GEMA KEHIDUPAN
Seorang bocah
mengisi waktu luang dengan kegiatan mendaki gunung bersama ayahnya. Entah
mengapa, tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh. "Aduhh!"
jeritannya memecah keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut,
ketika ia mendengar suara di kejauhan menirukan teriakannya persis sama,
"Aduhh!" Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, "Hei! Siapa kau?"
Jawaban yang terdengar, "Hei! Siapa kau?" Lantaran kesal mengetahui
suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, "Pengecut kamu!" Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana
membalasnya dengan umpatan serupa.
Ia bertanya
kepada sang ayah, "Apa yang terjadi?" Dengan penuh kearifan sang ayah
tersenyum, "Anakku, coba perhatikan." Lalu lelaki itu berteiak dengan
keras, "Saya kagum padamu!" Suara di kejauhan menjawab, "Saya
kagum padamu!" Sekali lagi sang ayah berteriak "Kamu sang
juara!" Suara itu menjawab, "Kamu sang juara!" Sang bocah sangat
keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah menjelaskan,
"Suara itu
adalah GEMA, tapi sesungguhnya itulah KEHIDUPAN." Kehidupan memberi
umpan balik atas semua ucapan dan
tindakanmu. Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau
bayangan atas tindakan kita. Bila kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta di
dunia ini, ya ciptakan cinta di dalam hatimu. Bila kamu menginginkan tim
kerjamu punya kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan itu. Hidup akan
memberikan kembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya. Ingat,
hidup bukanlah sebuah kebetulan, tetapi sebuah bayangan dirimu. [ARIF]
IBU IJINKAN AKU MENCIUMMU
Sewaktu masih
kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku
mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan
sore. Setiap hari, aku 'dipaksa' membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah
dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain
sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus
mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang
aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali
mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah
dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan
menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah
lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau
aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh
anak-anakku. Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang
mengantarku hingga masuk ke dalam kelas.
Dengan sabar
pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang
sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk
yang menderanya, atau terik, atau hujan.
Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku
sampai bel berbunyi.
Kini, setelah
aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman,
bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan
pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga. Di usiaku yang menanjak remaja,
aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang
kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan
seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang
tak menyangka aku sedang bersamanya. Padahal menurut cerita orang, sejak aku
kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli
pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian
yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di
tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang
dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia
mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku
erat-erat saat aku menangis.Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku
di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang
pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak
berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang
berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan
segala tuntutan keperluan kampus lainnya.Usai wisuda sarjana, baru aku
mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu
telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya.
Meski Ibu bukan
orang berpendidikan, tapi doa di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh
melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku
yang sekarang.Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia
tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu.
Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan
senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di
kakinya. Saat itulah aku menyadari,...ia juga yang pertama kali memberikan
kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini. Kini setelah aku sibuk
dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai
kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku
hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.
Sungguh,...kini setelah aku mempunyai anak, aku
baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti
dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak
sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.