Dikisahkan bahwa ada orang yang benar-benar miskin, dan dia merasa penat dan mengeluhkan keadaannya itu. Ketika tidur dia bermimpi, seakan-akan ada orang yang bertanya kepadanya, "Sukakah jika kami membuatmu lupa surat Al-An'am, dan engkau akan mendapatkan seribu dinar?"
Orang miskin menjawab, "Tidak."
"Bagaimana kalau surat Hud?"
"Tidak."
"Bagaimana kalau surat Yusuf?"
"Tidak."
"Berarti engkau kini mempunyai kekayaan senilai seratus dinar. Lalu bagaimana mungkin engkau masih mengeluh?"
Pagi harinya dia bangun dengan perasaan yang segar dan dalam keadaan riang.
Suatu kali Ibnus Sammak menemui Harun Ar-Rasyid, lalu dia memberinya nasihat, hingga membuat Ar-Rasyid menangis. Lalu dia meminta air minum. Ibnus-Sammak bertanya, "Wahai Amirul-Mukminin, andaikata minuman Tuan itu tidak bisa diminum kecuali harus ditukar dengan dunia dan seisinya. Apakah Tuan akan menebusnya?"
"Ya," jawab Ar-Rasyid.
Ibnus-Sammak berkata, "Kalau begitu minumlah dengan penuh kenikmatan, semoga Allah memberkahi bagi Tuan."
Setelah Ar-Rasyid meminumnya, Ibnus-Sammak bertanya lagi, "Wahai Amirul-Mukminin, bagaimana pendapat Tuan jika minuman itu tidak bisa dikeluarkan dari tubuh Tuan kecuali dengan dunia dan seisinya, apakah Tuan akan menebusnya?"
"Ya," jawab Ar-Rasyid.
Ibnus-Sammak berkata, "Apa yang Tuan lakukan terhadap seteguk minuman itu, maka itulah yang terbaik."
Hal ini menjelaskan bahwa nikmat Allah yang dilimpahkan kepada hamba, berupa seteguk minuman saat haus, lebih besar nilainya daripada seluruh kekayaan dunia. Kemudian keluarnya kotoran dari badan dengan cara yang mudah juga merupakan kenikmatan yang besar. Ini merupakan isyarat yang sangat sederhana tentang nikmat yang bersifat khusus.
Tidaklah ada seorang hamba yang memusatkan perhatiannya, melainkan dia pasti akan melihat nikmat-nikmat Allah yang teramat banyak, yang banyak orang lain tidak mampu melihat seperti yang dilihatnya. Tapi siapa yang berbuat seperti yang diperbuatnya, tentu akan melihat seperti yang dilihatnya pula.
Tidaklah ada seorang hamba melainkan dia ridha terhadap Allah yang telah memberinya akal, dan dia merasa yakin bahwa dialah orang yang paling berakal, padahal Allah tidak mempertanyakan akalnya, maka dia harus bersyukur kepada Allah atas yang demikian itu.
Itu baru nikmat atas air dan pembuangannya saja, belum dihitung dengan nikmat-nikmat lainnya. Dengan cara apa kita bersyukur atas seluruh nikmatnya??
Wallahu'alam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.