Pada suatu malam, ulama besar Imam
Al-Ghazali bermimpi berdialog dengan Allah SWT. ''Dengan modal apa kamu datang
menghadap-Ku,'' tanya Allah kepada Al-Ghazali. Lalu, Al-Ghazali dengan penuh
percaya diri menyebutkan satu per satu amal bajik yang ia lakukan sepanjang
hayatnya.
''Aku tidak menerima deretan amal bajikmu itu. Aku hanya mau menerima satu amalmu, yakni ketika kamu sedang menulis, seekor lalat masuk ke dalam tinta penamu untuk minum darinya. Lalu, kamu tinggalkan aktivitas menulismu itu sampai lalat itu mereguk puas tinta penamu,'' firman Allah.
''Aku tidak menerima deretan amal bajikmu itu. Aku hanya mau menerima satu amalmu, yakni ketika kamu sedang menulis, seekor lalat masuk ke dalam tinta penamu untuk minum darinya. Lalu, kamu tinggalkan aktivitas menulismu itu sampai lalat itu mereguk puas tinta penamu,'' firman Allah.
Demikianlah penggalan kisah yang dituturkan secara apik oleh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashaih al-'Ibad. Kisah di atas mengajarkan kepada kita bahwa seorang hamba hanya akan diterima amal ibadahnya, bila ia sudah mampu mengejawantahkan rasa kasih dan sayangnya kepada semua makhluk. Betapapun kecil nilai makhluk tersebut. Bukankah seekor lalat sangat kecil nilainya bagi manusia dibandingkan dengan haji ke Mekah bagi yang berkemampuan?
Kasih sayang, rahmah, adalah cermin ketauhidan dan keimanan diri seseorang. Tauhid dan iman belum diakui Allah bila hati kita belum mampu memancarkan cahaya welas asih, asah-asuh kepada sesama makhluk, utamanya sesama manusia. Ia juga kunci keselamatan diri seseorang dari jilatan api neraka dan 'jalan tol' menuju surga yang didamba tiap hamba. Bukankah Rasulullah pernah memberi nasihat, ''Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu, hingga ia betul-betul mencintai saudaranya seperti terhadap dirinya sendiri.''
Mungkin, saat ini pancaran cahaya putih welas asih kita sudah mulai meredup, atau bahkan padam. Anak-anak telantar di jalan kita biarkan, hutan rimba jadi rebutan perusakan, satwa langka jadi sasaran perburuan, jernihnya sungai kita keruhkan, indahnya panorama pantai kita kacaukan. Sehingga, kita saksikan lalu lintas hubungan antarmakhluk yang sedang macet, kacau, dan ricuh. Masing-masing berebut saling mendahului untuk kepentingan individualistiknya dalam mengeksploitasi alam dan lingkungan hidup. Sampai kapan kita akan tetap berperilaku demikian?
Hidup adalah satu kesatuan ekosistem. Kedudukan sistem, unsur yang satu dan lainnya saling bergantung, melengkapi dan menyempurnakan. Kehidupan manusia akan harmonis bila ia mau harmonis dengan alam dan makhluk lainnya. Tetapi, jika manusia berperilaku bengis terhadapnya, maka tunggulah saat-saat kehancuran. Di sinilah mengapa kasih dan cinta kita kepada seluruh makhluk sangat mutlak diperlukan.
Alquran surat al-Rum 41 sudah mengingatkan bahwa kerusakan ekosistem disebabkan ulah manusia yang tak punya mata batin kasih dan cinta kepada makhluk. Semoga kita segera sadar. (Andar Nubowo)
sumber : Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.