republika - Tentara musyrik Tartar baru menghancurkan Baghdad, ibu kota
Daulah Abbasiyah. Mereka membantai ribuan jiwa, menodai kehormatan para
Muslimah, serta membakar jutaan lembar buku-buku Islam dan sains. Selanjutnya,
mereka mengincar negeri Islam lain semacam Syam (kini Suriah dan sekitarnya) dan
Mesir.
Di tengah situasi genting, penguasa Syam dan Mesir bersiap damai. Sebelumnya, mereka berebut pengaruh dan nyaris berperang usai jatuhnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan Islam. Maka, umara (para pejabat) dan ulama (para ahli agama) rapat menyiapkan pertahanan. Selain teknis militer, satu soal yang diributkan adalah pendanaan jihad karena kas negara nyaris ludes.
Maka, majulah Syekh Izzuddin bin Abdussalam yang dijuluki Sulthanul Ulama (pemimpin ulama). Dengan lantang beliau berkata, ''Jika dana di Baitul Maal telah habis, persediaan emas dan perak (untuk pencetakan mata uang) juga begitu, sementara kondisi para pejabat telah seperti rakyat jelata, maka tidak salah menarik pajak. Bagaimanapun, itu untuk melawan musuh, rakyat wajib memberikan harta dan jiwanya.''
Seketika mantaplah jiwa umara dan ulama. Izzuddin pun menyatukan kembali pemerintah dengan rakyat, ulama dengan pemerintah, dan antara umara dan ulama itu sendiri. Bagaimanapun, penghentian permusuhan antar-Muslim, terutama antarumara dan antarulama, berikut penyatuan sikap hingga bersatu dalam pengorbanan harta adalah modal utama menyelamatkan negeri dan umat Islam.
Sebaliknya, perpecahan tadilah yang memudahkan Tartar mencaplok dan merampok negeri-negeri Islam. Ini terbukti saat Izzuddin bersama umara dan ulama lain menghadang Tartar di Ain Jaluth tanggal 25 Ramadhan 658 H (1260 M). Tartar yang awalnya amat hebat, keok. Padahal, dua tahun sebelumnya begitu leluasa menghancurkan negeri-negeri Islam. Maka, selamatlah negeri-negeri Islam, dan bebas kembalilah Irak, Uzbekistan, dan lain-lain.
Izzuddin mampu menyatukan karena ikhlas berdakwah dan berjuangan, termasuk berani mengungkap kekeliruan pemimpin dengan segala risiko. Ketika Ismail bertahta di Syam beberapa tahun sebelumnya, Izzuddin mengkritik kerjasamanya dengan negara-negara Kristen Eropa saat menghadapi Mesir. Akibatnya, beliau ditahan di rumah, dan dilarang mengajar serta menanggapi berbagai masalah umat dengan Islam, padahal itulah kehidupan hakiki ulama.
Sayangnya, tidak banyak ulama sepertinya. Jangankan menyatukan dan menyelamatkan umat, mereka justru seakan sumber perpecahan. Padahal, cobaan tak seberat Izzuddin, bahkan kehidupan mereka dipermudah Allah.
''Belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).'' (QS 57: 16). [Fahmi AP Pane]
Di tengah situasi genting, penguasa Syam dan Mesir bersiap damai. Sebelumnya, mereka berebut pengaruh dan nyaris berperang usai jatuhnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan Islam. Maka, umara (para pejabat) dan ulama (para ahli agama) rapat menyiapkan pertahanan. Selain teknis militer, satu soal yang diributkan adalah pendanaan jihad karena kas negara nyaris ludes.
Maka, majulah Syekh Izzuddin bin Abdussalam yang dijuluki Sulthanul Ulama (pemimpin ulama). Dengan lantang beliau berkata, ''Jika dana di Baitul Maal telah habis, persediaan emas dan perak (untuk pencetakan mata uang) juga begitu, sementara kondisi para pejabat telah seperti rakyat jelata, maka tidak salah menarik pajak. Bagaimanapun, itu untuk melawan musuh, rakyat wajib memberikan harta dan jiwanya.''
Seketika mantaplah jiwa umara dan ulama. Izzuddin pun menyatukan kembali pemerintah dengan rakyat, ulama dengan pemerintah, dan antara umara dan ulama itu sendiri. Bagaimanapun, penghentian permusuhan antar-Muslim, terutama antarumara dan antarulama, berikut penyatuan sikap hingga bersatu dalam pengorbanan harta adalah modal utama menyelamatkan negeri dan umat Islam.
Sebaliknya, perpecahan tadilah yang memudahkan Tartar mencaplok dan merampok negeri-negeri Islam. Ini terbukti saat Izzuddin bersama umara dan ulama lain menghadang Tartar di Ain Jaluth tanggal 25 Ramadhan 658 H (1260 M). Tartar yang awalnya amat hebat, keok. Padahal, dua tahun sebelumnya begitu leluasa menghancurkan negeri-negeri Islam. Maka, selamatlah negeri-negeri Islam, dan bebas kembalilah Irak, Uzbekistan, dan lain-lain.
Izzuddin mampu menyatukan karena ikhlas berdakwah dan berjuangan, termasuk berani mengungkap kekeliruan pemimpin dengan segala risiko. Ketika Ismail bertahta di Syam beberapa tahun sebelumnya, Izzuddin mengkritik kerjasamanya dengan negara-negara Kristen Eropa saat menghadapi Mesir. Akibatnya, beliau ditahan di rumah, dan dilarang mengajar serta menanggapi berbagai masalah umat dengan Islam, padahal itulah kehidupan hakiki ulama.
Sayangnya, tidak banyak ulama sepertinya. Jangankan menyatukan dan menyelamatkan umat, mereka justru seakan sumber perpecahan. Padahal, cobaan tak seberat Izzuddin, bahkan kehidupan mereka dipermudah Allah.
''Belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).'' (QS 57: 16). [Fahmi AP Pane]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.