Jika hubungan pernikahan tanpa didasari cinta, maka
ketentraman dalam rumah tangga sulit diraih. Menjalani hidup bersama orang yang
tidak dicintai hanya akan membuat kita merasakan hampa, gersang, dan usang. Sedikit
pun rasa bahagia tak dapat dirasakan, justru penyesalan yang terus menyala.
Rasanya memang sulit, jika harus menikahi seseorang
sedangkan kita tidak ada perasaan cinta atau kecenderungan yang membuat kita
ingin menikahinya, meskipun kriteria yang lain sudah terpenuhi.
Tentang hal tersebut dapat direnungkan dalam penyataan
hadits berikut,
قَالَ
مُسَدَّدٌ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ ، حَدَّثَنَا عَاصِمٌ
الأَحْوَلُ ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الله ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ ،
قَالَ : خَطَبْتُ جَارِيَةً مِنَ الأَنْصَارِ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ، فَقَالَ لِي : رَأَيْتَهَا فَقُلْتُ : لاَ فَقَالَ :
اذْهَبْ فَانْظَرْ إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَوَالِدَيْهَا ، فَنَظَرَ أَحَدُهُمَا إِلَى صَاحِبِهِ ،
فَقُمْتُ ، فَخَرَجْتُ ، فَقَالَتِ الْجَارِيَةُ : عَلَيَّ بِالرَّجُلِ قَالَ : فَرَجَعْتُ
، قَالَ : فَرَفَعَتْ نَاحِيَةَ خِدْرِهَا ، وَقَالَتْ : إِنْ كَانَ رَسُولُ الله
صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم أَمَرَكَ أَنْ تَنْظُرَ فَانْظُرْ ، وَإِلاَّ فَإِنِّي
أُحَرِّجُ عَلَيْكَ أَنْ تَنْظُرَ قَالَ : فَنَظَرْتُ إِلَيْهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
، فَمَا تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيَّ ، وَلاَ أَكْرَمَ عَلَيَّ
مِنْهَا.
Hadits di atas menjelaskan, suatu saat pernah ada sahabat
Rasulullah yang ingin menikahi seorang wanita dan Rasulullah menanyakan
kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya” dan ketika sahabat itu mengatakan
belum, maka Rasulullah menyuruhnya kembali dan melihat dulu wanita tersebut.
Dari peristiwa tersebut, ada satu pertanyaan, mengapa
Rasulullah meminta sahabat itu untuk melihat wanita yang akan dinikahinya? Jawaban
yang memungkinkan adalah untuk menumbuhkan perasaan yakin dan tak ada
penyesalan setelahnya.
Artinya memiliki kecenderungan hati kepada wanita yang
akan dinikahi juga dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung pernikahan
itu sendiri. Saya sendiri setuju akan hal itu, meskipun di sini bukan selalu
bermakna rasa cinta tapi memiliki alasan lain yang menguatkan untuk menikahi
seseorang, seperti perasaan nyaman atau suka dan cocok dengan pasangan yang
akan dinikahi memang hal yang penting.
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ada seorang
wanita yang menolak dikawinkan ayahnya. Lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi.
Setelah Nabi mendengar aduan perempuan tersebut, Nabi menginginkan ia merelakan
apa yang dilakukan ayahnya (mengawinkan dia dengan laki-laki yang ia tidak
kehendaki). Beberapa kali Nabi memujuk ia sampai tiga kali. Ketika Nabi melihat
ia masih tetap pada pendiriannya (tidak mau kepada laki-laki yang dipilih
ayahnya), Nabi bersabda, “lakukanlah apa yang engkau kehendaki”. Tetapi
kemudian wanita itu berkata, “saya perkenankan apa yang dilakukan ayah, tetapi
saya ingin agar para ayah itu tahu bahwa mereka tidak punya hak apa-apa dalam
masalah ini”
Hadits di atas menceritakan tentang seorang perempuan dan
ayahnya yang sama-sama memiliki kehendak. Perempuan itu berkehendak untuk
memilih cinta sesuai kehendak hatinya. Sementara ayahnya berkehendak agar
anaknya menikah dengan laki-laki yang menjadi pilihannya. Memang sulit bahkan
mustahil menentukan pilihan yang sama-sama berkehendak, apalagi kehendak cinta
yang berlawanan dengan kehendak orang tua. Begitulah tradisi yang sering kali
terjadi dalam percintaan, khususnya percintaan ala Siti Nurbaya.
Pemahaman lain dari hadits tersebut, Rasulullah tidak
memaksa seseorang yang memang sama sekali tidak memiliki keinginan (suka, cinta,
dan sayang) untuk menikah dengan orang yang tidak dikehendakinya. Artinya, Rasulullah
juga mempertimbangkan perasaan seseorang yang kosong dari rasa suka dan cinta. Karena
itu, Rasulullah bersada:
اذْهَبْ
فَانْظَرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Pernyataaan Rasulullah di atas menjelaskan, bahwa ketika
ada orang hendak menikah, maka dia harus mengetahui siapa seseorang yang akan
dia nikahi. Karena hal demikian itu lebih patut mengekalkan hubungan pernikahan.
Rasulullah menyuruh orang yang hendak menikah untuk
mengetahui seseorang akan dinikahi dengan menggunakan fi’il amar “انظر” tidak menggunkan fi’il amar “ر”. Kedua fi’il amar tersebut –secara umum- memiliki
makna yang sama, yaitu melihat. Tapi –secara khusus- kedua lafad tersebut
memiliki perbedaan yang signifikan. Fi’il amar “ر” digunakan untuk makna melihat sesuatu
untuk diketahui, tapi upaya mengetahuinya tidak dituntut untuk lebih dalam. Artinya,
yang penting tahu. Sementara, fi’il amar “انظر”. Upaya mengetahui sesuatu itu dituntut
agar lebih dalam. Artinya, obyek yang dilihat harus benar-benar diketahui
secara dtail.
Dengan demikian, pemahaman hadits tersebut, menjelaskan
bahwa kita harus benar-benar-benar mengetahui, memahami dan mengerti seseorang
yang hendak kita nikahi, demi mencari kecocokan yang kemudian menumbukan rasa
suka, cinta bahkan sayang.
Untuk memahami seseorang, tentu tidak hanya sekedar melihatnya
saja, apalagi mencukupkan satu kali perjumpaan. Oleh sebab itu, hadits di atas
menggunakan fi’il amar “انظر”. Makna lafad tersebut tidak hanya melihat, tapi juga berpikir
dan merenungkan. Tentu ketika kita berpikir dan merenungkan membutuhkan waktu yang
cukup lama, guna memperoleh hasil yang maksimal dan meyakinkan. Lebih-lebih
dalam hal menumbuhkan rasa suka, cinta dan sayang. Itu sangat membutuhkan
proses yang lebih lama.
Proeses penjajakan pada seseorang untuk memahami dirinya (kepribadiannya)
dan lalu menumbuhkan rasa cinta. Bukti adanya cinta bisa diketahui dari
komentmen untuk setia sampai jenjang pernikahan dan bahkan sampai mati. Jika
hanya sekedar bersenang-senang sesaat, itu tindakan birahi yang bejat.
Jika ada yang mengatakan menjalin cinta itu haram, maka
sebenarnya yang dihukumi bukan cintanya, tetapi menghukumi aktifitas yang
dilakukannya. Aktifitas birahi yang dibungkus seolah didasari rasa cinta dan
sayang. Padahal tidak. Karena dengan adanya jalinan cinta bisa menumbuhkan
kasih sayang, akan menjadikan orang yang akan menjalani rumah tangga tidak
memiliki beban hati, batin dan pikiran, karena dengan cinta semuanya menjadi
pasrah. Jika sudah pasrah, apapun yang terjadi pada keluarganya akan dijalani
dengan sabar dan bersukur.
Dengan begitu, ibadahnya tidak akan terganngu, justru
akan lebih istiqamah dan khusyuk. Begitulah yang dikehendaki Nabi, kenapa
beliau menuyuruh sahabat yang hendak menikah harus melihat lalu memperthatikan
perempuan itu, karena agar setelah menikah tidak ada penyesalan yang
mengakibtakan kehidupannnya tertekan dan kemudian pernikahan itu tidak menjadi
ladang pebuatan dosa.
Karena, jika pernikahan itu membuat seseorang menyesal, hidupnya
akan penuh dengan kebimbangan yang kemudian mengakibatkan rawannya pertengkaran,
penganiyaan, pengkhianatan, penyiksaan, dan perselingkuhan. Na’udzubillah.
cyiber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.