Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum
matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan
oleh para Ulama Muhadditsin,
Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak
sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak
pembagiannya.
Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan
berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita
dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama
Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa
berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan
hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi
81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya
dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan
hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang
mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada
hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada
matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu
dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita
menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan
(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai
ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan
keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku
maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari
hadits no.110),
Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama
seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap
mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif
berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan
ucapan Rasul saw.
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman
Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka
membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan
tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila
mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman
dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka
ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang
mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai
derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits
berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya
sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum
matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?.
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300
ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut
- Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah,
dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan.
(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al
Atsqalaniy).
Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal
1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii
rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii
lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari
lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian
kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam
syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii
sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi
Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan
pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka
menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya,
seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi
fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami
dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah
berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah,
memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini
sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.
Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan
buku buku, karena
buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam
terdahulu,
bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa
buku yang
ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan
fatwa-fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan
rujukan untuk
merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan.
Sungguh buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si
penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad
bin
Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu
berapa luas
pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam
Ahmad
dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini,
bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta
hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad
haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits
yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan
Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat
tertuliskan?, mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan
saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan
pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan
waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya
cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin
10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi
sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak
ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada
pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.
Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya
(talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada
pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun
paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci
dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah
akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu
berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana
ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari
gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti
selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia
mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw.
Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada
buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak
berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang
bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang
penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak
sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yang
demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu
diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu
sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat
hukum semaunya.
Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang
membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam
hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau
berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan
Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya
salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya.
Sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru
bagaikan orang yang mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa
pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul
Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin,
maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula
Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun
tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul
Qadir juz 1 hal 433)
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan
menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati
dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus
hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu
mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk
diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka
dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para
Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih,
tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh
diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan
yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw,
namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya,
Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf :
“dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah
terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”.
sumber: klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.