Jumat, 16 September 2011

PENGANTAR PERKAWINAN

Tema pernikahan atau membentuk rumah tangga islami adalah masalah yang
selalu hangat dibicarakan dan bahkan harus dibicarakan! Tentunya jangan
hanya dibicarakan dan difikirkan tapi di laksanakan .... InsyaAllah.
Dalam Islam pernikahan itu mempunyai nilai yang sangat suci, agung dan
sakral. Ijab kabul sebagai transaksi pernikahan merupakan ucapan yang
ringan dilafalkan tapi berat sekali tanggung jawabnya. Allah sendiri menyebut
ijab kabul itu sebagai ikatan yang kuat/kokoh (Mitsaqon Gholizho).
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." (QS. 4:21).
Dalam AlQur an Allah hanya dua kali menggunakan istilah perjanjian yang
kuat ini, pertama untuk pernikahan dan kedua untuk perjanjian dengan bani
Israil (di masa Nabi Musa As): "Dan telah kami angkat ke atas (kepala)
mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil
dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka: "Masukilah pintu
gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka:
"Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh." (QS. 4:154).
Setelah Ijab Kabul terucapkan, maka konsekwensinya:
1. Halal lah apa yang tadinya haram. Jangankan berpegang-pegangan, saling
pandang-pandangan saja sebelum menikah antara 2 jenis kelamin dilarang
oleh Islam. Tapi setelah ijab kabul, maka lenyaplah tabir tsb.
"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki.
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah
kabar gembira orang-orang yang beriman." (QS. 2:223)
2. Terjadilah pemindahan tanggung jawab seorang wanita dari orang tua/wali
ke suaminya. Sebelum menikah segala tanggung jawab seorang anak
terletak di pundak Ayahnya, setelah menikah maka kewajiban tsb
berpindah ke suami.
Suami harus memenuhi segala kebutuhan lahir bathin istri. Suami yang
akan di minta pertanggung jawabannya di akhirat kelak bagaimana ia
mendidik istri dan anak-anaknya. Seperti Hadist yang diriwayatkan oleh
Hakim: Manusia yang paling besar tanggung jawabnya kepada wanita ialah
suaminya.
3. Keihlasan seorang wanita dipimpin oleh suami dan taat pada suami.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka. Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang ta'at
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta'atimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." [QS An-Nisa' 4:34]
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi S.A.W beliau bersabda, seandainya aku boleh
menyuruh orang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku menyuruh
seorang istri bersujud kepada suaminya. (HR Turmudzi). Dari Ummu Salamah
ra. Berkata, Roaulullah bersabda: setiap istri yang meninggal dunia
sedangkan suaminya meredhoinya, niscaya ia masuk surga (HR Turmudzi)
Pernikahan dalam rangka membentuk rumah tangga yang islami merupakan
basis penting dalam perjalanan pembangunan ummat. Rumah tanga
merupakan organisasi terkecil yang bisa menjadi gambaran mikrokondisi
sebuah masyarakat.Ia juga merupakan pijakan kedua setelah pembinaan
individu muslim, dan wadah praktis untuk pengamalan-pengalaman syariat
Islam secara berkelompok dan terorganisasi.
Fungsi-fungsi dalam rumah tangga yang teratur dan terstruktur rapi disertai
semangat amanah dan tanggung jawab masing-masing anggotanya akan
menciptakan kondisi yang tentram dan di ridhai Allah S.W.T. Jika suami
sebagai qawwam (pemimpin) dan istri sebagai ribatul bait (pengatur ) rumah
tangga menyadari amanat tsb akan dipertanggung jawabkan di akhirat, maka
kecermelangan rumah tangga yang samara (sakinah, mawaddah, rahmah)
menjadi niscaya adanya..
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
(mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. 30:21)
Mawaddah dalam ayat diatas lebih berkonotasi ke fisik, tidak hanya masalah
kecantikan istri, ketampanan suami, kemolekan tubuh, tapi juga menyangkut
tingkat sosial, ekonomi, pendidikan dan peradaban. Karena Islam juga
memandang faktor ke-sekufu-an (selevel) merupakan salah satu faktor
kebahagiaan rumah tangga.
Semakin jauh perbedaan latar belakang kesekufuan ini akan sering terjadi
culture schok yang dapat menimbulkan perselisihan/percekcokan. Tapi bukan
berarti Islam melarang pernikahan antar si kaya dengan si miskin. Dalam
sejarah sahabat, hal ini terjadi pada kasus pernikahan sahabiyah Zainab
dengan Zaid yang Allah abadikan di dalam surat Al Ahzab (33) ayat 37.
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya:"Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah", sedang
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak Angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi." [QS Al-Ahzab
33:37].
Sedangkan Rahmah pada surat Ar Rum 21 diatas, adalah faktor kasih sayang
yang bersifat batiniyah, menyangkut kepahaman terhadap Dien (agama),
keimanan, akhlak, selera dan ideologi. Dan faktor-faktor ini sangat penting.
Pilihlah yang utama berdasarkan Diennya. Seperti hadist yang telah ita sering
dengar: Wanita itu dinikahi karena 4 perkara: karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan Dien nya. Maka dapatkan lah wanita yang memiliki Dien
(H.R Bukhari).
Bagaimana kita "menilai" calon pasangan agar bisa diketahui apakah pas
secara mawaddah dan cocok secara rahmah? .... ini yang penting yak ... :)
Saat ini masih banyak muslim melakukan taaruf (perkenalan) dalam rangka
penilaian calon pasangannya itu dengan cara budaya yang non-Islami:
BERPACARAN. Mungkin dengan pacaran akan diperoleh data-data yang
diperlukan, tapi karena ini bukan dari Islam, maka harus dihindari, dan
biasanya dalam masa berpacaran tsb, yang ditampilkan oleh masing-masing
adalah sifat ya ng baik-baiknya saja. Banyak kejadian (apalagi di Jerman) dua
orang yang telah bertahun-tahun berpacaran, tapi setelah menikah beberapa
saat kemudian bercerai dengan alasan tidak cocok.. Jadi bagaimana yang
islami? ...... hmmmmm ..... ;)
Allah telah memberikan solusinya, dalam surat Annur ayat 32 "Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. 24:32).
Ayat ini dikhususkan oleh orang-orang yang telah menikah. Nikahkanlah
.....berarti disini Allah sedang berbicara kepada orang-orang yang telah
menikah.
Dan mereka ini merupakan mediator untuk menciptakan media taaruf yang
islami. Di masa tempo doeloe, antar orang tua telah saling menpersiapkan diri
untuk saling menjodohkan anak-anaknya. Pada jaman sekarang cara tsb
akan dianggap kolot, feodal dan menghalangi kebebasan.
Sebenarnya ketidak cocokan ini karena adanya kesenjangan pemahaman,
bila pihak orang tua maupun anak ada keterbukaan, dan anak didik oleh
orang tua dengan nilai-nilai Islam sejak awal, maka anak akan percaya penuh
terhadap pilihan orang tua. Selain orang tua, guru ngaji atau teman yang
dapat dipercaya yang berakhlak baik dan sudah menikah dapat sebagai
mediator.
Walaupun begitu Allah telah membuat katub pengaman sebagai tolok
ukurnya "Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik,
an laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang di
tuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka
ampunan dan rezki yang mulia (yaitu surga)." (QS. 24:26)
Dalam ayat diatas Allah telah memilihkan wanita-wanita yang baik untuk lakilaki
yang baik, oleh sebab itu bagi yang ingin cepat menikah, maka harus
meningkatkan terus nilai keimanannya agar mendapatkan sesuai dengan
kualitas dirinya. Itu janji Allah. Sekian dulu dari salah, kalau ada salah kata
saya mohon ampun kepada Allah dan minta maaf pada rekan semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.