Mungkin ada diantara kita yang pernah terlintas
dalam pikiran, yaitu: “Mengapa para ulama khususnya di Nahdlatul Ulama tidak
menerapkan hukum Islam di Indonesia setelah kemerdekaan padahal kondisinya saat
itu sangat memungkinkan? Mengapa pula penerus perjuangan NU hingga saat ini
tetap mempertahankan negara ini dan tidak merubahnya menjadi sistem Islam
seperti khilafah?”
Terlebih saat ini begitu marak kelompok yang
memperjuangkan sistem negara Islam, baik yang berbentuk khilafah, piagam Jakarta, Perda Syariah
dan lain sebagainya. Hal yang semacam ini kerap memunculkan propaganda yang
menyudutkan NU, misalnya “NU yang murni adalah NU yang memperjuangkan
Khilafah”, hingga mengakibatkan anak-anak muda NU, akademisi, pekerja
profesional dan masyarakat awam sekalipun yang demam istilah “Syariah”, membuat
mereka berpindah haluan secara ‘politik’ dan menjadi sipatisan mereka, meski
secara amaliyah mereka tetap mengamalkan amaliyah NU.
NU bukan paranoid terhadap sistem Negara Islam,
NU bukan berarti anti terhadap yang berbau “Syariah Islam”. Sebab bagaimana
mungkin NU alergi kepada Islam padahal ruh Nahdlatul Ulama adalah Islam itu
sendiri? NU menerima Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah
sebagai strategi untuk menjalankan ajaran Islam secara merdeka bagi umat Islam
di Indonesia tanpa ada disintegrasi bangsa, tanpa perang, tanpa kekerasan dan
lainnya sebagaimana Rasulullah Saw menerima perjanjian damai Hudaibiyah yang
seolah merugikan Islam, namun kenyataannya disanalah titik balik menyebarnya Islam
tanpa perang dan senjata.
Saya baru bisa memahami secara utuh tentang sikap
dan landasan ulama NU diatas setelah sering mengikuti Bahtsul Masail di NU,
kajian Aswaja dari Ust. Idrus Ramli, riwayat kisah NU melalui Kyai As’ad yang
disampaikan Gus Sholahuddin Mujib dan sebagainya. Semoga secuil tulisan ini
bermanfaat.
Formalitas Agama Bukan Segalanya
Ketika Orde Baru berupaya memberangus Ormas Islam
di tahun 80-an, kala itu Presiden Suharto menerapkan peraturan Azaz Tunggal
Pancasila. Yang ia harapkan, jika ada ormas Islam yang menolaknya maka dengan
mudah ‘diberhentikan’. Namun, Suharto salah prediksi, sebab ternyata NU
menerima Azaz Tunggal Pancasila, sehiangga Suharto tidak punya alasan untuk
membubarkan NU.
Telah sampai kepada saya riwayat dari Gus Sholahuddin,
putra Kyai Mujib Ridlwan Abdullah, beliau dari ayahnya Kyai Mujib, bahwa
awalnya Kyai As’ad di masa itu tidak menerima adanya Azaz Tunggal Pancasila.
Bagi kyai pelaku sejarah NU ini, Islam tidak bisa diganti dengan apapun
termasuk dengan Pancasila. Kyai As’ad berkata kepada Kyai Mujib:
“Tidak bisa Pak Mujib. Islam tidak bisa diganti
dengan Azaz Tunggal. Kalau Suharto masih meneruskan ini, kita harus Sabil
(perang), Pak Mujib. Saya meski sudah tua begini jangan dikira takut perang.
Kita turun ke hutan lagi seperti dulu”.
Terjadi dialog panjang antara Kyai As’ad dengan
Kyai Mujib yang cenderung menerima Azaz Tunggal Pancasila. Tidak ada argumen
yang keluar dari Kyai Mujib kecuali langsung dijawab oleh Kyai As’ad. Ketika
Kyai Mujib mengeluarkan dalil al-Quran, maka Kyai As’ad juga berdalil al-Quran,
begitu pula dengan dalil hadis. Akhirnya Kyai Mujib berkata: “Kyai, lebih berat
mana NU menerima Azaz Tunggal Pancasila dengan Rasulullah menerima Perjanjian
Hudaibiyah?”. Sejak itulah kemudian Kyai As’ad menerima Azaz Tunggal Pancasila
pada Munas Alim Ulama dan Muktamar NU di Situbondo.
Yang dimaksud oleh Kyai Mujib dengan perjanjian
Hudaibiyah tersebut adalah sebagai berikut:
عَنِ الْبَرَاءِ – رضى الله عنه – قَالَ لَمَّا اعْتَمَرَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى ذِى الْقَعْدَةِ ،
فَأَبَى أَهْلُ مَكَّةَ أَنْ يَدَعُوهُ يَدْخُلُ مَكَّةَ ، حَتَّى قَاضَاهُمْ
عَلَى أَنْ يُقِيمَ بِهَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَتَبُوا
الْكِتَابَ كَتَبُوا ، هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . قَالُوا لاَ نُقِرُّ بِهَذَا ، لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا مَنَعْنَاكَ شَيْئًا
، وَلَكِنْ أَنْتَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ .
فَقَالَ « أَنَا رَسُولُ اللَّهِ ، وَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ »
. ثُمَّ قَالَ لِعَلِىٍّ « امْحُ رَسُولَ اللَّهِ » . قَالَ عَلِىٌّ لاَ
وَاللَّهِ لاَ أَمْحُوكَ أَبَدًا . فَأَخَذَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْكِتَابَ ، وَلَيْسَ يُحْسِنُ
يَكْتُبُ ، فَكَتَبَ هَذَا مَا قَاضَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
لاَ يُدْخِلُ مَكَّةَ السِّلاَحَ ، إِلاَّ السَّيْفَ فِى الْقِرَابِ
، وَأَنْ لاَ يَخْرُجَ مِنْ أَهْلِهَا بِأَحَدٍ ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يَتْبَعَهُ ، وَأَنْ لاَ يَمْنَعَ مِنْ أَصْحَابِهِ
أَحَدًا ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ بِهَا . (رواه
البخارى
“Diriwayatkan dari al-Barra’, ia berkata: Ketika
Nabi Saw melakukan umrah di bulan Dzulhijjah, maka penduduk Makkah menolak jika
Nabi Masuk ke Makkah, hingga Nabi memberi keputusan kepada mereka untuk menetap
di Makkah selama 3 hari. Ketika mereka menuliskan surat, mereka menulis: “Ini adalah keputusan
Muhammad Rasulullah”. Mereka (Kafir Quraisy) berkata: “Kami tidak mengakui
dengan nama ini. Andai kami tahu bahwa kau adalah utusan Allah, maka tentu kami
tidak akan menghalangimu sedikitpun. Tetapi kau adalah Muhammad bin Abdullah”.
Nabi Saw bersabda: “Aku adalah utusan Allah dan aku adalah Muhammad bin
Abdullah”. Lalu Nabi berkata kepada Ali: “HAPUSLAH KALIMAT RASULULLAH!” Ali
berkata: “Tidak. Demi Allah saya tidak akan menghapusmu selamanya”. Kemudian
Rasulullah mengambil kertas perjanjian, padahal beliau tidak bisa menulis, lalu
beliau menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad bin Abdullah. Muhammad tidak
akan masuk ke Makkah dengan pedang kecuali pedang yang tertutup, tidak membawa
keluar seorangpun dari penduduk Madinah jika ia ingin mengikutinya, dan tidak
melarang seorang pun dari sahabat Nabi jika ingin menetap di Makkah” (HR.
al-Bukhari)
Jelas sekali di dalam hadis ini Nabi Muhammad
memerintahkan Sayidina Ali menghapus gelar formal Nabi Muhammad berupa kalimat
RASULULLAH, sementara Sayidina Ali tidak mau menghapusnya, maka Nabi Muhammad
sendiri yang menghapusnya. Bagi ulama di kalangan NU, hadis ini memberi
pemahaman bahwa gelar formal dalam agama bukan segala-galanya yang harus dibela
mati-matian. Justru tidak adanya gelar formal Islam, umat Islam bisa leluasa
keluar-masuk kota
Makkah, menyebarkan Islam, mengenalkan Rasulullah Saw dan sebagainya.
Demikian halnya dengan Indonesia, bagi ulama di kalangan
NU, Pancasila bukan agama, oleh karenanya selamanya Pancasila tidak akan
menggantikan Islam. Justru dengan NU menerima Pancasila, umat Islam di
Indonesia bisa melakukan ajaran Islam kesehariannya dengan aman, tanpa rasa
takut. Umat Islam juga bisa masuk ke wilayah provinsi atau kabupaten yang
asalnya sama sekali tidak ada Islamnya, seperti Medan, Manado, Ambon, Papua,
Timor Timur (dahulu), sehingga perlahan di daerah sana banyak yang memeluk
Islam.
Oleh: Ustadz Muhammad Ma’ruf Khozin (Wakil Katib
Syuriah PCNU Surabaya/ Mantan Ketua LBM NU Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.