*
Indonesiaitu memiliki banyak sekali pahlawan lho, tak cuma yang bergelar pahlawan, yang
lebih banyak itu pahlawan tak dikenal. Lho kok tak dikenal? Lha iya, pahlawan
itu kan yang
ikhlas berjuang demi masyarakat, bangsa dan negara. Disebut pahlawan kan oleh orang lain.
Pahlawan itu hatinya mbak malaikat saja. Pahlawan tak dikenal itu diantaranya
kawan saya ini. Sebut saja namanya Kang Ahmad, tentu bukan nama aslinya. Sesuai
sebutan kita, Ahmad itu artinya “terpuji.”
Kang Ahmad tinggal di
Bandung , ia orang
biasa. Pekerjaannya serabutan tapi dia memiliki hati yang mulia dan elmu
kehidupannya mumpuni. Elmunya didapatkan dari pengalaman hidupnya yang banyak.
Orang belajar di sekolah formal, Kang Ahmad belajar di sekolah kehidupan.
Hatinya makin lama makin peka. Ia lulusan universitas kehidupan. Universitas
ini banyak menghasilkan lulusannya jauh lebih matang kemanusiaannya ketimbang
universitas formal yang mahal itu. Diantaranya seperti Kang Ahmad yang akan
saya ceritakan ini.
Suatu hari Kang Ahmad ngopi di sebuah warung.
“Bismillahirrahmanirrahim …” lirihnya sebelum menyedot kopi panas oleh
mulutnya. “Alhamdulillaah …” setelahnya. Ia merasakan kopinya nikmat. “Duuh …
Akang, seneng sekali mendengarnya, tak lepas dari nama Gusti Allah,” kata
Mayang, penunggu warung itu. Agak gemuk tapi parasnya cantik dan kulitnya putih
mulus. Ramah pada setiap pengunjung. Banyak orang sering ngopi disitu karena
Mayangnya itu.
“Yaa … kan segala nikmat
yang kita rasakan kan
pemberian Gusti Allah! Ya kita harus banyak menyebut namanya dong …”
“Iya ya …”
“Semakin sering nyebut Gusti Allah, saya semakin tenang.”
Ahmad tak hafal dalil-dalil agama, tapi bila ngomong soal
benar salah dalam kehidupan ia akan panjang lebar penuh semangat 45,
renungannya dalam dan mulutnya susah berhenti. Mayang seneng kalau Kang Ahmad
datang ke warungnya, beda dengan yang lain, ngomongnya agama terus. Bukan
dalil, tapi agama sebagai sikap dan kesadaran sehari-hari.
“Kang sekalian ya saya mau tanya ya. Boleh kan ?”
“Ada
apa …?”
“Suami saya sekarang sedang membenci saya. Saya stres kalau
pulang, harus gimana. Sebabnya, karena ketahuan ada sms ke saya: ‘Mamah lagi
apa, gimana warungnya sudah tutup belum jam segini?’ Sms itu kebaca sama suami
saya. Dia cemburu dan marah berat sampai sekarang. Suami saya jarang dirumah
dan sudah tiga hari gak nanya. Saya gak mau keluarga jadi berantakan.”
Dari cara komunikasi, cara berbicara dan caranya
memperlakukan pengunjung, Kang Ahmad tahu Mayang adalah seorang istri yang baik.
Ia jualan kopi membantu suaminya yang penghasilannya pas-pasan. Ia pun pandai
menjaga diri. Warungnya, lumayan menambah biaya anaknya di sekolah perawat.
Melihat perempuan baik itu bekerja keras untuk membantu suaminya, hati Kang
Ahmad merasa kasihan dan hatinya mengatakan keluarga ini harus diselamatkan. Ia
meminta Mayang menceritakan urutan kejadiannya. Intinya, Mayang ngaku khilaf
ngasih nomor hape pada salah seorang pengunjungnya padahal gak bermaksud
macam-macam. Biasa lah, melihat paras aduhai, laki-laki selalu saja mencari
celah memanfaatkan kesempatan.
Kang Ahmad memutar otak, gimana cara menolongnya. Membantu
kesulitan orang, ia sudah biasa. Bisa dibilang, itu sudah pekerjaannya
sehari-hari.
“Gini saja,” tukasnya, ”gimana kalau suamimu itu kita temui?”
“Mau apa Kang …?”
“Ya kita selesaikan. Saya akan berpura-pura jadi orang yang
meng-sms itu.”
“Waah … gawat, nanti ribut kang, terus mau apa?”
“Gaak .. dijamin. Saya akan membantumu, ini harus
diselesaikan. Saya akan berterus terang telah khilaf, minta maaf dan
menjelaskan bahwa kita belum pernah berbuat apa-apa.”
Perempuan itu ketakutan, ia membayangkan reaksi suaminya.
“Dijamin, tidak akan ada keributan,” tegas Kang Ahmad sekali
lagi. Setelah diyakinkan, perempuan itu mau. Esoknya, berangkatlah mereka ke
rumah mertuanya. Mayang masih tinggal di kawasan Komplek Mertua Indah.
Begitu sampai di pagar dan mengucapkan salam: “Eeemh ….
pantaaas … begitulah rupanya kelakuan perempuan yang tak tahu diuntung. Baru
juga usaha warung kopi, kelakuannya sudah liar. Sakiiit … hati ibu mendengar
cerita tentang kamu. Mau apa kesini?” Hardik Ibu mertuanya. Mertua laki-lakinya
keluar dan memuncratkan amarah yang sama.
Mayang tersentak dan bingung. “Biarkan …. biarkan saja, gak
usah terpancing, tenangkan ..!” Bisik Kang Ahmad.
“Assalamu’alaikum Buu ….” Kata Kang Ahmad.
“Mau apa kesini laki-laki hidung belang? Berapa perempuan
sudah kamu sikat hah? Dia itu sudah punya suami, tahuu ..??”
“Saya kesini mau bersilaturahmi, terutama ke putra ibu,
suaminya Mayang.”
“Mau apa, mau ngerebut?? Dasar laki-laki rusak. Langsung
saja bilang pada suaminya!”
Suaminya sedang diluar rumah, Mayang menelpon. Awalnya tak
mau nerima, setelah istrinya merayu, ia mau datang. Tentu sambil hatinya masih
bergolak 90 derajat selcius.
“Mau apa kesini? Ngapain pulang? Teruskan saja kelakuanmu
itu!” Bentak laki-laki itu pada istrinya begitu turun dari motornya.
“Assalamu’alaikum Kang,” sapa Ahmad pada lelaki itu.
“Ooh … ini ya orangnya? Mau apa kamu?”
“Saya datang kesini berniat baik, ingin silaturahmi,
bagaimana kalau kita ngobrol baik-baik. Dengan emosi masalah ini tidak akan
selesai. Insya Allah nanti setelah Akang mendengar penjelasan saya, masalah ini
akan selesai.” Lelaki itu agak luluh, mereka bertiga masuk ke ruang tamu. Ibu
bapaknya di ruang tengah.
“Kang, terus terang yang nge-sms itu saya.” Ahmad memulai
pembicaraan. “Saya benar-benar mohon maaf telah khilaf. Istri Akang tidak
salah, sayalah yang salah. Sekarang saya sudah di depan Akang, silahkan saya
mau diapakan juga saya terima, silahkan, saya tidak akan melawan sedikitpun.”
“Ngapain kamu mengganggu …”
“Begini Kang, sebelum memarahi saya habis-habisan, tolong
saya dulu yang berbicara. Tolong dengar dulu penjelasan saya biar Akang faham,”
Ahmad berniat mau mendominasi pembicaraan.
“Kang, mengapa saya meng-sms seperti itu? Sebenarnya wajar,
karena di warung itu semua orang juga memanggilnya “Mamah.” Tanya saja pada
istri Akang ini. Mengapa memanggil Mamah, karena sikap istri akang yang lembut,
ramah dan keibuan pada semua orang. Mereka mengibukan. Saya pun memanggilnya
sama. Apa salahnya? Mengapa saya meng-sms. Saya ini pelanggan warung Akang,
saya kadang ingin ngopi kesitu malam-malam, karena tempat itu sering saya lalui
dan tempatnya enak dan nyaman buat ngopi. Kalau saya nanya dulu ke istri akang,
kan saya jadi
tahu sudah tutup atau belum. Apa akang mau kehilangan pelanggan? Saya sering
kesitu Kang, kadang-kadang bawa beberapa teman. Mengapa akang sensitif dan
marah, karena istri akang cantik dan akang ketakutan direbut orang!! Iya kan ??”
“Iya, tapi diakan sudah punya suami ..”
“Kang, bila Akang mengetahui istri salah menerima sms
begitu,mengapa Akang sebagai suami diam saja? Harusnya, begitu mengetahui ada
sms begitu, Akang langsung nelpon, pasti saya angkat karena saya tidak merasa
bersalah. Kenapa akang tidak menelpon tapi hanya memarahi istri, karena akang
penakut, pengecut. Sebagai laki-laki akan tidak berani padahal itu istri Akang.
Disini akang juga salah. Jadi, jangan ingin menang sendiri.” Ahmad terus
nyeroncos tak memberi kesempatan. Ia tahu apa yang harus dikatakannya untuk
menyadarkan laki-laki itu.
“Kang, istri Akang itu istri yang baik. Saya justru salut.
Sudah cantik, akhlaknya terjaga, mau bekerja keras membantu suami. Jualan kopi
dan mie rebus sampai malam. Jaga itu oleh Akang, dukung dan bantu. Kasih modal
oleh Akang, biar warungnya maju. Kemudian, kalau istri tak boleh akrab dengan
orang lain, harusnya Akang yang jualan sebagai suami dan laki-laki, bukan malah
nyuruh istri dan Akang enak-enakan main kesana kemari. Ini kesalahan Akang yang
kedua. Mana tanggung jawab Akang sebagai laki-laki dan suami?? Saya sangat
menyangkankan yang jualannya malah istri. Kasian kang, cape seharian ,
sudah malam masih di warung.”
Ahmad tak memberi kesempatan. Ia sengaja mendominasi pembicaraan.
Suami itu tampak membenarkan semua penjelasannya. Laki-laki yang dicurigai itu
malah kini menyadarkannya dari kesalahan.
“Kang, sayang kalau keluarga jadi pecah. Istri juga tidak
mau pisah karena sayang, tapi Akang salah perlakuan. Seharusnya Akang bersyukur
punya istri seperti ini, sudah cantik, berjuang keras membantu suami, membantu
membayar sekolah anak Akang. Sayang Kang, anak sudah besar sekolah di perawat,
perjuangan keluarga ini jangan dirusak oleh hal-hal sepele. Ingat anak, dia
harus diselamatkan.”
Pertemuan itu sekitar dua jam. Kang Ahmad menguasai
pembicaraan. Karena semua ucapan tamu asing itu semuanya dirasakan benar,
laki-laki itu akhirnya luluh, sadar. Setelah menyadari, “Bu, sekarang ibu minta
maaf pada suami, ayo sekarang ucapkan didepannya.” Pinta Kang Ahmad, suamipun
sama. Mereka berpelukan dan menangis haru saling meminta maaf di bawah kucuran
rahmat dan berkah Ilahi pagi hari itu.
“Coba sekarang panggil Ibu dan Bapak,” pinta Ahmad. “Naah
Bu, Paak, begitu ceritanya … sekarang sudah jelas permasalahannya.”
“Saya sudah mendengar semua penjelasan Adik tadi, Bapak dan
Ibu juga minta maaf telah salah sangka. Ternyata Adik justru mau menyelamatkan
keluarga anak saya.”
“Iya Pak, Bu, ini pelajaran. Kalau bisa, yang disuruh jualan
itu putra Bapak bukan istrinya. Kan ,
mencari nafkah itu tanggung jawab suami, bukan istri. Atau bareng-barenglah,
sering di warung berdua, jadi kelihatan suami istrinya, orang kan jadi tahu dan tak akan berani menggoda.”
Setelah tuntas semua pembicaraan, mereka tampak rukun
kembali. Ahmad pamitan diiringi senyum sumringah seluruh keluarga. Suami yang
tadinya beringas, sekarang sangat hormat, tunduk dan berterima kasih tak
henti-henti. “Berterima kasih pada Allah bukan pada saya. Saya mah hanya
seorang musafir tukang ngopi hehe … Jadikan ini pelajaran ya, sayangi istri,
banyak bersyukur, barengi di warung. Dan jangan lupa, nanti ganti nomor hp
istri dengan yang baru ya.” Seluruh keluarga itu berterima kasih lagi dan Ahmad
ngeluyur pergi. Sambil berjalan ia menertawakan dirinya. “Hahaha … kelakuanmu
Mad …. Mad .. ada- ada saja. Berbakat juga main sinetron hehe ..!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.