Oleh : Ust. Muafa
Metode terjemah “utawi iki iku” disebut juga “metode terjemah gandul” (MTG) atau “hanging translation method”, atau “Thoriqoh At-Tarjamah Al-Wazhifiyyah Al-Mu’jamiyyah Al-Mu’allaqoh”.
Penciptanya nampaknya tidak memberi nama khusus metode ini. Praktikan dan sebagian akademisi-lah yang memberikan nama dan istilah untuk metode ini agar mudah dipersepsikan dalam pembicaraan ilmiah.
Metode ini sangat terkenal di pesantren dan diadopsi menjadi metode resmi untuk mengajarkan kitab-kitab berbahasa Arab “gundul” (yang tidak berharokat) atau yang lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”. Popularitas metode ini bukan hanya di pesantren Jawa tetapi juga di Sunda, Madura, dan Melayu secara umum.
Sejarah awal kemunculan dan perkembangannya sampai hari ini masih sulit dipastikan, terutama terkait; siapa penciptanya, apa bahasa pertama yang dipakai, dan kapan pertama kali metode ini diciptakan?
Ibnu Burdah dalam “Journal of Indonesian Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, vol.5 no.2 tahun 2011” mencoba menelitinya, tapi tetap memberi catatan bahwa hasil penelitiannya bukan jawaban final. Masih terbuka untuk penelitian lebih lanjut dan lebih dalam.
Semua teori dan informasi yang menyebut nama secara lugas siapa pencipta metode ini (seperti menyebut penciptanya adalah syaikh Nawawi Al-Jawi atau Syaikh Sholeh Darat) adalah informasi yang baru mencapai taraf “takhmin”/spekulasi karena tidak didukung argumentasi, dokumen dan bukti yang bisa diterima.
Laporan Martin Van Bruinessen menyebut bahwa pada Abad 16 M sudah ada naskah kitab pesantren yang memakai metode ini dan dikirim ke Eropa. Jika informasi ini benar, hal ini menunjukkan bahwa metode ini sudah ada sebelum abad 16 M. Artinya, sebelum era syaikh Nawawi Al-Jawi metode ini sudah biasa digunakan di pesantren.
Metode terjemah “utawi iki iku” termasuk salah satu fenomena menarik di negeri ini, terutama ketika kita berbicara penyebaran Islam dan bahasa Arab di negeri yang bahasanya sangat beragam ini. Barangkali di negeri-negeri lain di dunia Islam yang awalnya tidak berbahasa Arab, waktu itu Islam dan bahasa Arab juga disebarkan dengan cara yang mirip dengan apa yang dipraktekkan di Indonesia, yakni dengan memakai bahasa lokal dengan kekhasan masing-masing.
Inti dari metode terjemah ini adalah teknik menerjemah memakai bahasa Jawa (untuk pesantren jawa) yang bukan hanya menerjemahkan kata Arab tetapi juga menerjemahakan unsur nahwu dan shorof yang terkandung dalam teks secara detail dan rinci. Unsur tersebut diungkapkan dengan bahasa yang bersifat khas dan dibakukan.
Ciri utama metode ini adalah penulisan bahasa target (“target language”/TL, dalam konteks ini adalah bahwa Jawa) langsung di bawah bahasa sumber (“source language”/SL) secara menggantung dan miring dengan tulisan Arab pegon. Cara ini secara fisik akhirnya membentuk penampilan terjemahan antar baris yang membuat tampilan tulisan kitab menjadi penuh dan terkesan padat. Karena itulah metode ini dinamakan juga metode terjemah “gandul”, karena “gandul” dalam bahasa Jawa bermakna “menggantung”.
Ciri lain metode ini adalah dalam menerjemah, unsur yang diterjemahkan bukan hanya makna leksikal (ma’nan mu’jami) tetapi juga makna fungsional (ma’nan wazhifi). Bahkan juga kadang memasukkan tafsir lafaz-lafaz tertentu.
Jika bahasa yang dipakai untuk menerjemah adalah bahasa Jawa, maka bahasa Jawa yang dipakai sedikit berbeda dengan yang biasa dipakai sehari-hari. Seakan-akan bahasa Jawa yang dipakai untuk metode terjemah ini sudah menjadi bahasa Jawa yang khas pesantren dan dipahami hanya oleh kalangan pesantren.
Metode ini memang secara brilian “menitipkan” konsepsi-konsepsi sintaksis/nahwu/i’rob maupun konsepsi-konsepsi morfologis beriringan dengan terjemahan kata. Artinya, orang yang belajar bahasa Arab dengan metode ini secara otomatis dia juga belajar konsepsi gramatikal Arab sekaligus. Kemudian, melalui “gempuran” ngaji kitab kuning setiap hari dengan sekian banyak macam kitabnya, santri di “drill” habis-habisan mempraktekkan pemahaman konsepsi gramatikal itu dalam teks praktis yang dipelajari. Dengan cara ini santri memang akhirnya “dipaksa” belajar untuk memahami sehingga lama-lama menguasai juga.
Istilah-istilah yang dipakai untuk mengngkapkan konsepsi sintaksis (nahwu/i’rob) dan morfologi (shorf) bersifat khas. Jika bahasa target yang dipakai menerjemah adalah bahasa Jawa, istilah dan simbol yang dipakai untuk menjelaskan fungsi gramatikal sebuah kata pada saat menerjemahkan bisa dicontohkan dan diberi gambaran sebagai berikut,
“utawi” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “mubtada’”, simbolnya (م)
“iku” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “khobar”, simbolnya (خ)
“sopo” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “fa’il ‘aqil”, simbolnya (سف)
“opo” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “fa’il ghoiru ‘aqil”, simbolnya (ف)
“ing” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “maf’ul bih”, simbolnya (مف)
“kerono” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “maf’ul li -ajlih”, simbolnya (ع)
“kelawan” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “maf’ul muthlaq”, simbolnya (مط)
“apane” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “tamyiz”, simbolnya (تم)
“haleh” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “hal”, simbolnya (حا)
“rupane” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “badal”, simbolnya (بد)
“bayane” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “bayan“, simbolnya (ب)
“ing dalem” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “zhorf”, simbolnya (ظ)
“kang” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “na’at/shifat”, simbolnya (ص)
“mongko” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “jawab”, simbolnya (ج)
“ora” untuk menjelaskan posisi kata sebagai “nafi”, simbolnya (نف)
“piro-piro” untuk menjelaskan kuantitas kata yang bermakna “jamak”, simbolnya (ج)
dan lain-lain.
Sekilas dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa metode ini tentu saja akan cocok untuk orang yang asli Jawa atau mengerti bahasa Jawa. Orang yang tidak mengerti bahasa Jawa akan bekerja dua kali; belajar bahasa Jawa dan belajar bahasa Arab. Hal ini bisa membuat waktu belajar lebih lama lagi.
Barangkali metode ini akan lebih efektif dan efisien jika sebelum diajarkan ke santri mereka dibekali dulu dengan materi pengantar yang memberikan gambaran sejarah metode ini secara sekilas, penjelasan makna istilah, penjelasan nahwu-sharf dasar, hubungan dengan cabang-cabang ilmu bahasa Arab dan semisalnya.
Metode ini juga bisa dikembangkan lagi lebih bagus dengan mengkaji kelemahan-kelemahannya, lalu diperbaiki dengan memanfaatkan ilmu-ilmu lingusitik terbaru dan hasil-hasil penelitian kebahasaan.
Sebagai penutup, kita mencoba menganalisis satu ayat dalam surah Al-Fatihah agar memperoleh gambaran bagiamana metode ini digunakan. Contoh ini kita petik dari kitab tafsir “Al-Ibriz” karya Kyai Bisyri Mushthofa dari Rembang.
الحمد لله رب العالمين
Terjemah:
أتوي سكابيهني فوجي إيكو كاكوغاني الله تعالى كغ مغيراني ووغ عالم كابيه
“Utawi sekabehane puji iku kagungane Allah kang mangerani wong alam kabeh”
Kata “utawi” adalah penanda bahwa kata “al-hamdu” berposisi sebagai “mubtada’”. Kata “sekabehane” yang bermakna “seluruhnya” adalah terjemahan “alif lam istighroqiyyah” yang melekat pada kata “al-hamdu”. “Alif lam istighroqiyyah” memang bermakna mencakup semua jenis makna kata yang dilekati. Karena “hamdun” bermakna puji, maka ketika dilekati “alif lam istighroqiyyah” maknanya adalah “segala macam dan jenis puji”. Kata “puji” adalah terjemahan “hamdu”.
Kata “iku” adalah penanda bahwa kata sesudahnya yaitu “lillahi” berposisi sebagai “khobar”. Sebagian kyai kadang-kadang menambai terjemahan “tetep” setelah kata “iku”. Terjemahan “tetep” di ambil dari “khobar mahdzuf muta’alliq” dengan “harf jarr” sesudahnya. Khobar mahdzuf itu boleh diperkirakan lafaz “istaqorro” atau “mustaqirrun”
Kata “kagungane” adalah adalah terjemahan dari harf “lam istihqoqiyyah” yang melekat pada kata “lillah”. Kata “kang” menandai bahwa kata sesudahnya yaitu “robbi” berposisi sebagai na’at/sifat. Kata “mengerani” adalah terjemahan dari kara “robb”. Kalimat “wong alam kabeh” adalah terjemahan “alamina” yang sekaligus mengandung konsepsi “jamak mudzakkar salim”.
Contoh terjemahan ini tentu saja tidak harus kaku dengan kata-kata persis seperti ini. Dalam versi lain bisa jadi ada sedikit variasi, penambahan dan pengurangan. Hanya saja perbedaan tersebut tidaklah esensial, hanya berbeda di level kedetailan, pilihan kata terjemah dan penambahan makna tafsir saja.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari bahasa Arab dari nol sampai sanggup membaca, memahami dan menerjemahkan teks-teks tidak berharokat dengan memakai metode ini?
Hanya anak pesantren yang lama mondok yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Yang jelas, saya pribadi kebetulan takdir membuat saya tidak memakai metode ini untuk belajar bahasa Arab. Bukan apa-apa, hanya karena kisah hidup yang memang tidak memungkinkan ke pesantren. Metode yang saya gunakan adalah metode yang saya namai metode MUNTAHA dan sudah pernah saya buatkan tulisan ringan di sini;
klik...
Tulisannya
Semoga Allah merahmati ulama yang menciptakan metode terjemah gandul itu. Kreatifitas beliau jelas bermanfaat selama ratusan tahun, terbukti mampu melahirkan kyai-kyai/ulama-ulama berkualitas di nusantara, dan membentuk satu kultur ilmiah pesantren yang khas yang bermanfaat bagi dakwah Islam di negeri ini.
Copyright © 2016 IRTAQI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.