Konon ada hikayah menarik yang menimpa pada salah
seorang santri. Sebut saja namanya si Sagunem. Si Sagunem ini ingin kawin tapi
belum punya calon istri. Pada suatu ketika ia digerogoti setumpuk keluh kesah,
penyesalan dan kebingungan yang luar biasa. Setelah ditanyakan problemnya,
ternyata ia ingin mencari pasangan ideal, tidak mengecewakan dan setia pada
dirinya.
Pikiran ia pasangan ini untuk kepentingan dunia-akhirat tidak yang
lain. Kesana kemari ia telah melakukan perjalanan dan pencarian, namun sampai
saat ini ia tak menemukan pasangan ideal, dibenaknya timbul tanda tanya apakah
ideal itu karena kecantikannya, mulus, atau pinter dan cerdas. Apalagi
ditambahi dengan minimnya pengetahuan tentang persoalan ini. Sehingga
kebingungan ini hampir membuat si Sagunem pesimis tak jadi kawin. Ditengah
kebingungannya ini ternya ada si Suyuti yang siap untuk membantunya.
Akhirnya ia minta tolong pada si Suyuti agar
mencarikan pasangannya. Kebetulan si Suyuti orangnya pinter dan lihai mengenai
yang satu ini. Si Suyuti tidak ingin si Sagunem punya pasangan cantik, mulus
tapi nakal, si Suyuti berusaha mencarikan pasangan menurut kaca mata Islam.
Nah, dari alur cerita singkat diatas bagaimana
jika peristiwa ini juga menimpa pada diri kita ? apa langkah kita ? jika kita
yakin, bahwa Islam menawarkan konsep pasangan ideal, bagaimana Islam berbincara
konsep itu? Untuk menjawabnya, simaklah obrolan penulis berikut ini.
Penulis awali pembahasan ini dari hadist Kanjeng
Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi :
خير النساء
إمرأة ان نظرت اليها سرّتك وان أمرتها اطاعتها وان غبت عنهاحفظتها فى مالك ونفسها.
“sebaik-baiknya perempuan ialah perempuan yang
apabila engkau memandangnya, ia menyenangkan padamu; dan jika engkau
menyuruhnya, diturutnya perintahmu; dan jika engkau bepergian, dipelihara
hartamu dan ia dijaga kehormatannya”.
Ada
beberapa kreteria pasangan yang ideal menurut islam. Secara keseluruhan, dapat
kita uraikan sebagaimana berikut :
@ Hartawan (kaya), Cantik, Keturunan bangsawan,
Yang beragama dan menjalankannya serta budi pekertinya yang baik, Keturunan
orang yang subur (mempunyai keturunan yang sehat) dan pengasih pada suami dan
anaknya, Yang masih perawan
Uraian kriteria diatas sangat komplit dan cukup
banyak hadist melabelkan sifat-sifat ideal pada seorang perempuan. Sejak awal
Rasulullah mewanti-wanti kepada siapa saja yang ingin kawin agar tidak
sembarangan memilih pasangan (istri) bila ia tidak ingin menyesal dikemudian
hari. Namun kriteria ini tidak mengikat harus dipenuhi semua, bila salah
kriteria sebagian saja yang kita bisa lakukan maka sudah dianggap cukup, dengan
cacatan perempuan yang dipilihnya punya agama (taat beragama) dan benar-benar
melaksanakan serta berakhlak mulia, sekalipun tak begitu cantik atau hartawan.
Sebab inti pernikahan adalah mawaddah warohmah (rasa kasih dan sayang)
sepanjang hidupnya.
Jika kita tidak dapat meraih semua sifat-sifat
ideal diatas, minimal pasangan kita nanti mampu menjaga status diri (muru’ah)
dan menjunjung tinggi nama baik keluarga secara utuh. Sehingga dalam skop mini
keluarga tetap stabil, bahagia dan sejahtera. Benar dalam suatu hadis
dikatakan “Baity Jannaty” (rumahku surga). Oleh sebab itu, bagi anda-anda
yang berstatus pemuda-pemudi, harus banyak berpikir dan merenung dalam memilih
pasangan, carilah pasangan yang baik yang dapat membawa anda ke taman surga
Tuhan.
Dalam hadist lain Rasulullah bersabda, “barang
siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Allah akan
melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan barang siapa yang menikahi
seorang perempuan karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya
dengan harta dan kecantikannya”.
Kemudian Beliau bersabda kembali “barang siapa
menikahi seseorang perempuan karena kekayaannya, niscaya tidak akan bertambah
kekayaannya, bahkan sebaliknya kemiskinan yang akan didapatinya”.
Selanjutnya jika seseorang menikah karena
kebangsawanannya semata, Rasulullah bersabda : “barang siapa menikahi
seorang perempuan karena kebangsawanannya, niscaya Allah tidak akan menambah
kecuali kehinaan”.
Ironisnya, praktek yang sudah merajalela
ditengah-tengah masyarakat saat ini, para kaula muda dalam memilih pasangan
berdasarkan paradigma syahwat atau birahi belaka tanpa dipikir panjang, efek
dan dampaknya di masa akan datang pada dirinya. Buktinya, bisa kita teliti dan
coba membandingkan umur pada pemuda-pemudi dimasa dulu dengan masa sekarang
ketika ingin menjalin keluarga, saat ini sangat memprihatinkan. Umur pemuda
saat ini relatif muda bayangkan umur 15 tahun sudah pacaran kemudian menikah.
Bahkan dipedesaan-pedesaan jauh-jauh sebelumnya sudah mengadakan ikatan
tunangan dalam rangka memastikan hubungan suami istri.
Walhasil (kesimpulannya), jika seseorang menikah
karena harta belaka bukan agama atau budi pekertinya maka yang terjadi adalah
kesombongan, kecongkaan dan kehidupannya disetir oleh harta. Begitu juga
kerusakan akan menimpa pada diri seseorang jika menikah hanya karena kecantikan
satu-satunya yang ia harapkan. Oleh sebab itu, kehati-hatian sangat kita
lakukan, sebab jika agamanya sudah bagus dan punya budi luhur baik maka
semuanya juga ikut baik. Hal ini mencakup pada semua elemen manusia baik
seorang laki-laki sebagai pasangan calon suami maupun seorang prempuan sebagai
calon istri. Jika kita sudah paham kriteria perempuan ideal, bagaimana hukum
pacaran menurut Islam ? apakah ada “pacaran Islami” ? jika tidak
bagaimana ? simak sempalan pendapat berikut :
Pacaran Islami adakah…? Pada dasarnya
Islam dalam hal persoalan ini menawarkan konsep yang dinamakan “tunangan” (khitbah),
akan tetapi sedikit seseorang mengerti dan paham arti pentingnya khitbah.
Sehingga para remaja yang terjadi lebih suka pacaran terlebih dahulu baru
tunangan dan kawin. Sebenarnya tradisi ini keliru. Sebab mengakibatkan dampak
negatif besar terutama kehidupan sosialnya akan menjadi rusak dan tak
terkontrol. Islam hanya punya dua tawaran bagus yakni harus tunangan kemudian
kawin, hal ini sangat mempermudah, aman dan cepat dirasakan dengan puas, sebab
telah melalui jalan yang dibenarkan dan shah menurut agama maupun negara.
Dalam kaca mata fiqh, Islam sangat menjaga
hubungan antara laki-laki dan perempuan terlebih-lebih lawan jenis yang bukan
mahramnya antara lain yaitu berjabat tangan, kumpul kebo berdua (pacaran),
bercumbu rayu dan bentuk perbuatan yang tidak diperbolehkan lainnya. Terkecuali
ada orang ketiga mahramnya sendiri, sebab jika sampai berdua, maka orang
ketiganya menurut sebagian hadist Rasulullah adalah Syetan. Jika ada kebutuhan
sosial atau kepentingan lain yang bersifat umum seperti transaksi muamalah,
ingin kawin (tunangan), dan kebutuhan lain yang bersifat mendesak maka, Islam
membolehkan. Oleh sebab itu, dianjurkan bagi perempuan menutup aurat agar
dirinya tetap terjaga dari perbuatan fitnah, aman harga dirinya dan menghindar
dari perbuatan keji yang lain seperti berbuat zina atau perbuatan keji dan
mungkar lainnya. Begitu juga sebaliknya laki-laki harus tahu etika beragama
lebih-lebih moral sosial di masyarakat seperti menjerumuskan perempuan menjadi
hina.
Selanjutnya untuk menjembatani dari perbuatan
yang tidak diinginkan tadi, apakah ada pacaran dalam Islam yang menjamin
seseorang selamat dari keterjeratan jurang kehinaan atau dosa ? jawabannya tidak
ada pacaran yang Islami. Alur pemikirannya adalah ibarat makan anjing atau
babi hukumnya tidak boleh, terkecuali ada alasan kuat misalnya jika tidak makan
akan menimbulkan kematian atau terpaksa dibunuh. Begitu juga dengan hukum
pacaran pandangan Islam. Solusinya adalah anda harus menjalin tunangan
terlebih dahulu kemudian akad nikah (secara shah). Maka hal ini aman bagi anda.
Pertama, aman diakhirat artinya tidak ada siksa sebab hukumnya boleh
atau halal seperti mencium, menyentuh, meraba bahkan menyetubuh atau menjimak
sesuai kehendak kita. Kedua, aman didunia yakni dari fitnah, perzinahan
atau perbuatan maksiat yang lain.
Islam Menganjurkan Kawin
Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya : “Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat[1]. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil,([2]) maka (kawinilah) seorang saja,([3]) atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Kemudian Rasulullah SAW menguatkan makna ayat
diatas, Beliau bersabda : “nikahlah kalian semua, lalu memperbanyaklah
engkau keturunan karena sesungguhnya aku sendiri memperbanyak umat-umat
bersama dengan kamu (melalui nikah) sekalipun dari keturunan (anak) tersebut
ada yang gugu“. Selanjutnya Beliau bersabda kembali : “barang siapa
menikah maka ia sungguh menggapai separuh agamanya”. Beliau juga bersabda :
“bilamana ada salah seorang hamba yang kawin, maka sesungghnya ia itu telah
menyempurnakan separuh agamanya”.
Dalil diatas mengajurkan kita untuk kawin namun
tidak mutlak. Disini penting direalisasikan syarat-syarat yang harus dipenuhi
dan diperhatikan oleh orang yang hendak kawin: (1) kesiapan kawin (2) adil
lahir dan batin[4] (3)mampu lahir dan batin[5] (4) ada kebutuhan atau bersyahwat [6].
Selanjtnya mengenai umur kapan harus nikah,
Asy-syafi’ie Asy-Syabb berpendapat adalah nama yang dialamatkan atau diberikan
terhadap orang yang baligh kira-kira 9 tahun bagi wanita dan 12 tahun bagi
laki-laki sampai ia berumur tiga puluh tahun. Sementara menurut al-Qurthubi
dalam kitab al-Mafhum, asy-Syabb yaitu orang yang berumur 16 – 32 tahun. Pada umur
32 tahun -50 tahun dinamakan kahul. al-Zamakhysri Asyyabab (pemuda)
mulai masuk usia baligh sampai umur 32 thn.
Ibnu syas al-Maliki dalam kitab al-Jauhar, Syabab
(pemuda) dari usia baligh sampai 40 thn. Beda halnya dengan Imam Nawawi, beliau
berpendapat bahwa Asysyabab adalah usia baligh sampai usia tidak lebih
dari 30 tahun. Lalu usia 30 tahun keatas – 40 tahun dinamakan Kahul, dan
setelah itu usia Syaikhu. Ini pendapat paling Ashah (paling benar) dan dipilih.
Menurut al-Rauyani dan sebagian golongan orang yang berusia lebih dari 30 tahun
dinamakan Syaihk. Ibnu Quthaibah menambahkan sampai usia 50 tahun. Wallahu
‘a’lam Bisshowab…
Oleh : Ahmad Mu’takif
Billah
[1] Empat adalah jumlah maksimal istri, jika lebih dari empat
Rasulullah sangat melarang. Beda halnya zaman dahulu para sahabat melakukan
perkawinan lebih dari empat yang disebut dengan kawin mut’ah (kawin sementara
dalam keadaan perang), akan tetapi kemudian dinasakh (dihapus) harus tidak
lebih dari empat seorang istri hingga sekarang.
[2] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri
seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah.
[3] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para
Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang
saja.
[4] Nafkah lahir antara lain : memberi makan, pakaian, biaya atau
ongkos, biaya kesehatan dan seterusnya yang berkaitan dengan (materi)
kehidupan. Namun jika punya istri banyak adil kesemuanya seperti
bergiliran dalam mengatur waktu, adil memberi nafkah, dan berjimak. Sedangkan
nafkah batin seperti bersetubuh melayani hubungan si istri, adil, kasih, kasih
sayang, sakinah, tentram dan lain-lain yang berkenaan dengan seuatu yang
abstrak (perasaan).
[5] Mampu lahir seperti memberi nakah dengan sempurna dan
secukupnya, sementara mampu batin : ia mampu bersetubuh punya syahwat
tidak impoten.
[6] Ada Ulama yang mengatakan hukum nikah tergantung ukuran
kebutuhan seseorang jika mendesak sebab takut maksiat maka wajib, jika mampu
nafkah sunnah, jika tidak mampu nafkah maka makruh, dan jika ingin membuat
mudharat/menyakitkan maka haram. Hukum disini amat lentur, bahkan ada Ulama
mengatakan jika tidak bersyahwat maka jangan nikah saja, lebih baik menyibukkan
dengan ibadah kepada Allah SWT atau menuntut ilmu yang banyak. Maka itu lebih
berarti bagi anda.
- See more at:
http://cyberdakwah.com/2014/04/satu-hal-yang-melebihi-dari-sifat-sifat-pasangan-ideal/#sthash.4g0eUdIS.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.