pengaruh yang positif untuk perdagangan paling tidak disekitar Kufah
menjadi salah satu pusat peta perdagangan dan peradaban kala itu. Ali juga
Memperbaiki sistem pembagian faiy yang berlaku pada masa Utsman, ia tidak lagi
menerapkan sentralisasi, tapi seluruh faiy dibagi secara merata kepada orang
yang berhak.
Hal yang paling menonjol pada
masa pemerintahan Ali adalah munculnya aliran dalam Islam yang berawal dari
permasalahan politik seperti
a)
Khawarij yang muncul pertama
kali setelah perang Shiffin. Pada awalnya adalah golongan politik yang tidak
setuju dengan Ali. Akhirnya merekapun memberontak kepada Ali. Anggapan mereka
bahwa semua yang ikut dan menyetujui tahkim adalah kafir dan layak dibunuh.
b)
Syi’ah adalah anti Khawarij,
pada awalnya juga golongan politik sebagai tandingan Khawarij, mereka adalah
yang membaiat Ali untuk kedua kalinya setelah masalah Tahkim. Tapi pada
pertengahan masa pemerintahan Ali mereka mulai berubah menjadi golongan dalam
agama karena anggapan mereka Ali lebih pantas menjadi khalifah.
c) Mazhab Wishayah. Yaitu keyakinan bahwa Nabi telah
berwasiat untuk Ali agar melanjutkan kekhalifahannya. Mazhab
ini adalah hasil rekayasa Abdullah bin Saba’.
d) Mazhab
Sabaiyah, pengikut Abdullah bin Saba ’,
keyakinan golongan ini adalah adanya inkarnasi.
PROFILE : IMAM
ALI Bag. 11
Assalamu’alaykum
Wr. Wb
Disadur dari
buku :
Sejarah Hidup
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini Penerbit: Lembaga
Penyelidikan Islam Jl. Blora 29 Jakarta Oktober 1981
Perang Unta
Sekalipun sebenarnya
peperangan sudah tak dapat dihindarkan lagi namun Imam Ali r.a. masih tetap
berusaha utk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama muslimin. Ia teringat
kenangan lama yg indah ketika bersama Thalhah dan Zubair berjuang bahu membahu
menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.
Imam Ali r.a.
berusaha bertemu muka dgn dua tokoh bekas sahabatnya yg saat itu telah
mengangkat senjata utk menentangnya. Pada pertemuan muka dgn Thalhah Imam Ali
r.a. berkata: “Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu sendiri di rumahmu
tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan
mempergunakan diakah engkau berperang?”
Pertanyaan Imam
Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya
sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala utk kemudian pelan-pelan
menarik diri dari barisan yg dipimpinnya.
Ketika Marwan
bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran segera
mengikuti sambil berkata: “Demi Allah aku tak akan melepaskan tekadku utk
menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia lolos. Akan kubunuh dia krn
dia juga turut membunuh Utsman!”
Beberapa saat
kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu
lepas dari busurnya lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang
sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yg dilepaskan oleh anggota pasukannya
sendiri.
Sementara itu
ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dgn Zubair ia bertanya: “Hai
Abdullah apakah yg mendorongmu sampai datang ke tempat ini?”
“Untuk menuntut
balas atas kematian Utsman” jawab Zubair dgn terus terang.
“Engkau
menuntut balas atas kematian Utsman?” tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban
Zubair tadi. “Allah mengutuk orang yg membunuhnya! Hai Zubair engkau
kuingatkan. Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. waktu
itu beliau bertopang pada tanganmu melewati aku kemudian beliau tersenyum
padaku lalu menoleh kepadamu sambil berkata: “Hai Zubair engkau kelak akan
memerangi Ali secara dzalim!”
“Oh ya” jawab
Zubair setelah beberapa saat mengingat-ingat.
“Mengapa engkau
sekarang memerangi aku?” tanya Imam Ali r.a. pula.
“Demi Allah”
sahut Zubair “aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar utk
memerangimu.”
Selesai mengucapkan
kata-kata itu Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dgn air mata
membasahi pipi. Tetapi malang
bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yg bernama Ammar bin Jarmuz
ketika melihat Zubair terpisah dari pasukannya segera diikuti dan kemudian
dibunuh.
Perang Unta
atau Waq’atul Jamal antara sesama kaum muslimin sudah tak dapat dihindarkan
lagi. Dalam tulisannya tentang Waq’atul Jamal Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara
lain mengatakan bahwa dua pasukan saling berhadapan pasukan Thalhah dan
penduduk Bashrah terus menerus dibakar semangatnya dgn syair-syair agitasi.
Mereka dikerahkan utk mengarungi pertempuran sengit melawan Imam Ali r.a. dan
pasukannya.
Di
tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit muncul Auf bin Qhatan Adh
Dhabiy. Ia berteriak: “Tidak ada fihak yg harus dituntut atas kematian Utsman
selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!” Sejalan dgn itu ia menarik tali
kekang unta yg dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:
Hai ibu… hai
ibu tanah air telah lepas dariku
Aku tak ingin
kuburan dan tak ingin kain kafan
Disinilah medan laga bagi Auf bin
Qhatan
Jika Ali lepas
dari tangan matilah aku
Atau jika dua
anaknya Hasan dan Husein lepas..
Baiklah aku
mati merintih bagaikan pahlawan!
Dengan pedang
teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban
di fihak lawan ia sendiri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan
menggelepar bergumul dgn pasir. Tali kekang yg lepas dari tangannya segera
diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yg benar-benar berani
bertempur sampai mati ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan
memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil
menghunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a. Dengan syair juga
ia menantang Imam Ali r.a. :
Mereka kuserang
tetapi tak kulihat ayah si Hasan
Aduhai..itu
merupakan kesedihan di atas kesedihan
Mendengar
tantangan Abdullah bin Abza Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan utk
melakukan serangan dgn tombak. Beberapa saat perang tanding berlangsung.
Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh
Imam Ali r.a. tiba-tiba ujung tombak yg runcing mengkilat sudah menancap di
tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik
sebelum Abdullah menarik nafas terakhir Imam Ali r.a. menghampirinya sambil
bertanya: “Sudahkah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?”
Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.
Sementara
pasukan kedua belah fihak sedang bergulat mengadu senjata banyak kepala dan
tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya Sitti Aisyah r.a. turun dari
unta. Ia mengambil segenggam kerikil lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut
Imam Ali r.a. seraya berteriak: “Hancurlah muka kalian!” Hal semacam itu
dilakukan Sitti Aisyah r.a. meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang
Hunain.(1)
Melihat
peperangan semakin dahsyat bersama regu pasukan yg mengenakan serban hijau
terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia
diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan Al Husein dan Muhammad Al Hanafiyah.
Sebelum tampil sendiri memimpin serangan Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji
ketangguhan puteranya yg bernama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan
panji pasukan Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: “Majulah dgn panji
ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan berhenti di tempat lain!”
Baru saja
Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah ia sudah dihujani anak-panah yg
beterbangan dari arah lawan. Melihat itu ia memerintahkan regunya supaya
berhenti sejenak: “Tunggu dulu sampai mereka kehabisan anak-panah!”
Mengetahui hal
itu Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada
orang yg disuruhnya itu dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus
melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban
Imam Ali menghampirinya sendiri dari belakang. Sambil menepukkan tangan kiri
ke bahu puteranya Ia membentak: “Hayo maju!”
Meskipun sudah
dibentak ayahnya agar maju terus namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban
bergerak. Sebagai seorang ayah Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yg
di tangan puteranya diambil kembali dgn tangan kiri sedang pedang yg terkenal
dgn nama “Dzul Fiqar” terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu
Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan “Jamal”. Setelah melakukan
serangan beberapa saat lamanya menangkis dan memukul musuh Imam Ali r.a.
kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.
“Ya Amirul
Mukminin” desak Al Asytar “cukuplah kami saja yg melaksanakan tugas itu!”
Desakan Al
Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Menoleh saja pun tidak darahnya
masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yg ada di sekitarnya
ketakutan. Pandangan matanya yg berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak
lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada puteranya Muhammad
A1 Hanafiyah.
Segera ia maju
lagi menyerang musuh utk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a.
menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dgn gesit dan cekatan.
Anggota-anggota pasukan Thalhah yg menjadi sasaran serangannya lari terbirit-birit
menyelamatkan diri. Banyak yg mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi
merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua Imam Ali r.a. kembali
lagi ke induk pasukan.
“Kalau anda
sampai gugur” puji sahabatnya setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya
“barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah cukup kami saja yg menyerang
dan bertempur!”
“Demi Allah”
jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. “Aku sangat tidak
setuju dgn fikiran kalian.
Yang kuinginkan
bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!”
Selanjutnya
kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: “Seperti akulah seharusnya engkau
berbuat!”
Muhammad Al
Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang
yg berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: “Siapa orangnya
yg sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!”
Ketika sedang
sengit-sengitnya pertempuran unta yg di kendarai Sitti Aisyah r.a.
terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah
fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai meringkik-ringkik
keras sekali krn tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.
Pasukan Imam
Ali r.a. makin maju menerjang utk lbh mendekat kepada unta. Gerakan pasukan
Imam Ali r.a. terhambat tumpukan manusia yg berada di sekelilingnya. Setiap
anggota pasukan yg mati penggantinya datang berlipat ganda.
Melihat situasi
itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: “Celakalah kalian! Tembak saja
unta itu dgn panah! Bantailah unta celaka itu!”
Unta yg
dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah
pun anak-panah yg menembus krn di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak
panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor landak
raksasa.
Terdengar lagi
suara orang berteriak: “Hai penuntut balas darah Utsman!” Yang berteriak ialah
Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yg
diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan
pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dgn semboyan: “Hai Muhammad!” Nama
putera Imam Ali r.a. yg memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera
mengikuti semboyan yg diserukan Imam Ali r.a.
Pasukan kedua
belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.
Peristiwa
tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yg diserukan Imam Ali
r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya sehingga mereka
berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.
Pasukan Thalhah
makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yg terus-menerus dilancarkan
pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha melarikan
diri atau meletakkan senjata. Pasukan yg makin lama makin mengecil itu kemudian
bergerak memusat di sekitar unta yg ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah
bertekad pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a.
sesudah melewati mayat-mayat mereka.
Perlawanan yg
diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa
sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme
mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta
yg besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yg luka dan mati. Padang pasir yg kering
menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.
Melihat keadaan
yg mengerikan itu Imam Ali r.a. mengambil suatu keputusan cepat utk merobohkan
unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Ammar.
Kepada kedua orang sahabatnya itu Imam Ali r.a. memerintahkan: “Cepat bantai
unta itu! Peperangan belum selesai apinya masih berkobar. Unta itulah yg
dijadikan semacam kiblat oleh mereka!”
Dua orang yg
diperintah itu segera maju bersama beberapa orang lainnya dari Bani Murad.
Seorang di antaranya bernama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al
Muradiy mereka mendekati unta lalu ponok dekat lehernya dipukul dengan pedang
oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta meringkik keras-keras dan akhirnya
rebah.
Pendukung-pendukung
Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a.
berteriak memberi perintah: “Potong tali pengikat Haudaj!”
Setelah itu
Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu gakar Ash Shiddiq : “Ambillah saudara
perempuanmu!” Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muhammad bin Abu Bakar dan
dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza’iy.
Selanjutnya
Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Abbas supaya menemui Sitti Aisyah dan
memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas
menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku datang
menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu utk duduk. Kuambil saja sebuah
bantal yg dibawa olehnya selama perjalanan lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia
berkata: “Hai Ibnu Abbas engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk
di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!”
“Ini bukan
rumah bunda” jawabku “bukan rumah yg oleh Allah bunda diperintahkan supaya
tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda aku tidak berani duduk di atas
bantal bunda tanpa seizin bunda!”
“Melalui aku”
kataku meneruskan “Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke
Madinah.”
Tiba-tiba ia
menyahut: “Mana ada Amirul Mukminin?”
“Dulu memang
Abu Bakar” jawabku dgn sabar dan hormat “kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang
Ali!”
“Tidak aku
tidak mau!” sahut Sitti Aisyah.
“Bunda sekarang
bukan lagi orang yg dapat memerintah atau melarang” kataku terpaksa menegaskan
“Tidak bisa mengambil dan tidak bisa memberi.”
Sitti Aisyah
kemudian menangis sampai suaranya kedengaran dari luar rumah. Lalu ia berkata:
“Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku insyaa Allah Ta’aalaa. Demi Allah
tidak ada suatu negeri yg kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang
ini.”
“Mengapa
begitu?” tanyaku. “Demi Allah kami tetap memandang bunda sebagai Ummul
Mukminin. Kami tetap memandang ayahnya bunda Abu Bakar sebagai seorang
shiddiq.”
Sehabis
pertemuan dgn Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya
kulaporkan semua yg kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yg dikatakannya
kepadaku. Mendengar laporanku itu Amirul Mukminin merasa lega. Menanggapi
laporanku ia berucap: “Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi
jawaban jawaban seperti itu.”
Sudah lazim
terjadi tiap kelompok masyarakat atau pasukan ssusai menghadapi peperangan
muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yg menuntut agar
semua orang yg terlibat dalam pasukan lawan yg sudah kalah itu dijadikan
tawanan diperlakukan sebagai budak dan dibagi-bagikan.
Menjawab
tuntutan ekstrim itu dgn tegas Imam Ali r.a. mengatakan: “Tidak!”
“Mengapa anda
melarang kami?” tanya fihak ekstrim itu “untuk menjadikan mereka sebagai
hamba-hamba sahaya padahal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!”
“Bagaimana
kalian boleh berbuat seperti itu” ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. “Mereka itu
dalam keadaan tidak berdaya lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah
dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun
tentang apa saja yg dipergunakan pasukan musuh utk melawan kalian boleh kalian
rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yg berada di dalam rumah penduduk
Bahsrah apalagi yg pintunya tertutup rapat semua itu adl milik mereka sendiri.
Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!”
Anasir-anasir
ekstrim tidak puas dgn penjelasan itu. Mereka tetap bersitegang leher dalam
mendesakkan tuntutannya.
Malahan berani
mengucapkan kata-kata yg bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau
tunduk kepada hukum yg batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak Imam
Ali r.a. menjawab dgn tantangan: “Coba siapa dari kalian yg berani merampas
Sitti Aisyah…? Coba siapa yg berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba
sahaya?! Ayoh jawab… Dia akan kuserahkan!”
Mendengar
tantangan Imam Ali r.a. yg sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan
beristighfar kepada Allah s.w.t.
Di saat
Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a.
Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan yg baru saja
melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terjadinya pertempuran.
Bersama beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. keluar utk membuktikannya sendiri
dgn hati tersayat-sayat sedih.
Benar bahwa
pada akhir masa hidupnya Thalhah mengambil sikap permusuhan tetapi bagaimana
pun juga ia adl sahabat Rasul Allah s.a.w. dan termasuk pejuang yg gigih
menegakkan Islam bersama para sahabat Nabi yg lain. Tidak jarang di masa lalu
Imam Ali r.a. berjuang bahu-membahu dalam berbagai peperangan melawan kaum
musyrikin.
Imam Ali r.a.
bukan seorang pembalas dendam dan bukan pula orang yg tidak mengenal
peri-kemanusiaan. Ia mempunyai rasa keadilan yg sangat tinggi. Oleh krn itu
tidak sukar baginya menilai seseorang dgn ukuran yg obyektif. Thalhah memang
dipandang telah berbuat salah tetapi kesalahannya tidak menghilangkan
kebajikan-kebajikan dan jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin.
Fikiran-fikiran seperti itu layak dimiliki oleh seorang pemimpin ummat yg hidup
penuh taqwa dan zuhud. Sekelumit pun Imam Ali r.a. tidak mempunyai kepentingan
pribadi dalam menghadapi perlawanan Thalhah. Hanya kebenaran dan keridhoan
Allah sajalah yg didambakan sepanjang hidupnya.
Setibanya di
depan jenazah Thalhah bin Ubaidillah ia menundukkan kepala. Kemudian jongkok
utk membersihkan jenazah dari lumuran debu bercampur darah. Imam Ali r.a. tidak
sanggup membendung derasnya linangan airmata dan menangislah ia tersedu-sedu.
Ia berdiri menengadah ke langit sambil mengangkat kedua belah tangan
memohonkan pengampunan kepada Allah s.w.t. bagi Thalhah bagi dirinya sendiri
dan bagi segenap kaum muslimin. Selesai berdoa Imam Ali r.a. memerintahkan
beberapa orang sahabat supaya membenahi jenazah Thalhah dgn sebaik-baiknya.
Kembali ke
tempat kediamannya
Perang Unta
atau Perang Jamal telah selesai. Tibalah saat yg tepat utk segera mengembalikan
Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. ke Madinah. Untuk keperluan itu Imam Ali r.a.
mempersiapkan segala sesuatu yg dipandang perlu guna menjamin keamanan dan
keselamatan Ummul Mukminin selama dalam perjalanan pulang.
Persiapan
dilakukan dgn sebaik-baiknya krn ia mengetahui bahwa di kalangan pasukannya
terdapat anasir-anaisr ekstrim yg jika tidak diadakan tindakan-tindakan
pencegahan dapat berbuat onar dan mengganggu perjalanan Sitti Aisyah r.a.
Bagaimana pun juga Ummul Mukminin harus dihormati dan dilindungi.
Tak mungkin
Ummul Mukminin dilepas seorang diri menempuh perjalanan jarak jauh di tengah padang pasir belantara.
Ia harus dikawal. Tetapi siapakah yg harus mengawalnya? Apakah seregu pasukan
dapat diserahi tugas pengawalan Ummul Mukminin? Tentu saja dapat. Tetapi
kemungkinan resikonya pun ada. Lebih-lebih mengingat Ummul MuKminin itu baru
saja dianggap sebagai salah seorang pemimpin. Setelah ia gagal dan keluar dari
peperangan sebagai fihak yg kalah kemudian dipulangkan ke Madinah dgn pengawalan
pasukan yg baru saja berhenti
memusuhinya
kemungkinan apakah yg bisa terjadi di tengah perjalanan?
Sebagai seorang
pemimpin yg sudah biasa berkecimpung dalam peperangan menghadapi tipu muslihat
musuh Imam Ali r.a. tidak kehilangan akal. Sejumlah wanita dari Bani Qies
diajak bermusyawarah dan diberi petunjuk tentang apa yg harus dilakukan dalam
melaksanakan tugas. Mereka diminta kesediaannya utk bertindak
sebagai regu
pengawal Ummul Mukminin.
Imam Ali r.a.
juga mengerti bahwa krn mereka itu semuanya wanita mungkin tidak akan disegani
atau ditakuti oleh orang-orang yg hendak berbuat jahat di perjalanan. Agar
tidak sampai dipandang “remeh” oleh orang lain mereka harus berpakaian sebagai
pria. Lengkap dgn jubah dan serban serta pedang tersandang di pinggang. Para pengawal khusus ini harus dapat bertindak seperti
pria selama dalam perjalanan.
Selain
wanita-wanita yg bertugas itu sendiri seorang pun tidak boleh mengetahui
rencana itu. Perahasiaannya dilakukan dgn ketat.
Setelah semua
persiapan selesai di bawah lindungan Ilahi Ummul Mukminin diberangkatkan pulang
ke Madinah. Selama dalam perjalanan Sitti Aisyah r.a. yg berada di dalam haudaj
sama sekali tidak mengetahui bahwa para pengawalnya terdiri dari kaum wanita.
Segala yg diperlukan selama perjalanan sudah disediakan dalam haudaj sehingga
Sitti Aisyah r.a. tidak perlu turun utk suatu keperluan. Begitu juga “para
prajurit” tak seorang pun dari mereka yg berhadapan muka dgn Sitti Aisyah r:a.
dan tak seorang pun yg bercakap-cakap dgn suara yg bisa di dengar dari haudaj.
Semuanya diatur sedemikian rapi dan sempurna.
Sepanjang
perjalanan Ummul Mukminin bersungut-sungut krn dikiranya Imam Ali r.a.
mempercayakan pengawalan atas dirinya kepada orang-orang pria. Bukankah itu
tidak sesuai dengan tatakrama yg semestinya? Ia bersungut-sungut dan terus
bersungut-sungut krn tidak menduga sama sekali bahwa rombongan pengawal yg
tampak gagah itu semuanya terdiri dari kaum wanita!
Baru setelah
tiba di Madinah yaitu setelah Ummul Mukminin turun dari haudaj ia melihat
sendiri semua prajurit pengawalnya menanggalkan jubah sorban dan sabuk
gantungan pedang. Ia terpukau keheran-heranan mengapa semuanya itu tidak
diketahui padahal perjalanan sedemikian jauh? Sambil menanggalkan pakaian pria
“prajurit-prajurit” itu terkekeh-kekeh dan berkata kepada Ummul Mukminin:
“Lihatlah kami ini semuanya wanita!”
Ummul Mukminin
Sitti Aisyah r.a kini telah kembali ke tempat kediaman semula dgn penuh
kenangan pahit. Sejak itu sampai akhir hayatnya ia tidak lagi melibatkan diri
dalam kegiatan politik apa pun. Seluruh sisa hidupnya yg masih panjang itu dipergunakan
sebaik-baiknya utk menekuni kehidupan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh
kepada pesan-pesan suaminya Nabi Muhammad s.a.w.
Sebuah
Penilaian
Seusai Perang
Unta Imam Ali r.a. bersama pasukannya menuju ke sebuah dusun di Bashrah
Dzi-qar. Di dusun itu dulu pernah terjadi pertempuran seru antara pasukan
muslimin melawan pasukan Persia .
Abu Minhaf
menyajikan keterangan Zaid bin Shuhan sahabat Imam Ali r.a. yg menyaksikan dan
mendengarkan sendiri apa yg dikatakan olehnya dalam khutbah yg diucapkan di
dusun Dzi-qar sehabis perang Unta.
Dengan serban
berwarna hitam terlilit di sekitar kepala kata Zaid bin Shuhan Imam Ali r.a.
mengucapkan sebuah Khutbah yg berisi penilaian tentang Perang Unta.
“Alhamdulillah
dalam segala hal dan segala keadaan sepanjang hari dan sepanjang malam. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adl Rasul Allah
serta hamba-Nya. Beliau diutus sebagai rahmat kepada segenap manusia hamba
Allah. Pada saat bumi ini penuh dgn fitnah goyah ikatan peraturan penghuninya
di mana setan-setan disembah dan dipuja iblis musuh Allah menyelinap ke dalam
aqidah semua penduduk.”
“Pada saat
seperti itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib s.a.w. memadamkan
kobaran apinya dan memudarkan percikan baranya. Dengan Rasul-Nya itu Allah
s.w.t. mencabut tongak-tonggak penghalang dan menegakkan semua yg miring serba
bengkok. Beliau s.a.w. adl pembimbing ke jalan hidayat seorang Nabi pilihan
Allah s.w.t. Beliau telah menunaikan apa yg telah diperintahkan Allah kepadanya
dan telah pula menyampaikan risalah Tuhannya kepada ummat manusia. Dengan
Rasul-Nya itu Allah s.a.w memperbaiki semua yg rusak mengamankan semua jalan
menuju ke arah kebenaran memulihkan kerukunan dan mempersatukan semua orang yg
dahulu dadanya dibakar oleh perasaan dendam dan dengki.”
“Setelah
semuanya itu terwujud menjadi kenyataan yg benar Allah s.a.w. memanggil beliau
s.a.w. kembali ke sisi-Nya dalam keadaan beliau selalu bersyukur. Sepeninggal
beliau s.a.w. kaum muslimin membai’at Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Khalifah.
Abu Bakar telah bekerja tanpa menghemat tenaga. Setelah wafat ia diganti oleh
Umar. Umar pun telah bekerja dgn sepenuh tenaga. Setelah wafat kaum muslimin
menggantinya dengan membai’at Utsman sebagai Khalifah. Ia telah mendapatkan
sesuatu dari kalian dan kalian pun telah memperoleh sesuatu dari dia sampai
akhirnya terjadi apa yg telah terjadi.”
“Kemudian
sesudah itu kalian datang kepadaku untuk. menyatakan bai’at padahal aku sama
sekali tidak pernah membutuhkan hal itu. Waktu itu kalian kutinggal masuk ke
dalam rumah tetapi kalian mendesak supaya aku keluar. Aku menahan tangan tetapi
kalian menarik-narik dan berdesak-desakan memperebutkan tanganku sampai kukira
kalian akan membunuhku atau hendak saling bunuh di antara kalian sendiri.
Namun ternyata kalian membai’at diriku sedang aku sendiri tidak merasa senang
atau gembira.”
“Allah s.w.t.
mengetahui bahwa aku tidak suka memimpin pemerintahan atau memegang kekuasaan
di kalangan ummat Muhammad s.a.w. Sebab aku mendengar sendiri beliau s.a.w. pernah
menyatakan: “Tidak ada seorang penguasa pun yg memerintah ummatku yg kelak
tidak akan dihadapkan kepada rakyatnya utk diperlihatkan catatan-catatan
tentang perbuatannya. Jika ia seorang yg berlaku adil akan selamatlah. Tetapi
jika ia seorang yg berlaku dzalim akan tergelincirlah ke dalam neraka.”
“Kalian bersama
orang banyak membai’atku. Begitu juga Thalhah dan Zubair. Dua orang itu pun
menyatakan bai’atnya masing-masing kepadaku. Waktu itu kulihat ada tanda-tanda
lain yg memperlihatkan niat cidera dalam pandangan mata mereka. Tak lama
kemudian dua orang itu minta izin kepadaku utk melakukan umrah. Mereka berdua
kuberitahukan terus terang bahwa sebenarnya mereka itu tidak berniat melakukan
umrah. Tetapi mereka berangkat juga. Lalu secara diam-diam menghubungi Sitti
Aisyah. Bersama orang lain yg mau mengikuti kedua orang itu Sitti Aisyah
dikelabui. Pengikut-pengikut mereka itu terdiri dari orang-orang Makkah yg baru
memeluk Islam setelah kota
Makkah dibebaskan oleh Rasul Allah s.a.w. dari kekuasaan kaum musyrikin.”
“Kemudian
mereka semua berangkat menuju Bashrah. Disanalah mereka melakukan perbuatan
tercela dan merugikan kaum muslimin. Alangkah anehnya dua orang itu. Dulu
mereka bersikap loyal kepada Abu Bakar dan Umar tetapi kepadaku mereka
bersikap membangkang dan memberontak. Padahal mereka tahu benar bahwa aku ini
tidak kurang dibanding dgn Abu Bakar dan Umar. Jika aku mau tentu hal itu sudah
kukatakan sejak dulu.”
“Yang pasti
ialah bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan telah menulis surat kepada dua orang tersebut dari Syam utk
berusaha membujuk. Dua orang itu merahasiakan surat Muawiyah terhadapku lalu keluarlah
mereka mengelabui orang banyak dgn alasan seolah-olah dua orang itu hendak
menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah Utsman. Demi Allah dua orang itu
tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa aku ini memang tidak melakukan
perbuatan yg sangat tercela seperti itu. Tetapi dua orang itu tidak mau
bersikap adil terhadap diriku dan terhadap diri para pembunuh Utsman.”
“Sebenarnya dua
orang itulah yg langsung terlibat dalam penumpahan darah Utsman dan dua orang
itulah yg seharusnya dimintai pertanggunganjawab. Alangkah kosongnya tuduhan
mereka itu! Demi Allah dua orang itu benar-benar sesat dan tidak dapat
mendengar tidak mau mengerti dan tidak dapat melihat. Hanya setan-setan sajalah
yg telah menggiring pasukan berkuda dan pejalan kaki di belakang dua orang itu
utk mengembalikan kedzaliman kepada tempatnya dan mengembalikan kebatilan
kepada asal mulanya.”
Ibnu
Abil-Hadid: Syarh Nahjil-Balaghah VI/224-229 dan Lubabun-nuqul Fi
Asbabin-nuzul: Imam Jalaluddin Assayuthi.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.