Selasa, 05 April 2011

الله الله الله ..................................

Allah.....Allah.....Allah....






Mendung masih menggelayut di langit kota Bandung, membuat suasana sore tampak mendekati senja hari. Tapi suasana ini tidak menyurutkan langkah para pembesuk pasien di ruang bedah untuk menjenguk dan memberikan semangat kesembuhan pada sanak keluarga mereka yang tengah dirawat, tergeletak menghitung hari demi hari.

Dan di kamar 2 kelas II ini, saya bersama 5 pasien lainnya, juga tak henti menerima orang yang berdatangan, layaknya tuan rumah yang kedatangan tamu. Hampir 3 hari setelah operasi "laminactomi" di vertebrae lumbal 5 di punggung saya, rasanya sakit masih menghujam disekujur tubuh. Jarum infus masih menancap di tangan saya. Tetes demi tetes cairan mengalir menemani rasa kesepian yang sering menyergap saya saat rasa sakit menyerang pada kedua kaki yang masih lumpuh.

"Bagaimana rasanya punggung kau hari ini Din? Opung liat, sepanjang hari ini kau gelisah kali." Sapa opung Hasan, pasien tetangga sebelah dengan logat Medannya yang kental. Hampir 2 minggu Opung yang ramah ini dirawat karena patah kaki dalam kecelakaan mobil.

"Masih sering sakit opung. Kaki kiri saya sampai sekarang masih nggak bisa di gerakkan" jawab saya pelan sambil melirik kaki kiri saya yang semakin mengecil karena atrofi otot. Sehari setelah operasi saya sempat stress dan histeris, karena shock menerima kenyataan bahwa saya harus mengalami lumpuh sementara, setelah operasi punggung. Sebelumnya kaki kiri ini tidak lumpuh. Penjepitan syaraf di punggung ternyata memang berpengaruh besar pada kondisi kaki. Tak terasa saya menghela nafas sambil membayang hari-hari yang menyenangkan bersama teman-teman saya, mengikuti kuliah-kuliah drg. Dede yang sangat saya senangi.

"Sabar ya Din. Waktu pertama kali di operasi, ibu juga begitu. Nanti juga nggak kok" tiba-tiba, ibu Sri, pasien tepat di sebelah kiri saya menyapa sambil tersenyum. Saya tersenyum merasa tersadar dari lamunan. Jujur saja, saya begitu trenyuh melihat kakinya yang tergantung pada alat traksi. "open fraktur" pada kaki kanannya menyebabkan kaki itu harus dipasang "pen". Sebuah proses bedah ortopedi yang sering saya pelajari di kuliah-kuliah ilmu bedah. Ibu Sri adalah pasien terlama di kamar 2 ini. Kecelakaan mobil membuat dia terlempar dari bangku depan sebuah angkot dan malang tak dapat ditolak, kaki kanan mengalami patah yang cukup parah. Pada saat terlempar, ibu Sri berkata bahwa cuma satu kata yang dia sempat teriakkan, yaitu "Allahuakbar". Subhanallah, tidak heran bila saat itu pula dia masih tetap memegang erat kerudungnya agar tidak terlepas karena terhempas di jalan yang beraspal. Allah, lindungilah dan beri kekuatan pada ora-orang seperti ibu Sri, tanpa sadar saya sering berdo'a saat sholat ditempat tidur saya.

Allahuakbar! Hampir jam 17.30! saya kaget melihat jam diatas dinding. Duh, kenapa Aba belum datang ya? Saya mencari-cari seraut wajah di depan pintu masuk. Tapi tetap belum kelihatan. Seharian sejak siang Aba dan emak pulang kekost-an untuk istirahat. Kasian Emak berhari-hari tidak tidur menjaga saya sejak operasi. Kerut-kerut diwajah nya semakin kelihatan, menandakan betapa Emak begitu memikirkan saya setiap saat.

"Emak dan aba pulang sebentar ya nak. Aba titip Dodo sama suster Susi ya" kata aba tadi pagi sambil menyibakkan anak-anak rambut dibalik kerudung saya. Saya tersenyum mengiyakan. "dodo", itu panggilan sayang emak dan aba yang sangat saya senangi.

"Tapi nanti malam aba yang jaga khan?" tanya saya mengharap.

"Iya, emak istirahat dulu di kost-an dodo. Besok baru kesini lagi ya" jawab emak. Duh, Allah..kalau ingat kamar kost saya, rasanya sangat tidak layak buat emak yang biasa berlari-lari antara satu ruangan keruangan lain di rumah kami di kampung. Tapi, memang mungkin sudah kehendak Allah, mungkin dengan cara ini kami sekeluarga diuji kesabaran dalam kesakitan.

Waah! Hampir jam 6 sore! saya tersadar dari lamunan dan semakin gelisah. Entah kenapa, ruang putih ini rasanya begitu mengkungkung saya jam demi jam. Apakah karena saya terbiasa berlari-lari dari satu kuliah kuliah yang lain atau dari satu praktikum ke praktikum yang lain, sehingga mendekam di kamar kotak seperti berada di penjara. Satu-satunya yang dapat mengobati kesepian saya adalah Aba. Ya, aba yang sabar, aba yang tenang dan aba yang mendengarkan semua obrolan saya tentang koran yang saya baca baca atau tentang kondisi pasien di sekeliling saya, atau juga tentang mimpi-mimpi saya setelah sembuh nanti.

Bagi saya, aba adalah ayah yang tau segalanya, sehingga saya tidak pernah bosan dijaga dan berada disampingnya. Dalam keadaan sesakit apapun, aba tetap tenang dan menghibur saya untuk tetap kuat dan sabar. Bersama emak setiap pagi aba melatih saya berjalan disekeliling koridor. Kadang dalam hati saya sering menangis, merasa bahwa saya telah banyak menyusahkan. Tapi dengan segera perasaan itu juga hilang seketika, saat menatap wajah tulus mereka yang tidak pernah terkesan lelah. Apakah ini yang disebut dengan "never ending love"? Anak adalah darah daging orang tua. karena sebuah cinta kasih maka kita hadir kedunia ini. Sebanyak apapun kita beri harta sebagai balas budi kita pada mereka, rasanya memang tidak pernah sebanding dengan segala kecemasan, perhatian dan limpahan kasih sepanjang hidup kita. Memang, akhirnya kata Allah juga, bahwa hadiah terindah dan balasan terbaik untuk orang tua kita adalah setulus dan selaksa do?a dari kekuatan iman yang kita bina agar dapat menyampaikan segala harapan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi mereka, dengan sebuah kekuatan ruhiyah yang menggelora. Betapa indahnya, maka hendaknya kita selalu menyertakan mereka dalam do'a shalat kita yang penuh makna.

"assalamualaikum," tiba-tiba suara yang sangat saya kenal terdengar dari arah pintu.

"waalaikum salam..aba!" seru saya tidak bisa menyembunyikan kelegaan.

"Naah, itu yang kau tunggu-tunggu sudah datang Din! Waah, anak kau ini sudah gelisah kali rupanya Pak. Tampaknya dia takut, sebentar lagi "pembantaian akan dimulai" seloroh Opung Hasan menyambut aba.

"Kenapa Nak? Tadi nggak apa-apa kan? Pembantaian apa Opung?" tanya aba cemas,berjalan ke arah ranjang sambil menaruh barang-barang bawaan di atas meja.

"Nggak Ba, Opung becanda aja. Itu lho Ba, sebentar lagi khan waktunya Suster Susi datang." Sahut saya dengan sedikit nada takut. Tidak heran memang kalau Opung bilang "pembantaian", sebab kunjungan suster Susi setiap sore kekamar kami selalu membawa suasana pilu bagi saya dan semua penghuni kamar.

suasana pilu itu terjadi karena kami begitu sedih mendengar teriakan kesakitan dari Ibu Sri, setiap kali kakinya dilepaskan dari alat traksi oleh suster susi. Sebagai suster kepala saya tau, bahwa Suster susi wajib membersihkan dan mengganti verban pebalut luka dikaki Ibu Sri, dan untuk melakukan itu, maka terpaksa kakinya yang patah harus diangkat dan dibolak-balik sedemikaian rupa agar hasil terbaik bisa dicapai. Maka bisakah sahabat membayangkan bagaimana sakitnya bila dua patahan tulang pada kaki itu saling bergesekan dan menghujam luka yang menganga? Subhanallah, teriakan dan lolongan "Allahu akbar" membawa suasana sedih sekaligus mengharukan bagi kami. Tanpa sadar kami para pasien saling komat-kamit berdo'a agar "prosesi" ini dapat dihadapi dengan tabah oleh Ibu Sri. Dan yang paling saya kagumi adalah sang suami yang dengan sabar membujuk, menyabarkan dan membantu Suster Susi dengan cekatan. Belahan jiwa, begitulah seorang suami seharusnya. Sakitnya istri adalah sakit dia juga, sehingga timbul sebuah empati sepenuh jiwa tanpa harus banyak berkata-kata.

"Selamat sore semuanya" suara Suster Susi seperti memecah keheningan ruangan. Reflek wajah saya menoleh pada seperangkat alat bedah dan suntik serta deretan antibiotik berikut analgetik di atas meja dorong stainless steel. Wajah ibu Sri saya lihat mulai pucat pasi. Kami tidak ada lagi yang bernafsu untuk bercanda. Suster yang sabar mulai mengganti verban pasien satu persatu dan memberi mereka nasehat-nasehat. Dan dengan sabar juga dia melakukan "prosesi" Ibu Sri disaksikan semua pasien yang saling menahan nafas kecemasan.

"Nah, sekarang giliran putri saya yang mungil ini. Siap? Kita suntik dulu ya?" dengan senyum suster mulai menyiapkan satu botol amoxan dan pelarutnya, saat kereta obat sudah nangkring di depan ranjang saya. Aba spontan memegang tangan saya yang di infus sambil mengelus pembuluh darah yang menonjol seolah menenangkan saya. Jujur saja, setiap obat ini disuntikkan lewat infus, sakit yang amat sangat mengalir ke sekujur tangan dan jari saya. Allah, kalaulah boleh saya meminta pada suster agar beliau tidak menyuntik, maka akan saya paksa. Tapi, saya sangat mengerti bahwa ini adalah prosedur kesembuhan yang harus saya lewati. Ikhtiar adalah usaha yang mesti kita jalani, sebagai pengiring do'a kita pada Allah, Sang Maha pemberi Kesembuhan.

"Ba, Dodo takut?" tanpa sadar kata itu keluar dengan nada gemetar, nyaris menangis. Ah, terbayang sakit sebentar lagi menyerang saya.

"tenang ya Nak, cuman sebentar ko? Dodo khan mau sembuh. Bener khan suster?" ucap aba sambil tetap mengelus tangan saya yang semakin kurus.

Suster Susi hanya tersenyum, dan....

"Aakkhhh, Allahuakbar! Ya allah, sakit sekali Ba" amoxan mulai disuntikkan ewat infus. Panas dan bara rasa menjalar disekujur tangan. Dengan tetap tenang, aba memijat tangan saya yang mulai membengkak. Tanpa terasa air mata saya menetes di kerudung. Suasana kamar begitu hening.

"Sabar ya Nak." Aba mengusap tetes air mata itu.

Saya mengangguk perlahan. Suster susi meninggalkan ruangan dengan kereta obatnya. Pelan-pelan panas itu menghilang, seiring dengan mata saya yang mulai memberat. Lemas sekujur tubuh membuat saya pasrah tak bergerak. Aba tetap mengelus tangan saya sambil membaca koran. Saat adzan maghrib tiba, mata saya bergerak kesana kemari. Shalat bagi saya sekarang memang hanya mampu dengan mata saja.

"Sudah, sekarang tidur ya. Tangannya jangan banyak digerakkan, supaya tidak bengkak." kata aba sambil merapikan selimut saya.

Saya cuma bisa mengangguk. Entah kenapa rasanya malam ini punggung dan kaki saya lebih sakit dari kemarin. Tidak ada satu posisipun yang enak buat saya memejamkan mata barang sejenak. Tapi saya paksa juga. Sekilas saya masih sempat melihat aba yang sibuk berdo'a.

Menit demi menit berlalu. Saya masih belum bisa memejamkan mata. Bahkan sakit itu rasanya semakin menusuk. Ya Allah, berilah hambamu kesempatan barang sejenak saja untuk terlepas dari rasa sakit ini, agar hamba bisa istirahat, hati saya sibuk berdo'a. Seperti sejuta sembilu, kedua kaki saya rasanya disayat-sayat dan dibebani oleh batu yang begitu berat. Semakin membuat panik karena keduanya tak dapat saya gerakkan. Tubuh seperti terhempas begitu saja tanpa saya punya daya untuk menggerakkannya.

"Adduuh, sakit Ba, sa..sakit sekali, dodo nggak kuat ba!" tak sanggup saya menangis lirih.

Aba memijat kedua kaki saya dan membelai kening saya yang penuh keringat.

"Tahan ya Nak. Nanti juga hilang. Tadi khan sudah minum obat" jawab aba lembut.

Tapi sakit ini tidak bisa kompromi. Semakin terasa menusuk tulang, seolah sembilu tersayat disana.

"Aaghh, do..Dodo nggak kuat Ba. Nggak kuat. Tulang rasanya linu, dodo..dodo... rasanya pengen mati aja ba, nggak tahan" air mata saya tak terasa menetes, rasanya saya sudah tidak sanggup lagi. Jarum infus mulai bergeser membuat tangan saya membengkak dan biru lebam. Slang kateter turut bergeser membut sakit semakin bertambah. Keringat dingin membasahi sekujur badan saya. Bibir rasanya perih karena saya sibuk menggigit menahan rasa sakit yang semakin tajam.

"Jangan bilang begitu Nak. Dodo tidak boleh putus asa."

"Panggilin dokter Ba! Panggilin dokter! Duuuh, Dodo pingin disuntik penahan sakit, tolong Ba, panggilin susteeer! dodo nggak kuat lagi, masya Allah!"

"Iya..iya, tapi Dodo sabar ya. Aba panggil dokter dulu"

Segera aba bergegas menuju ruang dokter. Ya Rabb, kasih sayang dalam ketenangankah ini? Sehingga aba menghadapi segala protes saya dengan tenang. Saya teringat emak. Andaikan saja emak ada, mungkin suasana akan lebih heboh. Emak adalah simbol kasih sayang yang lain bagi saya. Kasih sayang dalam kecemasan. Sebuah empati yang mengharukan, amat sangat. Walaupun kasih sayang seperti ini tetap perlu ditenangkan oleh seorang yang lebih tenang tentunya.

"kenapa gadis kecil ibu? Kesakitan ya? Hmmm..sekarang ibu coba suntik langsung di kakinya ya. Barusan dikasih obat sama dokter" tiba-tiba aba dan suster susi sudah berdiri disamping saya. Saya cuma bisa mengangguk lemah. Jarum suntik itu ditancapkan di kedua kaki saya, dan obat itu mengalir seketika. Dari sampulnya saya tau bahwa itu adalah ampul analgetik dosis tinggi, yang jarang diberikan kecuali "emergency".

"sekarang tidur yang nyenyak. Besok ibu kesini lagi" suster susi pun meninggalkan ruangan.

Saya tak mampu menjawab. Hanya mampu menatap dua kaki saya yang tak bergerak. Tanpa sadar saya mengerang kesakitan. Entah kenapa saya rasanya ingin protes pada keadaan. Saya rasanya merasa begitu disengsarakan. Erangan kesakitan saya tiba-tiba menjadi tangis dalam kekesalan. Tatap nanar saya mencari-cari aba disudut ranjang, seolah-olah berkata "Ba, kenapa bisa sesakit ini? Kenapa begitu berat?? Kenapa harus saya? Bukankah saya punya begitu banyak hal yang ingin dikerjakan? Bukankah saya selama ini tidak pernah menyakiti siapapun? Kenapa? Kenapa harus saya?"

Aba tiba-tiba menangkap "protes" saya, dan dengan lembut aba membelai kening saya.

"Nak, aba tau Dodo sakit. Tapi, coba deh Dodo renungkan, bukankah memang dodo harus melewati tahap sakit seperti ini setelah operasi? Dodo pasti belajar itu dalam kuliah khan??"

Saya mengangguk perlahan, bulir air mata masih menetes.

"Operasi itu tidak mungkin langsung sembuh. Kalau dodo lagi menghadapi kondisi ini, maka dodo harus tanamkan terus dalam hati bahwa, besok dan besok lagi kondisi pasrti akan lebih baik. Semakin dikasih obat, luka dodo akan semakin sembuh. Sakit akan berangsur hilang. Bayangkan dan jadikan itu semangat, sehingga dodo akan merasakan bahwa sakit itu justru jadi rahmat buat dodo"

"rah..rahmat Ba? Ta..tapi..sulit rasanya.." saya masih protes.

"Lho, semakin dodo tabah, dan sabar dalam sakit, maka itu bearti dodo sedang menghadapi jihad. Keyakinan untuk sembuh dan berusaha untuk sembuh serta selalu membersihkan hati dari perasaan "marah" sama Allah, itu merupakan jihad kita dalam kesakitan, Nak. Dan dalam sakit kita akhirnya justru mendapatkan pahala" sambung aba lagi. Deg! Seperti ditampar rasanya muka ini. Seorang Aba yang bukan aktifis dakwah sama sekali ternyata berkata sesuatu yang seharusnya ada dalam benak dan jiwa saya. Tangis saya tiba-tiba berhenti. Aba menyeka kedua pelupuk mata saya dengan penuh kasih.

"Sekarang Dodo ikuti kata-kata aba ya..Allah..Allah, Allah" aba mengucapkan "Allah" berulang-ulang didepan saya.

"Allah, Allah, Allah." saya mengucapkan kata itu, tanpa terasa tangan saya menggenggam jemari aba begitu erat. "Allah, Allah, "Allah..Allah..Allah" air mata penyesalan saya mengalir deras. Ya Allah, ampuni saya. ternyata memang manusia itu lemah, tapi kadang kita "malu" buat mengakuinya. Malu itu bisa muncul dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk penyelewengan, penipuan, pemerasan dan seperti sekarang yang baru saya hadapi, kelemahan karena minimnya ketabahan dan keyakinan akan ujian dari Allah.

"jangan mengucapkan kata "aduh" ya Nak. Dalam sakit, sesakit apapun, dodo harus tetap mengucapkan nama Allah. Insya Allah, sakit dodo akan mendapatkan rahmat".

"iya Ba" tangan saya menggenggam semakin erat. "Allah, Allah, Allah." saya terus bergumam tanpa henti. Subhanallah?tidak ada lagi fikiran kesakitan dalam benak saya. Rasa sakit justru terasa sebuah hempasan nikmat, karena membuat saya semakin khusyu? mengucap nama-Nya. Perlahan mata saya pejamkan. Aba melepaskan genggaman saya perlahan. Dan menggelar sajadah di sudut ranjang. Dalam kantuk yang mulai memberati mata, sekilas saya pandang aba yang menengadahkan tangannya berdo?a dan saya yakin pasti ada do?a buat saya dalam keteduhan hati nya dan kehangatan cintanya sebagai seorang ayah. Tanpa sadar saya pun bergumam lirih "Allah, berikanlah rahmat-Mu pada Aba dan emak. Bahagia dunia dan akhirat. Rabbighfirli waliwadaiiya warhamhuma kamaraobbayani saghira". Amiin. "Allah..allah.. Allah..Allah....Allah." saya terus "mengobati" kedua kaki saya. Opung dan Ibu Sri telah lelap dalam tidur mereka. Insya Allah, besok pasti lebih baik dari hari ini. Saya yakin itu. Dan malam pun semakin beranjak ke peraduannya. (Diana Gustinawati)

kosakata:
Aba : ayah
Laminactomi : operasi pengambilan sebagian tulang belakang (lamina)
Atrofi otot : pengecilan ukuran otot karena lama tidak berfungsi
Open fraktur : patah tulang yang menyebabkan sobeknya otot sekitarnya
Pen : alat untuk menyetukan dua tulang yang terputus
Bedah ortopedi : bedah tulang
Dodo : panggilan untuk anak kedua perempuan
Traksi : alat untuk menarik atau memfiksasi tulang pasca operasi agar tidak bergerak
Amoxan : antibiotik serbuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.