ISTIGHOTSAH
DALAM SYARI’AT ISLAM
PENGERTIAN
ISTIGHOTSAH
Istighotsah adalah pola (Wazn) Istif’aal (اِسْتِفْعَال) dari kata al Ghauts
(الغَوْث) yang berarti
pertolongan. Pola ini salah satu fungsinya adalah menunjukkan
arti طلب (permintaan atau permohonan).
Seperti kata غُفْرَان yang berarti ampunan ketika
diikutkan pola istif’al اِسْتِفْعَال
menjadi istighfar اسْتِغْفَار
artinya menjadi memohon ampunan. Jadi Istighotsah berarti thalab al ghauts (طَلَبُ
الغَوْثِ);
meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara Istighotsah dengan Isti’anah
meskipun secara kebahasaan makna Istighotsah dan Isti’anah kurang lebih sama.
Karena isti’anah juga pola Istif’aal
(اِسْتِفْعَال)
dari kata al ‘Aun (العَوْن) yang berarti thalab al ‘Aun (طَلَبُ الْعَوْنِ); meminta pertolongan. Istighotsah
adalah:
"طَلَبُ الغَوْثِ عِنْدَ الشِّدَّةِ
وَالضِّيْقِ".
“Meminta pertolongan
ketika dalam keadaan sukar dan sulit”.
Sedangkan Isti’anah
maknanya lebih luas dan umum.
Baik Istighotsah maupun Isti’anah
terdapat di dalam Nushush asy-Syari’ah; teks-teks al Qur’an atau hadits
Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Dalam surat Al-ِAnfal ayat 9 disebutkan:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ (٩)
Yang artinya: "(Ingatlah
wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu iaiu Dia
mengabulkan permohonanmu” (Q.S. al Anfal:9)
Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika
Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam memohon bantuan dari Allah subhanahu
wata’ala. Saat itu beliau berada ditengah berkecamuknya
perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan
Islam, kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi
bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat. Dalam surat Al Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;
وَهُمَا
يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ (١٧)
Yang artinya: "Kedua orang
tua memohon pertolongan kepada Allah" (Q.S.al
Ahqaf:17)
Yang dalam hal ini,
memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya
meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh
keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari
Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali
dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah subhanahu
wata’ala untuk terwujudnya sebuah "keajaiban" atau sesuatu yang
paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan. Istighotsah sebenarnya sama
dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya
lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah
adalah bukan hal yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu,
istighotsah sering dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama
istighfar, sehingga Allah subhanahu
wata’ala berkenan mengabulkan permohonan itu.
Istighotsah juga disebutkan dalam
hadits Nabi[1],
diantaranya :
"إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ
القِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ العَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ
اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ " رواه البخاريّ
"Matahari akan
mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang
keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka
beristighatsah (meminta pertolongan)
kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad r" (H.R. al Bukhari).
Sedangkan Isti’anah terdapat di dalam al Qur’an, Allah
ta’ala berfirman:
] وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْـرِ
وَالصَّلاَةِ [( سورة البقرة : 45)
Maknanya: “Mintalah
pertolongan dengan sabar dan shalat” (Q.S. al Baqarah: 45)
HAKIKAT
ISTIGHATSAH
Para ulama seperti al Imam Taqiyyuddin as-Subki
menegaskan dalam Syifa’ as-Saqaam
bahwa Istisyfa’, Tawassul, Istighotsah, Isti’anah, Tawajjuh dan Tajawwuh makna
dan hakekatnya adalah sama dan satu. Ini berarti bahwa Istighatsah sama dengan
tawassul. Tawassul adalah:
"طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ
اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ
بِهِ".
“Memohon
datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan)
dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram)
keduanya”.
Sebagian kalangan memiliki
persepsi bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari
mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang
mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki adalah seorang Nabi atau wali
tersebut. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka
menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat
tawassul sesungguhnya di kalangan orang-orang yang bertawassul adalah memohon
datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan)
dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram)
keduanya.
Ide dasar
dari tawassul adalah sebagai berikut. Allah ta’ala telah menetapkan bahwa
biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat.
Sebagai contoh; Allah ta’ala sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala
kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah
memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
] وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْـرِ
وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِيْنَ [( سورة البقرة : 45)
Maknanya: “Mintalah
pertolongan dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (Q.S. al Baqarah: 45)
Allah juga berfirman:
] وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ [( سورة المائدة : 35)
Maknanya: “Dan carilah hal-hal yang
(bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Q.S. al Mai-dah: 35)
Ayat ini
memerintahkan untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah,
artinya carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah
akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan
sebab-sebab tersebut, padahal Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat
tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah ta’ala telah menjadikan tawassul dengan
para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba, oleh
karenanya kita bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar
dikabulkan permohonan kita oleh Allah.
Jadi tawassul adalah sebab syar’i
yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan
para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal.
Karena seorang mukmin yang bertawassul keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang
menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya
secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah
sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat
mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup Allah yang mengabulkan
permohonan hamba, demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang
mengabulkan permohonan hamba, bukan nabi atau wali itu sendiri. Sebagaimana
orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan
oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah sedangkan
obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat dalam contoh ini adalah sabab
‘aadi, maka tawassul adalah sabab syar’i. Seandainya tawassul bukan sebab syar’i, maka
Rasulullah tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar
bertawassul dengannya. Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang buta untuk
berdo'a dengan mengucapkan:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ
إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
"Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami
Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada
Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".
Orang tersebut melaksanakan petunjuk
Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari
butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah
(tidak di majelis Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan
sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung
peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah-
mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan
–semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah
Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat
memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia
disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam
selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga
sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka
seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir":
"Hadits ini shahih"-,[2] al
Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan
ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil
diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu
'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di
hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi
setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu
sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits
ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak
ada yang menasakhnya.
REDAKSI ISTIGHOTSAH
Istighotsah dan Tawassul
memiliki beragam bentuk dan redaksi sebagai berikut:
- Dengan menggunakan huruf jarr baa’ seperti dalam tawassul yang diajarkan Nabi kepada orang buta tersebut: "اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَة".
Juga seperti
tawassul yang umumnya dibaca oleh ummat Islam:
"يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ
الْكَرَمِ"
Juga
tawassul dalam Shalawat Badar:
"تَوَسَّلْنَا بِبِسْمِ اللهْ وَبِالْهَادِيْ رَسُوْلِ اللهْ
وَكُلِّ مُجَاهِدٍ لِلّهْ بِأَهْلِ الـْبَدْرِ يَا اَللهْ"
Juga dalam
Shalawat Nariyyah:
"اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً، وَسَلِّمْ سَلاَمًا
تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ العُقَدُ،
وَتَنْفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ ...".
- Dengan menggunakan baa’ disambung dengan lafazh Haqq atau Jaah, Karaamah, Barakah dan semacamnya seperti dalam doa yang dianjurkan dibaca ketika pergi ke Masjid Jami’:
"اللّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا...".
(رَوَاهُ أحْمدُ في الْمُسنَد
والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة والبيهقيّ في
الدعوات الكبير وغيرهم وحسَّنَ
إسنادَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ
الدمياطيّ وغيرهم).
- Dengan menggunakan Nida’ (memanggil) seperti yang diajarkan oleh Nabi kepada orang buta tersebut di atas: "...يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
- Dengan mendatangi kuburan dan mengucapkan redaksi Nida’ seperti yang dilakukan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani di saat musim paceklik di masa pemerintahan Umar ibn al Khaththab sebagaimana diriwayatkan dan disahihkan oleh oleh al Hafizh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya. Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: " يَا رَسُوْلَ اللهِ اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا ".
- Dan lain-lain.
Kesimpulan: Bertawassul dengan para nabi dan
wali dengan bentuk-bentuk dan redaksi-redaksi yang telah disebutkan hukumnya
boleh, baik di saat seorang Nabi atau wali masih hidup atau setelah meninggal,
baik di hadapannya atau tidak di hadapannya. Namun hal itu harus disertai
dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfa’at secara hakiki kecuali
Allah, sedangkan para nabi dan wali hanyalah sebab dikabulkannya doa dan
permohonan seseorang.
DALIL-DALIL
ISTIGHOTSAH
Berikut
ini akan dikemukakan dalil-dalil tentang disyari’atkannya tawassul dan istighotsah secara lebih detail :
- Hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah yang telah disebutkan. Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam ash-Shaghir dan beliau mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini juga disahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Jika ada
orang yang mengatakan bahwa makna:
"اَللّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
Adalah:
"اَللّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ...".
Dengan dalil perkataan Nabi di awal
hadits:
"إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ".
“Jika
engkau mau engkau bisa bersabar, dan jika engkau mau aku akan mendoakan kamu”.
dan itu
artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi ketika beliau masih hidup dan
itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang bertawassul adalah
memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya
dan hal ini tidak diperbolehkan !
Jawabannya: bahwa dalam
rangkaian hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Nabi benar-benar mendoakan
orang buta tersebut, yang disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa setelah orang
buta itu pergi ke tempat wudlu’, Rasulullah meneruskan ta’lim beliau hingga
orang buta tersebut datang kembali dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana
disebutkan oleh perawi hadits tersebut:
"فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا
وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ
كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ قَطُّ".
“Orang
buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Allah kita belum lama
berpisah dan belum lama majelis Rasulullah berlangsung hingga orang buta
tersebut kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya
tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.
Dari
penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi di awal hadits
adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta tersebut, bukan
mendoakannya secara langsung:
"... وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ" أَيْ
عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.
Jadi
pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir (بِنَبِيِّنَا: بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا ) itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi
bertawassul dengan Nida’ sekalipun tidak di hadapan seorang Nabi atau
wali adalah boleh seperti jelas-jelas disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil
dan tanpa perlu taqdir kalimat tertentu.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan
dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih hidup tanpa
berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul
dengan para nabi dan wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jadi
hadits yang sahih ini membantah perkataan sebagian orang bahwa bertawassul
hanya boleh dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup
dan tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dalam Sunan-nya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia
berkata, Rasulullah bersabda :
"مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّيْ
لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ
رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ
أَنْ تُنْقِذَنِـيْ مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ
الذُّنُوْبِ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ
سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ" (رَوَاهُ
أحْمدُ في الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم
والليلة والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم وحسَّنَ إسنادَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ
والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).
Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di
masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih
hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan
ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan
sombong, juga bukan karena riya’ dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi
murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku
dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang
mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh
puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam
"al Musnad", ath-Thabarani
dalam "ad-Du'a", Ibn
as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa
al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan
oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al
'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan
dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu ‘alayhi
wasallam mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat
al Faadlilah (seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul
dengan amal saleh, beliau tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis
pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini tawassul
dengan adz-Dzawaat al Faadlilah ada pada kata (بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ) dan tawassul dengan amal saleh ada pada kata (وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ).
- Hadits riwayat al Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lainnya:
عَنْ
مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ
عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ r
فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا،
فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ
وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ،
فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ
آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ.
Maknanya: “Paceklik datang di masa Umar, maka salah seorang sahabat
yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan:
Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu karena sungguh
mereka betul-betul telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan
Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan
beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya
“bersungguh-sungguhlah dalam melayani ummat”. Kemudian sahabat tersebut datang
kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya.
Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku
kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits ini disahihkan oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan
lainnya.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan
dibolehkannya beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal
dengan redaksi Nida’ (memanggil) yaitu (يَا
رَسُوْلَ اللهِ).
Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (اسْتَسْقِ
لِأُمَّتِكَ
) maknanya adalah: “Mohonkanlah
hujan kepada Allah untuk ummat-mu”, bukan ciptakanlah hujan untuk ummatmu. Jadi dari sini
diketahui bahwa boleh bertawassul dan beristighatsah dengan mengatakan:
" يَا
رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ
يَا رَسُوْلَ اللهِ".
Karena maknanya adalah tolonglah aku dengan doamu kepada Allah,
selamatkanlah aku dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa’at
atau mara bahaya, beliau hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau
dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits
(penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan
sanad yang sahih:
"اللّهُمَّ
اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ
عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ".
Berarti sebagaimana Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits karena
hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang
nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah.
Jadi boleh mengatakan (أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ )
dan semacamnya ketika bertawassul, karena keyakinan seorang muslim ketika
mengatakannya adalah bahwa seorang nabi dan wali hanya sebab sedangkan pencipta
manfaat dan yang menjauhkan mara bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan nabi
atau wali tersebut.
Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn
al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul,
beristighatsah dengan mengatakan: (يَا
رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ)
yang mengandung Nida’ dan perkataan (اسْتَسْقِ) tidak
mengkafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani,
sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat-pun yang
mengingkarinya.
- Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
"إِنَّ
للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ
وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ
فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ" رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ
الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ.
Maknanya: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat di bumi selain
hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian ditimpa
kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku, wahai para
hamba Allah” (H.R. ath-Thabarani dan al Hafizh al Haytsami mengatakan:
perawi-perawinya terpercaya, juga diriwayatkan oleh al Bazzar dan Ibnu
as-Sunni)
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan
dibolehkannya beristi’anah dan beristighatsah dengan selain Allah, yaitu para
shalihin meskipun tidak di hadapan mereka dengan redaksi Nida’ (memanggil).
An-Nawawi setelah menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al Adzkar
mengatakan: “Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan
bahwa pernah suatu ketika lepas hewan tunggangannya dan beliau mengetahui
hadits ini lalu beliau mengucapkannya maka seketika hewan tunggangan tersebut
berhenti berlari, Saya-pun suatu ketika bersama suatu jama’ah kemudian terlepas
seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan
tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut
berhenti tanpa sebab kecuali ucapan tersebut”. Ini menunjukkan bahwa
mengucapkan tawassul dan istighatsah tersebut adalah amalan para ulama ahli
hadits dan yang lainnya.
- Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits ibn Hassan al Bakri berkata kepada Rasulullah:
" أَعُوْذُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ أَكُوْنَ كَوَافِدِ
عَادٍ"
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadi
seperti utusan kaum ‘Aad (utusan yang yustru menghancurkan kaumnya sendiri yang
mengutusnya)” (H.R. Ahmad)
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan
dibolehkannya bertawassul dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al
Isti’adzah. Dalam hadits ini al Harits ibn Hassan al Bakri memohon
perlindungan (beristi’adzah) kepada Allah karena Allah adalah yang
dimohoni perlindungan secara hakiki (Musta’adz bihi haqiqi), sedangkan
ketika ia memohon perlindungan kepada Rasulullah karena Rasulullah adalah yang
dimohoni perlindungan dengan makna sebab (Musta’adz bihi ‘ala ma’na annahu
sabab). Rasulullah tidak
mengkafirkannya, tidak memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali,
padahal kita tahu bahwa Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya
perkara mungkar sekecil apapun. Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan:
“Engkau telah musyrik karena mengatakan: (وَرَسُوْلِهِ), karena
engkau telah beristi’adzah kepadaku”.
- Al Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:
"حَيَاتِيْ
خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ،
وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ
خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ
لَكُمْ" رواه البزّار ورجاله رجال الصحيح
Maknanya: “Hidupku adalah
kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian, ketika aku
hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui
aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan
kalian, jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya dan
jika aku melihat ada amal kalian yang buruk aku memohonkan ampun untuk kalian
kepada Allah” (H.R. al Bazzar dan para perawinya adalah para perawi sahih)
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa
meskipun sudah meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada
Allah untuk ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya,
memohon didoakan olehnya meskipun beliau sudah meninggal.
- Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya al Adab al Mufrad dengan sanad yang sahih tanpa ‘illat dari Abdurrahman ibn Sa’d, beliau berkata: Suatu ketika kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: sebutkanlah orang yang paling Anda cintai ! lalu Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu kaki beliau sembuh.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa
sahabat Abdullah ibnu Umar melakukan Istighatsah dengan Nida’ “Yaa Muhammad (يَا مُحَمَّدُ
)”. Makna "يَا مُحَمَّدُ" adalah أَدْرِكْنِيْ بِدُعَائِكَ إِلَى
اللهِ: tolonglah aku dengan doamu kepada Allah.
Hal ini dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ini menunjukkan bahwa boleh
beristighatsah dan bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat, meskipun
dengan menggunakan redaksi Nida’, jadi Nida’ al Mayyit (memanggil
seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik.
8. Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Nabi Musa berdoa :
" رَبِّ
أَدْنِنِيْ مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ".
Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh
lemparan batu".
Kemudian Rasulullah bersabda :
"وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ
عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الكَثِيْبِ
الأَحْمَرِ" أخرجه البخاريّ ومسلم
Maknanya : "Demi Allah, jika aku berada di dekat kuburan
Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping
jalan di daerah al Katsib al Ahmar" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Faedah Hadits: Tentang hadits ini al Hafizh
Waliyyuddin al 'Iraqi berkata dalam kitabnya “Tharh at-Tatsrib”: "Dalam
hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang
saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya".
Dan telah menjadi tradisi di
kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa ketika mereka
menghadapi kesulitan atau ada keperluan mereka mendatangi kuburan orang-orang
saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan
mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafi’i ketika ada hajat yang ingin
dikabulkan seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana dan
setelahnya dikabulkan doanya oleh Allah. Abu ‘Ali al Khallal mendatangi kuburan
Musa ibn Ja’far. Ibrahim al Harbi, al Mahamili mendatangi kuburan Ma’ruf al
Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam
kitabnya “Tarikh Baghdad”. Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh
Syamsuddin Ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :
"وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ".
"Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang
saleh ".
Al Hafizh
Ibn al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim ibn al Hajjaj,
penulis Sahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh
Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.
HIKAYAH NAFISAH (KISAH TELADAN)
Al Hafizh
Abdurrahman ibn al Jawzi menyebutkan
sebuah kisah dalam kitabnya “Al Wafa bi Ahwal al Mushthafa” –kisah ini juga dituturkan oleh al
Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi - bahwa
Abu Bakr al Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh
berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit
perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku
mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Yaa Rasulallah, al Juu’ al Juu’ (Wahai Rasulullah! lapar...lapar)”, lalu aku kembali. Abu
as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau
(kalau tidak, kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan kisahnya:
"Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani
duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali
dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang
pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu
makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata
ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah
kami selesai makan, 'Alawi itu berkata:
"Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku
tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada
kalian".
Dalam kisah ini, secara jelas
dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta
pertolongan (al Istighotsah) adalah boleh dan baik. Siapapun mengetahui
bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan)
adalah ulama–ulama besar Islam. Kisah
ini dinukil oleh para ulama termasuk ulama madzhab Hanbali dan lainnya. Mereka
ini di mata ummat Islam adalah Muwahhidun (Ahli Tauhid), bahkan
merupakan tokoh-tokoh besar di kalangan para Ahli Tauhid, sedangkan di mata para
anti tawassul mereka dianggap sebagai ahli bid’ah dan syirik. Padahal kalau
mau ditelusuri, peristiwa-peristiwa
semacam ini sangatlah banyak seperti yang disebutkan sebagian pada dalil ke
delapan.
KESIMPULAN:
Jika yang
dimaksud dengan Istighatsah adalah amaliah tawassul maka hukum dan
dalil-dalilnya telah dijelaskan dengan panjang lebar seperti telah dikemukakan.
Namun dalam prakteknya, kadang tradisi istighatsah juga dilakukan dengan cara
dzikir dan doa bersama dengan suara yang keras dan sama sekali tidak mengandung
tawassul atau istighotsah, oleh karenanya berikut
ini diuraikan penjelasan mengenai dalil kebolehan dzikir dan doa bersama
tersebut.
Dzikir dengan
suara yang keras
Abdullah ibn 'Abbas berkata :
"كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ"
رواه البخاريّ ومسلم
Maknanya : "Aku
mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara
keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
"كُنَّا نَعْرِفُ
انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ" رواه مسلم
Maknanya : "Kami
mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara
keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
"أَنَّ رَفْعَ
الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى
عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ" رواه البخاريّ ومسلم
Maknanya : "Mengeraskan
suara dalam berdzikir ketika jama'ah selesai sholat fardlu terjadi pada zaman
Rasulullah" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
"كُنْتُ أَعْلَمُ
إِذَا انْصَرَفُوْا بِذلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ"
Maknanya : "Aku
mengetahui bahwa mereka telah selesai sholat dengan mendengar suara berdzikir
yang keras itu"
Hadits-hadits ini adalah dalil
diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tanpa
berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan keras
yang berlebih-lebihan dilarang oleh Nabi shallallahu
'alayhi wasallam dalam hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al Bukhari
dari Abu Musa al Asy'ari bahwa ketika para sahabat sampai dari perjalanan
mereka di lembah Khaibar, mereka membaca tahlil
dan takbir dengan suara yang
sangat keras. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka :
"اِرْبَعُوْا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّمَا
تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا ..."
Maknanya : "Ringankanlah
atas diri kalian (jangan memaksakan diri mengeraskan suara secara berlebihan), sesungguhnya kalian tidak meminta
kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta
kepada yang maha mendengar dan maha "dekat" …" (H.R. al Bukhari)
Hadits ini tidak melarang berdzikir
dengan suara yang keras, yang dilarang adalah dengan suara yang sangat keras
dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa boleh berdzikir dengan
berjama'ah sebagaimana dilakukan oleh para sahabat tersebut, karena bukan ini
yang dilarang oleh Nabi melainkan mengeraskan suara secara berlebih-lebihan.
Dalam hadits Qudsi disebutkan:
"يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ،
وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ، فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ
فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ
مِنْهُمْ" متّفق عليه
Maknanya : "Allah
ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku,
dan aku senantiasa menjaganya dan memberikan taufiq serta pertolongan
terhadapnya jika ia menyebut nama-Ku, jika ia
menyebutku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat secara
sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjama’ah atau dengan suara
keras maka Aku akan menyebutnya di kalangan para Malaikat yang mulia" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Doa bersama
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
"مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فَدَعَا بَعْضٌ وَأَمَّنَ الآخَرُوْنَ إِلاَّ
اسْتُجِيْبَ لَهُمْ " (رواه الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
Maknanya : "Tidaklah
suatu jama'ah berkumpul, lalu sebagian berdoa dan yang lain mengamini kecuali
doa tersebut akan dikabulkan oleh Allah" (H.R. al Hakim dalam al Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn
Habib al Fihri)
Hadits ini menunjukkan kebolehan
berdoa dengan berjama'ah, salah satu berdoa dan yang lain mengamini, termasuk
dalam hal ini yang sering dilakukan oleh jama'ah setelah sholat lima waktu,
imam sholat berdoa dan jama'ah mengamini.
Hadiah Fatihah
Di antara tradisi ummat Islam adalah
membaca surat al Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah
boleh.
Ibnu ‘Aqil, salah seorang tokoh
besar madzhab Hanbali mengatakan: “Disunnahkan menghadiahkan bacaan al Qur’an
kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam”. Ibnu ‘Abidin berkata: “Ketika
Para ulama kita mengatakan: boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala
amalnya untuk orang lain, termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam. Karena beliau lebih berhak mendapatkannya dari pada yang
lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah
tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas
budi baiknya. Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya)
memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil
sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshil hashil karena
semua amal ummatnya otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah, jawabannya
adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah ta’ala memberitakan dalam Al
Qur’an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam
kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan
mengatakan: (اللّهُمّ صَلّّ عَلَى
مُحَمّد ) Wallahu A’lam”. (lihat Radd
al Muhtar ‘Ala ad-Durr al Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Ibnu Hajar al Haytami juga menuturkan
kebolehan menghadiahkan bacaan al Qur’an untuk Nabi dalam al Fatawa al
Fiqhiyyah.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al Ghumari dalam
kitabnya “Ar-Radd al Muhkam al Matin”, hlm. 270, mengatakan: “Menurut
saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan al Qur’an atau yang lain kepada
baginda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, meskipun beliau selalu
mendapat pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh ummatnya, karena memang
tidak ada dalil yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya,
hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang”.
Jika hadiah bacaan al Qur’an
termasuk al Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, apalagi untuk para wali dan
orang-orang saleh karena mereka jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat, kemuliaan dan kesempurnaan
dan tidak ada dalil yang melarang menghadiahkan bacaan al Qur’an untuk para
wali dan orang-orang saleh tersebut.
KHATIMAH
I. Orang yang anti tawassul dan istighotsah
sering mengatakan: Kenapa kalian meminta pertolongan kepada selain Allah, Allah
tidak membutuhkan Wasithah !
Jawab: Jika wasithah diartikan
sebagai al Mu’iin wal Musaa’id (penolong dan pembantu); bahwa Allah
tidak kuasa untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya tanpa bantuan seorang
nabi, wali atau malaikat maka jelas hal itu mustahil bagi Allah. Namun jika Washithah
dengan arti sebab, yakni dengan sebab menyebut seorang nabi atau wali maka
Allah mengabulkan keinginan dan harapan hamba maka hal ini bukan kufur atau
syirik, karena telah dikemukakan bahwa tawassul adalah sabab syar’i.
Allah telah berkehendak menjadikan kebiasaan urusan di dunia dan akhirat
berkait dengan hukum kausalitas; sebab akibat.
Contoh lain adalah bahwa Allah kuasa untuk memendekkan masa siksa
seorang mukmin di neraka atau mengampuninya dan tidak menyiksanya sama sekali
tanpa syafa’at seorang-pun, namun Allah berkehendak untuk memendekkan masa
siksa seorang mukmin di neraka atau mengampuninya dan tidak menyiksanya sama
sekali dengan syafa’at seorang nabi atau wali dan yang lain untuk menampakkan
dan menunjukkan kemuliaan para nabi, para wali dan orang-orang saleh. Demikian
pula tawassul disyari’atkan, salah satu hikmahnya adalah menampakkan ketinggian
derajat dan kemuliaan seorang nabi dan wali, bahwa dengan disebutnya mereka,
Allah mengabulkan permohonan seorang hamba.
II. Orang yang anti tawassul dan istighotsah
sering mengatakan: Jika hukum tawassul masih diperdebatkan maka sebaiknya
berdoa saja kepada Allah tanpa tawassul ?!
Jawab: Orang yang mengatakan demikian
berarti memang telah terpengaruh oleh ajaran anti tawassul. Bukankah telah
dikemukakan kebolehan tawassul dengan dalil-dalilnya !??. Kita tidak pernah
meyakini bahwa tawassul adalah wajib. Keyakinan kita adalah bahwa berdoa dengan
atau tanpa tawassul adalah boleh. Namun karena Rasulullah sendiri yang
mengajarkan tawassul, maka kita bertawassul dan meyakini bahwa tawassul adalah
salah satu sebab dikabulkannya doa seorang hamba. Jika berdoa dengan tawassul
boleh dan bahkan diajarkan langsung oleh Nabi, kenapa mesti diharamkan ?!
Kenapa seseorang berani mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya ?! Subhanaka hadza buhtan ‘azhim.
[1] Hadits ini juga merupakan dalil
dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa
seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di mahsyar
terkena terik panasnya sinar matahari mereka meminta tolong kepada para nabi.
Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para
nabi tersebut ?!! Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak
melakukan hal itu !! dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan
yang dianggap syirik di dunia dan di akhirat tidak terhitung syirik ! Syirik
adalah syirik di dunia dan di akhirat, dan yang bukan syirik di dunia bukan
syirik di akhirat !.
[2] Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan
bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa
di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani. Masalah
tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para
ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi
al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam
kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al
Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal.
alhamdulillah semoga tetap mendapatkan berkah
BalasHapus