Belakangan kelompok yang mengaku membawa jargon “basmi TBC”
semakin menyebar di masyarakat kita. Mereka tidak sadar, sebenarnya meraka
sendiri yang terkena “TBC”. Label mereka “Salafiyyah”, padahal sebenarnya
mereka “Talafiyyah” (kaum perusak).
Di antara masalah yang mereka pandang
sebagai bid’ah sesat, bahkan sebagian mereka menyebutnya sebagai perbuatan
syirik, adalah masalah “cium tangan”. Tanpa alasan yang jelas mereka mengatakan
bahwa mencium tangan seseorang adalah perbuatan bid’ah, bahkan mendekati
syirik. A’udzu
Billah.
Perlu diketahui bahwa mencium
tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh
adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan
hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat berikut ini. Di antaranya;
- Hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan
lainnya, bahwa ada dua orang Yahudi sepakat menghadap Rasulullah. Salah
seorang dari mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap -orang yang
mengaku- Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah
turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan kedua orang Yahudi ini adalah hendak
mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau adalah seorang yang Ummi
(tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullah
tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka sampai di
hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan
kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya
secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat
terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Keduanya orang
Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya.
Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih (Lihat
Jami’ at-Tirmidzi, Kitab al-Isti’dzan, Bab Ma Ja’a Fi Qublah al-Yad Wa
ar-Rijl).
- Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih
meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata:
“Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku
mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya” ( Lihat
ad-Durr al-Mantsur, j. 4, h. 314).
- Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam
kitabnya al-Adab al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium
tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali
lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah
pamannya sendiri dan seorang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua
kakinya tersebut (Lihat al-Adab al-Mufrad, h. 328).
- Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas,
salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah
meninggal. ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah
lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada
Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis
wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu,
dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana
hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid
untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn
Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga
Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan
keluarga Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari
‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn
al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.
- Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan
sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi,
bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di
ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki
unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat
Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya”
(Lihat Thabaqat Ibn Sa’d, j. 4, h. 229).
- Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang
shahih bahwa al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam
Muslim berkata kepadanya:
وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda” (Lihat
at-Taqyid Li Ma’rifah as-Sunan Wa al-Masanid, h. 33).
- Dalam kitab at-Talkhish al-Habir,
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
“Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang
dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz
penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu
peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:
فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan
kakinya”. (HR. Abu Dawud)
Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada
seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini
(Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan
hadits ini disebutkan:
فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata:
Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan
(al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu
Dawud) dengan sanad yang kuat.
- Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk
rombongan utusan ‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:
فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium
tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)
- Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk
(tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari
'Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:
قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani
dalam al-Mu’jam al-Kabir, j. 23, h. 108-114).
- Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu
Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ
بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ
إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ،
وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ
فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan
Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika
Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu
mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya
duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah,
maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian
mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.
Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish
al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil
tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu
tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri
dan menampakkan keangkuhan.
Membongkar Salah Paham Wahabi
Hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas
ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah
mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak
menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk
menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu
karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian,
Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi
ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan
sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan
keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan
al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)
berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa
dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika
mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk
raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi
meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul
dalam bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa
Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini
adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits (Ibn Hibban meriwayatkannya
dalam Kitab adl-Dlu’afa’, j. 2, h. 51, al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Jami’
ash-Shaghir menganggapnya dla’if. Demikian pula dinyatakan dla’if oleh
al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh Ibn Hajar, dan lainnya.
Bahkan al-Hafizh Ibn al-Jauzi mengklaimnya sebagai hadits Maudlu’. Lihat
al-Maudlu’at, j. 3, h. 46-47).
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits
dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia
meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan
dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!?
Hasbunallah.
Sekali lagi, jadi siapa sebenarnya yang memelihara
"TBC"?? Anda jangan pernah menjadi maling yang teriak maling, karena
walau anda selamat, pada akhirnya anda akan kualat.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.