Memasuki abad 21, masyarakat dunia
mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam
pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi
kesehatan dan ramah lingkungan.
Gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature”
telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan
kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh
dalam produksi pertanian. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi
dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.
Pertanian organik adalah teknik
budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan
kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk
pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan
konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah
melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian
harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi
tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling
attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk
pertanian organik dunia meningkat pesat.
Indonesia memiliki kekayaan
sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah,
serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian organik sangat
besar. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, oleh
karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada
tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan
ekspor.
Peluang Pertanian Organik di
Indonesia
Luas lahan yang tersedia untuk
pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat
digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah
untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut agar lahan
yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai
aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan,
tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah
diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia.
Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu
sekitar 2 tahun.
Volume produk pertanian organik
mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar
internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti
Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih
banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan
Korea.
Potensi pasar produk pertanian
organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah
ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada insentif
harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2) perlu investasi
mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril
dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan
memproduksi komoditas tersebut.
Areal tanam pertanian organik,
Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa,
Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan
1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika
masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar (Tabel 1).
Sayuran, kopi dan teh mendominasi pasar produk pertanian organik internasional
di samping produk peternakan.
Tabel 1. Areal tanam pertanian
organik masing-masing wilayah di dunia, 2002
No. Wilayah Areal Tanam (juta ha)
1. Australia dan Oceania 7,70
2. Eropa 4,20
3. Amerika Latin 3,70
4. Amerika Utar 1,30
5. Asia 0,09
6. Afrika 0,06
Sumber: IFOAM, 2002; PC-TAS, 2002.
Indonesia memiliki potensi yang
cukup besar untuk bersaing di pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal
ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain : 1) masih banyak
sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian
organik, 2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia
seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan
lain-lain.
Pengembangan selanjutnya pertanian
organik di Indonesia harus ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar global.
Oleh sebab itu komoditas-komoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan
seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera
dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar
kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak
memiliki merek dagang.
Pengembangan pertanian organik di
Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan baru, karena sistem ini hampir
sama halnya dengan pertanian intensif seperti saat ini. Kelembagaan petani
seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat relevan.
Namun yang paling penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat posisi
tawar petani.
Pertanian Organik Modern
Beberapa tahun terakhir, pertanian
organik modern masuk dalam sistem pertanian Indonesia secara sporadis dan
kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi bahan pangan yang
aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara
umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak
dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian
pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi
kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia
dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang.
Dalam sistem pertanian organik
modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan oleh negara-negara
pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus
dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan
kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya.
Banyaknya produk-produk yang
mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat
keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi
menjadi dua kriteria yaitu:
a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa
pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk
kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable
Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida
sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran,
maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk
oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak
lain yang terkait.
b) Sertifikasi Internasional untuk
pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya
sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk
organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi
persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Beberapa komoditas prospektif yang
dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Indonesia antara lain
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan,
(Tabel 2). Menghadapi era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang
diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke
pasar internasional.
sumber: wahana bumi hijau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.