Pendahuluan
Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang
ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa
kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk,
bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa
dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan
kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus
kekerasan yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di
Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Masyarakat muslim di
Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir,
sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non
muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi
yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Toleransi agama
adalah suatu sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya
diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama. Kerukunan
umat beragama adalah hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah
kesejahteraan hidup di negeri ini. Seperti yang kita ketahui, Indonesia
memiliki keragaman yang begitu banyak. Tak hanya masalah adat
istiadat atau budaya seni, tapi juga termasuk agama. Walau mayoritas
penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa agama lain yang
juga dianut penduduk ini. Kristen, Khatolik, Hindu, Budha dan
Konghucu adalah contoh agama yang juga banyak dipeluk oleh warga
Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam
beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah.
Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, kita harus menjaga
kerukunan umat beragama di Indonesia untuk bersama-sama membangun negara
ini menjadi yang lebih baik.
.
Konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
- Kerukunan intern umat beragama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen.
- Kerukunan antar umat beragama , yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.
- Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yaitu bentuk kerukunan semua umat-umat beragama menjalin hubungan yang yang harmoni dengan Negara/ pemerintah. Misalnya tunduk dan patuh terhadap aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah ikut andil dalam menciptakan suasana tentram, termasuk kerukunan umar beragama dengan pemerintah itu sendiri. Semua umat beragama yang diwakili oleh tokoh-tokon agama dapat sinergi dengan pemerintah. Bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah untuk menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.
Seluruh peraturan pemerintah yang membahas kerukunan hidup umat beragama, harus mencakup empat pokok masalah sbb:
- Pendirian Rumah Ibadah
- Penyiaran agama
- Bantuan keagamaan dari luar negeri
- Tenaga asing bidang keagamaan
Kerukunan Dalam Perspektif Islam
Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebaiknya
berkaca kepada sejarah yang pernah terjadi dalam dunia Islam, yaitu di
Madinah. Dengan pimpinan nabi Muhammad saw mendirikan negara yang
pertama kali dengan penduduk yang majemuk, baik suku dan agama, suku
Quraisy dan suku-suku Arab Islam yang datang dari wilayah-wilayah lain,
suku-suku Arab Islam penduduk asli Madinah, suku-suku Yahudi penduduk
Madinah, Baynuqa’, Bani Nadlir dan suku Arab yang belum menerima Islam.
Sebagai landasan dari negara baru itu Rasulullah saw memproklamasikan
peratururan yang kemudian lebih dikenal dengan nama Shahifatul Madinah atau Piagam Madinah. Menurut para ilmuwan muslim dan non muslim dinyatakan bahwa Piagam Madinah itu merupakan konstitusi pertama negara Islam.
Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu nabi Muhammad
saw telah meletakkan pondasi sebagai landasan kehidupan umat beragama
dalam negara yang plural dan majemuk, baik suku maupun agama dengan
memasukkan secara khusus dalam Piagam Madinah sebuah pasal spesifik
tentang toleransi. Secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 25: “Bagi
kaum Yahudi (termasuk pemeluk agama lain selain Yahudi) bebas memeluk
agama mereka, dan bagi orang Islam bebas pula memeluk agama mereke.
Kebebasan ini berlaku pada pengikut-pengikut atau sekutu-sekutu mereka
dan diri mereka sendiri” (lil yahudi dinuhum, wa lil muslimina dinuhum, mawaalihim wa anfusuhum).
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya
kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah
seperti berikut:
- Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
- Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
- Bertetangga yang baik
- Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
- Membela mereka yang teraniaya
- Saling menasehati
- Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
- Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama; dan
- Pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
Lahirnya Piagam Madinah oleh beberapa ahli tentang Islam,
seperti dikatakan oleh sejarawan Barat, Wiliam Montgomery Watt sebagai
loncatan sejarah yang luar biasa dalam perjanjian multilateral. Selain
sifatnya yang inklusif, Piagam Madinah berhasil mengakhiri
kesalahpahaman antara pemeluk agama selain Islam dengan jaminan keamanan yang dilindungi konstitusi Negara.
Semangat persamaan dan persaudaraan tanpa melihat suku dan
agama dalam Piagam Madinah itu tidak lepas dari bimbingan wahyu Allah
SWT, di mana Rasulullah saw tidak akan berkata sesuatu dari kehendak
nafsunya kecuali merupan wahyu Allah SWT. Piagam Madinah senafas dengan
inti ajaran paradigma kehidupan umat beragama yang termaktub dalam al
Qur’an al Karim, yakni tidak ada paksaan untuk menganut suatu agama (al
Baqarah:256), larangan kepada Rasulullah saw untuk memaksa orang
menerima Islam (Yunus:99) dan bahwa tiada larangan bagi umat Islam untuk
berbuat baik, berlaku adil dan saling tolong menolong dengan
orang-orang bukan Islam yang tidak memerangi umat Islam karena agama dan
tidak mengusir meraka dari kampung halaman atau negeri mereka (al
Mumtahanah:8–9), bahwa Islam mengakui pluralitas agama bukan pluralisme
agama (al Kafirun:1- 6).
Kalau sebab turunnya (asbab al nuzul) ayat dalam
surat al Kafirun dikaji secara seksama, ayat ini merupakan penolakan
Nabi Muhammad SAW secara diplomatis dan etis atas propaganda agama lain.
Ketika Nabi Muhammad SAW ditawari untuk saling tukar agama, Nabi SAW
menanggapinya dengan arif dan bijaksana, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Tidak konfrontatif, apalagi destruktif sehingga orang yang mengajaknya pun malah segan.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat
beragama di Indonesia khususnya di Banyuwangi kiranya perlu membangun
dialog horizontal dan dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar
manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian,
pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar
manusia yang asasi, dengan menempatkan manusia pada posisi
kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berakal budi, yang kreatif dan
berbudaya.
Suatu sifat dalam dialog, di mana seseorang melihat lawan dialognya dengan hati lapang dan penuh pernghargaan (‘ain al ridla), bukan sebaliknya, melihat lawan dialognya sebagai musuh dan penuh kebencian (‘ain al sukhth).
Sikap dasar moral harus tetap dipertahankan dalam hubungan dialog
horizontal. Oleh karena itu tidak seharusnya manafikan eksistensi orang
lain.
Dialog Vertikal berarti pemahaman dan
pengkhayatan akan fungsi dan makna keagamaan secara mendalam bukan
fanatisme buta dalam beragama karena kebodohannya. Dalam konteks
kemasyarakatan kita, banyak yang mempertentangkan suatu agama dengan
agama lain, bahkan antar sesama pemeluk agama tertentu. Karenanya para
tokoh agama mengingatkan betapa pentingnya penghayatan keagamaan dan
untuk memperluas cakrawala dialog vertical.
Unsur penting dalam dialog vertikal adalah mendalami materi
keagamaan secara intern. Artinya, kita mesti terus berlajar mendalami
secara objektif makna agama kita masing-masing. Pada posisi puncak
sebenarnya adalah pengejewantahan diri kita untuk mengabdi kepada Tuhan.
Pengabdian kepada Tuhan inilah yang disebut dengan dialog vertical.
Oleh karena itu, umat beragama tidak layak mempertentangkan dan
menghancurkan eksistensi orang lain dengan mengatasnamakan agama.
Kesimpulan
Akhirnya jika bicara tentang kerukunan maka harus bicara
tentang KITA, bukan bicara tentang AKU dan KAMU sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi Muhaammad SAW dalam Piagam Madinah. Semoga kita
selalu mampu menjaga persaudaraan kemanusiaan (Ukhuwah Basyariyah), Persaudaran Kebangsaan (Ukhuwah Wathaniyah) dan Persaudaraan seiman (Ukhuwah Diniyah) di bumi Indonesia yang kita cintai ini, agar kita dapat hidup rukun dan harmoni. Sebagai semboyan kita, Bhinneka Tunggal Ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.