Kamis, 19 Juli 2012

Potensi Ikhtilaaf Penentuan Awal Bulan:Hisab Atau Rukyat Untuk Menentukan Awal Bulan Hijriyah

Oleh  : H.Khaeruddin Khasbullah
Tanbihun.com- Seperti kita ketahui sering terjadi beda waktu dalam penentuan awal dan akhir Romadhan. Sebagai contohnya adalah akhir Ramadhan 1428 H. Sebagian organisasi Islam menentukan tanggal 12-Oktober-2007 sebagai 1 Syawal, sedangkan Pemerintah dan beberapa organisasi Islam menentukan tanggal 13-Oktober-2007 sebagai awal bulan Syawal tersebut. Mungkin ada sebagian orang bertanya- tanya , mengapa perbedaan itu bisa terjadi, bukankah pada zaman modern sekarang ini posisi bulan dan matahari sudah dapat dihitung dengan sangat teliti bahkan sampai hitungan detik ? Ternyata masalahnya bukan pada beda perhitungan, tetapi lebih disebabkan dari adanya perbedaan penafsiran dan persepsi dari beberapa sabda- sabda Nabi sehingga berakibat kepada tata cara dan criteria penentuan bulan baru tersebut. Karena ternyata dalam beberapa methode perhitungan yang mereka lakukan, baik NU, Muhammadiyyah. Persis atau organisasi dan lembaga lainnya hasilnya mendekati sama, yakni sebagai contoh diatas, pada tanggal 11- Oktober- 2007, posisi bulan saat matahari terbenam adalah +/ -  00.37′.31” di Yogyakarta. Lalu, dimana sesungguhnya letak perbedaan itu? Mungkinkah perbedaan yang terjadi disatukan sehingga kaum muslimin dapat mengamalkan ibadah dan hari rayanya dengan seragam?
Ternyata mereka berbeda karena berbeda kriteria dan interpretasi atas sabda- sabda (hadist)  Nabi SAW. Diantaranya pada hadist yang popular ini:
Dalam menentukan awal puasa atau awal syawal, Nabi bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما . رواه البخاري عن ابى هريرة

“Berpuasalah kalian karena melihat (meru’yat) bulan,dan berbukalah kalian karena melihat bulan.Apabila bulan tertutup mendung, maka sempurnakanlah (istikmal) bulan sya’ban 30 hari”. Hadist Riwayat Bukhori.
Dari satu hadist  shohih ini dipahami dengan tiga macam pemahaman, yaitu:

Pemahaman  I  :

Awal dan akhir Ramadhan harus ditentukan dengan melihat ( meru’yat ) bulan, sesuai  dengan letterlijk bunyi hadist tersebut, apapun hasil perhitungan astronominya. Sedangkan semua hasil perhitungan astronomi itu hanya dipakai untuk membantu pelaksanaan ru’yat ( Ru’yat dengan mata ). Karena Nabi dan para sahabatnya selama hidup mereka selalu menentukan awal puasa dan mengakhirinya dengan jalan ru’yat dengan mata (Ru’yat bilfi’li).
Pemahaman ini dikuatkan dengan firman Allah dalam surat Al- Baqoroh 189:

يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج

“Mereka bertanya tentang AHIILAH (bulan sabit). Katakanlah bahwa bulan sabit itu adalah tanda waktu ibadah bagi manusia dan tanda waktu pelaksanaan ibadah haji…” (Al- Baqoroh- 189). Dalam kalimat ini lafadh AHILLAH/ HILAL, berarti BENTUK fisik bulan bila TAMPAK SEBAGAI BENTUK SABIT.

Pemahaman II  :

Arti meru’yat tidak selalu harus memakai mata telanjang, dengan perhitunganpun  dapat dianalogkan (diqiyaskan) sebagai meru’yat ( Ru’yat dengan ilmu).
Maka penentuan awal bulan yang berdasarkan murni hisab, berarti pengamalan mereka  berdasar qiyas, yakni mempersamakan ru’yat bil fi’li dengan ru’yat bil- ilmi.

Pemahaman III :

Karena Nabi dan para sahabatnya selalu menentukan awal dan akhir puasa dengan ru’yat yang berarti beliau dan para sahabatnya melihat bulan baru , berarti segala perhitungan dapat diakui keabsahannya bila ukuran tinggi bulan sudah memungkinkan untuk bisa dilihat dengan mata telanjang. Berdasarkan pengalaman di Asia Tenggara ialah bila tinggi bulan sudah diatas 2 (dua) derajat ( Imkaanur ru’yat )

Atas dasar tiga perbedaan pemahaman itulah dikenal tiga macam sistem penentuan awal dan akhir Ramadhan, yaitu :

I.  Sistem HISAB-RUKYAT

Sstem ini biasanya dipakai oleh kaum Nahdhiyyin dan para kaum salafi lainnya, yang berpendapat bahwa mengikuti pola kehidupan Nabi adalah perwujudan Ibadah yang tertinggi.
Dengan sistem ini setelah posisi bulan dan matahari dihitung, penentuan awal bulan tetap menunggu hasil ru’yat. Bila bulan tidak bisa di Ru’yat, maka dilakukanlah istikmal dengan menyempurnakan bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan 30 ( tiga puluh ) hari, dengan ketentuan  :
  1. Wujud hilal setelah ijtima’.
  2. Tinggi hilal tidak begitu menjadi persoalan, walaupun masih 0º plus atau  dibawah  2º  diatas ufuq.
  3. Penentuan awal Ramadhan dan awal syawal tunggu hasil Ru’yat (baik dari Pemerintah maupun lembaga lain/perorangan yang adil dan telah disumpah).
Kelemahan : Masyarakat sampai detik-detik terakhir akan selalu bertanya tanya kepada pimpinan jama,ah tentang awal dan akhir Ramadhan. Sedangkan pemerintah sendiri sering menolak saksi adil  yang mengaku melihat hilal apabila menurut pemerintah hilal belum Imkan Rukyat, berdasarkan qoul Imam Subky, padahal menurut Qoul Mu’tamad, kesaksian itu harus diterima. Sesuai nash tersebut dibawah ini:

وفي مغني الخطيب ما نصه : فرع لو شهد برؤية الهلال واحد أو إثنان واقتصى الحساب عدم إمكان رؤيته قال سبكى لا تقبل هذه الشهادة لأن الحساب قطعي والشهادة ظنية والظن لا يعارض القطع وأطال في بيان رد هذه الشهادة والمعتمد قبولها إذ لا عبرة بقول الحساب ( إعانة الطالبين 2\ص 216)

II. Sistem Hisab ( murni )

Sistem ini biasa dipakai oleh Muhammadiyyah berdasarkan  keilmuan  murni. Yaitu dengan ketentuan  bila:
  1. Bulan wujud setelah ijtima’
  2. Tinggi hilal tidak penting, asal menurut perhitungan saat matahari terbenam sudah berada diatas horison.
Menurut Qoul Mu’tamad dalam madzhab Syafi’i, hisab murni ini tetap boleh diamalkan untuk si ahli hisab dan semua orang- orang yang percaya dan yakin akan perhitungan mereka, sesuai nash dibawah ini:

ولا يجب  العمل بقول المنجم والحاسب ان الليلة من رمضان وعليهما ان يعملا بحسابهم وكذا من صدقهما. تنوير القلوب ص 227 + الباجوري جزء 1 ص 97)

(Lihat pula tentang masalah ini pada: Syekh Zubair Umar Al- Jilani: Khulashotul Wafiyah halaman 131- 134)

 III.Sistem HISAB – IMKAANUR RUKYAT  (VISIBILITAS)  HILAL

Sistem ini juga dipakai oleh sebagian kaum Nahdhiyyin dan Jama’ah Persis, dan merupakan wacana dari ahli- ahli falak muda Rifa’iyah, termasuk pakar astronomi dari Boscha: Dr. Moedji Raharto. Sistem ini juga resmi dipakai oleh para menteri- menteri agama negara ASEAN dalam memprediksi awal bulan Qomariyyah.
Dengan sistem ini setelah posisi bulan dan matahari dihitung, apabila tinggi bulan belum mencapai 2 (dua) derajat, maka besoknya belum dianggap bulan baru walaupun ada lembaga / perorangan yang mengaku melihat hilal (pengakuannya tidak diakui karena tidak bersesuaian dengan logika empiris). Demikian pula sebaliknya, apabila dihitung posisi tinggi bulan 2 (dua) derajat lebih  diatas Horison maka secara otomatis besoknya adalah bulan baru walaupun tidak ada saksi yang melihat hilal, dengan ketentuan  :
  1.  Wujud Hilal setelah Ijtima’
  2. Matahari terbenam terlebih dahulu dari bulan
  3. Tinggi Hilal ( Irtifa’) saat matahari terbenam adalah 2 (dua) derajat atau lebih. Sesuai dengan keputusan MABIMS ( Mentri-mentri agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura ) tahun 1992.
Dengan sistem III ini penentuan awal bulan menjadi lebih pasti , jama’ah tidak bertanya-tanya dan telah disepakati oleh menteri-menteri agama di Asia Tenggara.
Sebagai contoh adalah penentuan 1-Syawal-1428 H, tahun 2007 Masehi:
Ijtima’ (conjunctie) ahkir Ramadhan 1428 jatuh pada hari Kamis tanggal 11-Oktober- 2007  jam 12.02.29 menit. Jadi Ijtima’ terjadi 5 jam lebih sebelum matahari terbenam.
Irtifa’ ( tinggi Hilal ) di Yogyakarta saat terbenam matahari = 00 derajat 37 menit 31 detik diatas Horison.(tinggi hilal masih +/- 0,5 derajat)
Menurut sistem I , Sore hari  KAMIS, tanggal 11-Oktober-2007 dilakukan  Ru’yat   .        .Bila ada saksi yang melihat hilal, besoknya hari Jum’at  12-Oktober-2007 adalah 1-Syawal-1428.
Bila tidak ada saksi yang melihat hilal, bulan puasa disempurnakan 30 hari bagi yang puasanya baru 29 hari (ISTIKMAL), dan 1-Syawal-1428 H adalah hari Sabtu , tanggal 13- Oktober-2007.

Menurut Sistem II , 1-Syawal-1428 h adalah PASTI  besoknya hari Jum’at 12-Oktober-2007 karena :
  1. Bulan telah wujud
  2. Wujud Hilal terjadi setelah Ijtima’ ……. 
Menurut SISTEM III, karena ketinggian hilal masih dibawah 2 derajat, maka besoknya belum dianggap bulan baru, jadi puasanya juga di istikmal 30 hari. 1 Syawal besoknya hari Sabtu tanggal 13- Oktober – 2007.

KRITERIA IMKAANUR RU’YAT:

Adapun kriteria IMKAANUR RUKYAT /POSSIBILITY of NEW MOON  VISIBILITY sejauh ini masih diperdebatkan dengan sengit. Mabims (menteri- menteri agama Brunei- Indonesia- Malaysia dan Singapura) – telah menetapkan Imkaanur Rukyat = 2 derajat, para pakar astronomi lain ada yang menetapkan   6- 7 – 8 …11  derajat, dst. Menurut  Sullamun Nayyiroin, pendapat ini adalah menurut Qoul Mutaqoddimin, sedangkan menurut para Muta-akkhirrin, Imkaanur Rukyat itu 2 (dua) derajat:

قال في سلم النيرين: هذا ما عليه المتقدمون من أهل الهيئة . وأما المتأخرون منهم فقد استدركوا الإمكان من درجتين فما فوقهما كما ذكره الشيخ محمود في نتيجه . (فتح الرؤف المنان صحيفة 15 )

Dalam catatan, ada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia bahwa ternyata ketinggian Hilal 1°32’05’’ (dibawah 2 derajat), berhasil disaksikan dan diabadikan oleh Lembaga Al- Husiniyyah Cakung pada hari Sabtu tanggal 6- Nopember- 2010, sehingga berdasarkan ini Hari Raya Iedul Adha 1431 H jatuh pada tanggal 16 – Nopember- 2010, dengan bukti foto camera digital, sehingga  berbeda dengan hasil pengamatan dan  ketentuan pemerintah yang menetapkan Istikmal bulan Dzul Qo’ dah dan hari raya jatuh pada tanggal 17- Nopember- 2010. Beberapa kali terjadi kasus seperti penentuan awal romadhon 1431 H, dimana ketinggian Hilal yang menurut beberapa pakar tak mungkin/ sulit  bisa  dilihat, ternyata bisa  dan ini semua terekam dalam foto- foto digital yang digunakan sebagai bukti yang sangat kuat, sehingga pernah Lembaga Al Husiniyyah dihujat oleh seseorang yang tidak percaya dan mungkin kurang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tentang sejarah dan reputasi lembaga ini.
Para pakar astronomi modern lebih memilih criteria Imkaanur Rukyat dengan menggabungkan beberapa ketentuan, seperti berapa umur bulan, berapa jarak sudut diameter bulan dengan diameter matahari, berapa ketinggian Hilal, lebar cahaya Hilal, dan sebagainya. Unsur- unsur yang berpengaruh pada Imkaanur Rukyat adalah sebagaimana digambarkan dalam gambar dibawah ini:
Falak Online
I= A – Ab = Irtifa’( Moon altitude).
Ab = Azimuth Bulan
Am = Azimuth Matahari
S  =  Sudut Pisah (ARCL = Arc of light/ elongation).
A – B = Selisih sudut pusat bulan –   matahari (ARCV = Arc of Vision).
D = Selisih Azimuth bulan dan matahari (DAZ = Delta Azimuth).

Dimana, Hilal akan mudah dilihat bila memenuhi criteria berikut:

1. ARCV > 11 – [DAZ]/20 – [DAZ/10]².
2. ARCV > 10.3743 – 0.0137 [DAZ] – 0.0097DAZ²
3. ARCV > 12.4023 – 9.4878 W + 3.951 W²- 0.5632 W³
Dimana W adalah lebar badan bulan yang dapat dicari dengan rumus:
W = 15 (1 – Cos ARCL) = 15 (1 – Cos ARCV.Cos DAZ).

Sedang waktu terbaik untuk merukyat adalah:

Tb = Tm + (4/9) x dmb
Dimana:
Tb = waktu terbaik
Tm = waktu terbenam matahari
Dmb = beda waktu terbenam matahari bulan (moon Lag)
Kesimpulan:
SEMUA PERBEDAAN YANG TERJADI  PADA PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIYAH BERRSUMBER PADA PERBEDAAN KRITERIA HILAL, BUKAN PADA PERBEDAAN HASIL HITUNGAN HISABNYA.  BILA MASALAH KRITERIA HILAL INI TELAH DAPAT DISEPAKATI, MAKA PERBEDAAN PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIYAH AKAN HILANG DENGAN SENDIRINYA.

sumber: http://tanbihun.com/kajian/ilmu-falak-online/potensi-ikhtilaaf-penentuan-awal-bulanhisab-atau-rukyat-untuk-menentukan-awal-bulan-hijriyah/#.UAZo2lIw9-g

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.