Kamis, 14 Maret 2013

SUAP-SUAP MODEL TRADISIONAL (JAHILIYYAH)


Jika diruntut berdasarkan pengalaman sejarah, dipastikan usia suap-menyuap (rasuwah) setua usia peradaban manusia. Secara alamiah manusia akan menggunakan berbagai kemampuan, pengaruh, pendekatan, dan cara yang dimilikinya. 


Dalam konteks tersebut, hanya jiwa-jiwa yang terpelihara, menjaga kemuliaan, keadilan, dan membebaskan diri dari kepentingan duniawi yang akan mampu konsisten menghindari penyuapan apa pun bentuk dan betapa pun kecilnya.

Semakin besar jabatan seseorang, maka semakin besar pula nilai penyuapan yang dilakukan atau diterimanya. Demikian pula sebaliknya. Tidak mungkin menyuap pejabat tinggi dengan nilai suap pejabat rendah. Sedangkan menyuap pejabat rendah dengan nilai suap pejabat tinggi, hanya akan menjadi tertawaan logika. Nilai penyuapan dengan demikian berkaitan erat dengan status sosial, peringkat jabatan, besarnya wewenang, dan hebatnya pengaruh.

Di zaman jahiliah, penyuapan merupakan salah satu upaya pendekatan (lobi) dalam mencapai tujuan. Suap, zina, merampok, minuman keras, mengganggu tetangga, memutus silaturahim, memeras kelompok lemah merupakan beberapa tradisi dan pemandangan sehari-hari kaum jahiliah. 

Penyuapan yang paling terkenal dilakukan oleh kaum Quraish terhadap Raja Al-Najasyi (Ashamah bin Abjar) dengan tujuan mengusir kaum Muslimin yang hijrah ke Habasyah (Etiopia).

Kala itu, kaum kafir Quraish mengutus Amr bin Al-Ash dan Abdullah bin Abu Rabi'ah untuk menemui Raja Najasyi, Pejabat Tinggi Habasyah, dan pemuka agamanya dengan membawa suap istimewa yang dibungkus dengan nama hadiah dari Makkah. Keduanya menghadap Al-Najasyi yang didampingi oleh para pejabat tinggi dan pemuka agama, seraya berkata:

"Wahai Paduka Yang Mulia! sungguh, sekelompok orang bodoh telah memasuki wilayahmu, mereka meninggalkan agama kaumnya dan tidak masuk agamamu. Mereka datang dengan agama baru, yang kami, Paduka dan kita semua tidak tahu asal-usulnya. Kami telah diutus oleh kaum kami yang mulia agar Paduka dapat mengusir mereka dan mengembalikannya kepada kaumnya. Kaumnya lah yang lebih tahu akan keadaan mereka."

Perkataan Amr bin Al-Ash didukung oleh para pejabat tinggi dan tokoh agama Kerajaan Habasyah sebab mereka telah tergiur dengan suap yang dibawa dua utusan dari Makkah. 

Namun, Najasyi tidak serta-merta mempercayai perkataan Amr bin Al-Ash, tetapi memberi hak bicara kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin mempercayakan Ja'far bin Abu Thalib menjadi Jubir mereka. 

Ja'far berkata, "Wahai Paduka Raja. Dulu kami hidup dalam kejahilan, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perzinaan, memutuskan silaturahim, mengganggu tetangga, yang kuat memeras yang lemah. Kondisi ini terjadi hingga Allah mengutus Rasul dari golongan kami, yang kami kenal kemuliaan nasabnya, kejujurannya, keterpercayaannya, dan kesuciannya. Dia mengajak kami menyembah Allah, tidak mempersekutukannya, meninggalkan tradisi nenek moyang seperti menyembah berhala, batu, dan lain sebagainya." 

Najasyi bertanya, "Apakah kalian memiliki sesuatu yang dapat diperdengarkan yang berasal dari Tuhan kalian?"

Ja'far menjawab, "Tentu". Lalu, ia membaca permulaan dari surah Maryam.

Raja Najasyi menangis hingga air matanya membasahi janggutnya dan berkata, "Sungguh, ini dan apa yang dibawa Isa muncul dari tempat/sumber (misykah) yang sama. Pergilah kalian berdua dan aku tidak akan mengusir mereka."

Hari berikutnya, Amr bin Ash masih belum menyerah dan melobi Raja Najashi dengan mempermasalahkan pandangan kaum Muslimin terhadap Isa bin Maryam. Lagi-lagi Najasyi memanggil Ja'far bin Abu Thalib dan meminta konfirmasinya. 

Setelah dijelaskan sedemikian rupa, Najasyi menyuruh para pejabatnya mengembalikan suap yang diberikan kepada mereka, mengusir kedua utusan Quraish, dan memberi jaminan keamanan bagi kaum muhajirin Makkah.
Wallahu A'lam. 
sunber: REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Muhammad Hariyadi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.