بسْم
اللهِ الرَّحمن الرَّحيْم
MUQADDIMAH
Golongan
Wahhabiyah adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Muhammad ibn
Abdul Wahhab ini mulai menyebarkan pengaruh sekitar tahun 1143 H. Ia
menyebarkan faham-faham yang ia klaim bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagian faham-faham tersebut ia ambil dari bid’ah-bid’ah Ibnu Taimiyyah.
Banyak di antara guru Muhammad ibn Abdul Wahhab di Madinah yang berkata: “Dia
ini akan sesat atau dengan (sebab) dia, Allah akan menyesatkan orang yang Ia
kehendaki”. Dan demikianlah kenyataannya.
Para ulama di seluruh penjuru dunia, dari dulu hingga sekarang, banyak yang
telah membantah faham-faham yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ini. Di
antara mereka adalah salah seorang guru besarnya sendiri; Syekh Muhammad bin
Sulaiman al-Kurdi, penulis Hawasyi Syarh Ibn Hajar ‘Ala Matn Ba Fadlal.
Bahkan saudara kandungnya; Syekh Sulaiman ibn Abdul Wahhab sangat mengingkari
faham-fahamnya, hingga beliau menulis
dua risalah bantahan terhadapnya; As-Shawaiq al-Ilahiyyah Fi ar-Radd ‘Ala
al-Wahhabiyyah dan Fashl al-Khithab Fi ar-Radd ‘Ala Muhammad ibn Abdul
Wahhab. Para ulama Hijaz, Syam, Mesir, Maroko, Yaman dan negara-negara
timur dari kalangan madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali telah banyak
menulis bantahan terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab. Seorang Mufti madzhab
Hanbali di Mekah, Syekh Muhammad ibn Abdillah an-Najdi al-Hanbali (W 1295 H),
dalam karyanya as-Suhub al-Wabilah ‘Ala Dlara’ih al-Hanabilah dalam
biografi ayah Muhammad ibn Abdul Wahhab menulis bahwa antara ayah dan anak
-yang bahaya gerakannya ini cukup meluas-, terdapat perbedaan yang sangat jauh.
Dan bahwa ayahnya; Abdul Wahhab sangat marah kepada anaknya; Muhammad karena ia
tidak mau mempelajari ilmu fiqh seperti para pendahulunya. Ayahnya berfirasat bahwa
kelak dari anaknya ini akan muncul perkara buruk, karena itulah ia mengingatkan
banyak orang: “Kalian kelak akan melihat dari Muhammad suatu keburukan”.
Faham ekstrim Muhammad bin Abdul Wahhab ini kemudian diikuti oleh sebuah
kelompok kecil, mereka mengkafirkan orang-orang Islam dan menghalalkan darah
setiap orang yang menyalahi mereka. Kelompok ini tidak lain hanyalah kelompok
sempalan yang sangat sedikit jumlahnya dibanding mayoritas umat Islam yang
merupakan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Namun begitu mereka berupaya untuk
mengelabuhi dengan mengklaim bahwa mereka adalah kelompok mayoritas dan bahwa
yang berseberangan dengan mereka hanya kelompok kecil. Padahal realita
berbicara sebaliknya.
Golongan ini banyak membuat kekacauan di antara umat Islam dalam banyak masalah. Di
antaranya masalah menghadiahkan bacaan al-Qur’an bagi orang-orang Islam yang
telah meninggal, mereka menyebarkan faham bahwa bacaan tersebut tidak akan
sampai. Lebih dari itu mereka memandang bid’ah sesat perbuatan tersebut bahkan
mangkafirkan pelakunya. Na’udzu Billah.
Maka kami menyusun risalah ini yang
memuat banyak dalil dari hadits, atsar para sahabat , tabi’in ,atba’ at-Tabi’in
dan generasi salaf secara umum serta pernyataan para ulama dari empat madzhab
dan dari madzhab Hanbali secara khusus yang membolehkan membaca al Qur’an untuk
mayit muslim. Sekaligus hal ini sebagai bantahan terhadap kelompok Wahhabiyah;
yang mengaku mengikuti mazdhab Hanbali, padahal mereka mengharamkan hal
tersebut dan memandangnya sebagai bid’ah
sesat.
Kaum muslimin yang menghadiahkan bacaan al-Qur’an bagi saudara-saudara
mereka yang telah meninggal menurut golongan Wahhabiyyah tidak lain hanyalah
pelaku kemunkaran-kemunkaran besar. Padahal sebetulnya apa yang dilakukan kaum
muslimin tersebut adalah apa yang juga dilakukan oleh para sahabat nabi,
tabi’in dan orang-orang setelah mereka.
Kaum Wahhabiyyah ini selalu
mengambil faham-faham yang ganjil, menyempal dan menyimpang. Mereka
meyakini tajsim (meyakini Allah berbentuk) dan tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhlukNya) yang mereka ambil dari buku-buku Ibnu Taimiyyah.
Buku-buku yang mereka cetak adalah saksi bagi keyakinan mereka ini, bahkan
mereka dikenal selalu mencetak dan menerbitkan buku-buku yang menyeru kepada al
Watsaniyyah (penyembahan berhala) dan al-Jahiliyyah al-Ula yang
mereka bungkus dengan nama aqidah Salaf. Para ulama salaf sendiri terbebas dari
apa yang meraka yakini dan mereka suarakan. Inna Lillah Wa Inna Ilaihi
Raji’un.
Bagian Penelitian
Dan Studi Keislaman
Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah
(SYAHAMAH)
BAB I
DALIL AHLUSSUNNAH TENTANG KEBOLEHAN
MENGHADIAHKAN PAHALA BACAAN AL-QUR’AN UNTUK MAYIT
Sebagaimana
disepakati bahwa mengganti puasa, haji, sedekah, membayar hutang seorang muslim
yang sudah meninggal dunia adalah perkara yang boleh, bermanfaat dan dibenarkan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam (lihat Shahih
Bukhari: Kitab ash-Shaum, Kitab al Hajj, Kitab al-Washaya). Maka telah
disepakati pula --kecuali oleh sebagian ahli bid'ah-- bahwa doa seorang muslim
yang masih hidup bermanfaat bagi saudara muslim lainnya yang sudah meninggal
dunia berdasarkan banyak ayat di dalam al Qur’an, di antaranya surat al-Hasyr ayat 10:
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ
يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا
بِالايْمَانِ (سُوْرَة الحَشْر: 10)
Maknanya: "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdo'a: "Ya tuhan
kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami….." (Q.S. al-Hasyr: 10)
Hadits-hadits shahih
juga menunjukkan bahwa doa seorang muslim bermanfaat bagi saudara sesama muslim
yang telah meninggal dunia. Terlebih bila doa tersebut didahului dengan amal saleh orang yang
berdoa. Membaca al-Quran adalah termasuk amal yang saleh, karenanya ulama
Ahlussunnah menyatakan: Mendoakan seorang mayit muslim setelah membaca
al-Qur’an adalah termasuk di antara sekian banyak hal yang menyebabkan doa
dikabulkan oleh Allah ta'ala. Lebih jauh mereka menegaskan bahwa berdasarkan
hadits-hadits Rasulullah dan atsar para sahabat, membaca al-Qur'an itu
sendiripun bermanfaat bagi si mayit dan akan sampai pahalanya kepadanya.
Di antara sekian banyak hadits yang menjadi dalil sampainya pahala membaca
al-Qur’an kepada mayit, adalah hadits riwayat al Bukhari dari Ummul Mukminin
‘Aisyah –semoga Allah meridlainya- bahwa dia merintih dan mengatakan :
Aduh, alangkah sakit kepalaku, mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam bersabda :
"ذَََََاكَِِ
لََوْ كَانَ وَأنَا حَيٌّ فَأَسْتَغْفِرُ لَكِ وَأدْعُو لَكِ" رواه البخاريّ
Maknanya: “Jika engkau meninggal dunia dan aku masih hidup maka aku akan
memohonkan ampunan kepada Allah untukmu dan mendoakanmu” (H.R. al Bukhari)
Sabda Rasulullah وأدعو لك mencakup doa dengan segala macam dan bentuknya, ini berarti termasuk juga
doa seseorang setelah membaca Al Qur’an agar disampaikan pahalanya untuk mayit.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari
Ma'qil bin Yasar, Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam bersabda:
"اقْرَءُوْا يس عَلَى
مَوْتَاكُمْ " رَوَاهُ
أبُو دَاوُد وَالنَّسَائِي فِي عَمَلِ اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ وَابْنُ مَاجَه
وَأحْمَدُ بْنُ حَنْبَل وَالحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّان
Maknanya: “Bacalah
surat Yasin atas orang-orang yang telah meninggal di antara kalian". (H.R.
Abu Dawud, an-Nasa’i dalam kitab Amal al-Yaum wa al-Lailah, Ibnu Majah,
Ahmad bin Hanbal, al-Hakim dan Ibnu Hibban)
Hadits ini Hasan menurut Abu Dawud dan al Hafizh as-Suyuthi dan dishahihkan oleh
Ibnu Hibban. Kalaupun hadits ini didla'ifkan oleh sebagian ulama, bukankah
hadits dla'if boleh diamalkan dalam Fadla'il al-A'mal?, dan masalah ini
termasuk Fadla'il al-a'mal seperti disepakati oleh para ulama. (lihat
an-Nawawi; Muqaddimah al-Arba'in an-Nawawiyyah)
Al Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits yang semakna bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
"
يس قَلْبُ القُرْءَانِ لاَ يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ
الآخِرَةَ إلاّ غُفِرَ لَهُ ، وَاقْرَؤُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ " رَوَاهُ أحمَد
Maknanya: “Surat Yasin adalah jantungnya Al
Qur’an, orang yang membacanya dan tidak menginginkan kecuali (beramal karena)
Allah dan bekal akhirat maka Allah akan mengampuni(dosa-dosa)nya dan bacalah
surat Yasin ini untuk orang-orang yang telah meninggal dunia di antara kalian” (H.R. Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya)
Al-Hafizh al-Thabarani meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam bersabda:
"إذَا مَاتَ أحَدُكُمْ فلاَ
تَحْبِسُوْهُ وَأسْرِعُوا بِهِ إلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأ عِنْدَ رَأسِهِ
بفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بخَاتِمَةِ البَقَرَةِ فِي
قَبْرِه"ِ رَوَاهُ الطَّبَرَانِي
Maknanya: "Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia maka janganlah kalian
menahannya dan cepatlah dikebumikan dan hendaknya dibacakan surat al-Fatihah di
dekat kepalanya dan akhir surat al-Baqarah di dekat kakinya di kuburnya". (H.R. at-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan dihasankan oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari,
juz 3, hlm. 184)
Para ulama juga mengambil dalil dari hadits riwayat
al-Bukhari dan Muslim bahwa suatu ketika Rasulullah melewati suatu kebun di
Madinah atau di Makkah, tiba-tiba beliau mendengar suara dua orang yang disiksa
dalam kuburnya. Kemudian beliau meminta diambilkan ranting basah dan
membelahnya menjadi dua lalu meletakkan masing-masing pada dua kuburan
tersebut. Ketika ditanya prihal itu, beliau bersabda: “Mudah-mudahan itu
meringankan siksa keduanya selama masih belum kering". An-Nawawi dalam
Syarh Shahih Muslim, Juz 3, hlm 202, mengatakan: "Para ulama
menganggap sunnah membaca al-Qur'an di pekuburan berdasarkan hadits ini, karena
jika diharapkan keringanan (siksa kubur) dari tasbihnya ranting yang basah,
terlebih bacaan al-Qur'an. Para sahabatpun mengikuti petunjuk Rasulullah.
Tercatat di antaranya sahabat 'Abdullah bin 'Umar, beliau menganggap sunnah
membaca ayat-ayat pertama dan akhir surat al-Baqarah di pekuburan setelah mayit
dikuburkan”. Riwayat ini dihasankan oleh al-Hafizh an-Nawawi dalam al-Adzkar
hlm 173 dan al-Hafizh Ibn Hajar dalan Takhrij al-Adzkar serta
dinukil oleh al Muhaddits Muhammad ibn ‘Allan dalam Syarh al Adzkar.
Al-'Ala bin al-Lajlaj, seorang tabi'i, sebelum wafat
berpesan kepada anaknya, Abdur Rahman bin al-‘ala : "…dan bacalah di dekat
kepalaku (sesudah dikebumikan) ayat-ayat pertama dan akhir surat al-Baqarah,
karena sungguh aku telah mendengar Rasulullah mengatakan hal ini ".
Demikian diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dengan sanad
yang dinyatakan oleh al Hafizh al Haitsami : “Para perawinya muwatstsaqun”.
Dalam riwayat al-Baihaqi di as-Sunan al-Kubra, juz 4, hlm 56, pesan al
‘Ala’ berbunyi : "…dan bacalah di dekat kepalaku (sesudah dikebumikan)
ayat-ayat pertama dan akhir surat al-Baqarah, karena sungguh aku telah
menyaksikan Ibnu 'Umar menganggap sunah hal tersebut".
Hadits-hadits di atas menegaskan bahwa
disunnahkan membaca al-Qur'an untuk mayit muslim yang sudah dikebumikan, baik
itu dilakukan di dekat kuburnya seperti dalam hadits ketiga, hadits keempat
serta atsar sahabat dan tabi'in tersebut di atas ataupun jauh dari kuburnya
seperti dipahami dari hadits pertama dan kedua. Karena hadits pertama
menunjukkan anjuran untuk berdoa secara umum sehingga mencakup doa dengan
segala macam dan bentuknya, termasuk doa seseorang setelah membaca Al Qur’an
agar disampaikan pahalanya untuk mayit meski bacaan tersebut dilakukan jauh
dari kuburannya. Hadits kedua juga secara mutlak menganjurkan membaca al-Qur'an
untuk mayit, berarti termasuk juga membaca al-Qur'an meskipun jauh dari
kuburnya. Terlebih bila ia dibarengi dengan doa ishal (إيصال ) , yakni berdoa agar
disampaikan pahala bacaan tersebut kepada mayit. Misalnya dengan mengatakan:
اللّهُمَّ أوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأتُهُ إلَى فُلاَنٍ
atau
اللّهُمَّ تَقَبَّلْ وَأوْصِلْ مِثْلَ ثَوَابِ مَا قَرَأنَاهُ إلَى فلاَنٍ
Maknanya: “Ya Allah
sampaikanlah pahala bacaanku kepada si fulan", atau “Ya Allah
terimalah dan sampaikan pahala bacaan kami kepada si fulan".
Mengartikan "mayyit" dalam hadits kedua dengan al-Muhtadlar
(orang yang sedang akan mati/sekarat) adalah takwil dan pentakwilan semacam
ini tidak bisa diterima karena tidak berdasar serta berlainan dengan zhahir
hadits tersebut, karena mayit pada hakikatnya adalah orang yang telah mati.
Sementara takwil harus didasarkan atas sebuah dalil. Demikian dijelaskan oleh
imam Ibnu al-Qaththan, guru al-Hafizh Ibnu Hajar (lihat al-Hafizh az-Zabidi; Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin, Juz 10, hlm.
369 - 371)
Mayoritas ulama salaf dan imam-imam pendiri madzhab; Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad Ibn Hanbal berdasarkan hadits-hadits di atas dan banyak hadits lainnya
menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur'an
sampai kepada mayit, seperti dituturkan oleh al-Hafihz as-Suyuthi dalam
kitabnya Syarh as-Sudur.
Termasuk juga imam kita; Muhammad bin Idris as-Syafi'i. Adapun pendapat
yang masyhur bahwa as-Syafi'i menyatakan "Pahala bacaan al-Qur'an tidak
sampai kepada mayit", yang dimaksud adalah bila bacaan itu tidak dilakukan
dikuburan atau tidak dibarengi dengan doa ishal seperti penjelasan
beliau sendiri kepada sahabat-sahabatnya seperti az-Za'farani. (lihat Syarh
al-Ihya karya al-Hafizh az-Zabidi, Syarh al-Sudur karya al-Hafizh
al-Suyuthi, Syarh al-Muhadzab karya al-Hafizh an-Nawawi dan juga an-Naf'u
al-'Amim).
Maksud perkataan as-Syafi'i tersebut --seperti pemahaman yang dikutip di
atas-- juga telah dijelaskan oleh para ulama pengikut madzhab Syafi'i sendiri
seperti al-Hafizh an-Nawawi, al-Hafizh al-Suyuthi, Syekh Zakariyya al Anshari
dan lain-lain
Akhirnya, hukum dibolehkan dan disunnahkan membaca al-Qur'an untuk mayit
merupakan kesepakatan semua ulama, baik dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafi'iyyah maupun Hanabilah. Oleh karena itu, amalan ini menjadi tradisi umat
Islam diberbagai belahan dunia dari masa kemasa selama berabad-abad dan hal itu
berlangsung sampai sekarang. Termasuk dalam masalah ini adalah apa yang kita
kenal dengan "Menghadiahkan al-Fatihah atau Kalimah Thayyibah kepada
para leluhur".
BAB II
PERNYATAAN PARA ULAMA EMPAT MADZHAB
Berikut ini adalah pernyataan para ulama empat madzhab mengenai masalah
membaca al-Qur'an untuk mayit sekaligus sebagai bantahan dan jawaban ulama
Ahlissunnah terhadap sanggahan segelintir orang atau sekelompok golongan yang
mengaku sebagai pengikut madzhab Hanbali tapi menyempal dan mengharamkan
membaca al-Qur'an untuk mayit, berbeda dengan ulama madzhab Hanbali sendiri.
Mereka sering merubah-rubah nama tapi semuanya mempunyai ciri yang sama,
membawa ide-ide faham Wahhabi yang bertentangan dengan faham ulama salaf dan
khalaf seperti dalam masalah ini dan dalam banyak masalah-masalah lainnya.
Apa yang ditulis dibawah ini hanyalah sebagian kecil saja dari sekian
banyak kitab ulama yang menyatakan kebolehan membaca al-Qur'an untuk mayit dan
sampainya pahala bacaan tersebut kepadanya. Wa Allah al-Muwaffiq.
I. ULAMA MADZHAB SYAFI'I
Abu Sulaiman al-Khaththabi, ketika menjelaskan hadits mengenai perbuatan
Nabi meletakan ranting basah pada dua kuburan orang muslim yang sedang disiksa,
mengatakan: "Dalam hadits ini terdapat dalil disunnahkannya membaca
al-Qur'an di kuburan, karena jika (dapat) diharapkan keringanan (siksa kubur)
dengan tasbih pohon, maka bacaan al-Quran adalah lebih dapat diharapkan dan
lebih besar berkahnya". (Badruddin al-'Aini, Umdah al-Qari Syarh Shohih
al-Bukhari jilid II, juz II, hlm. 118 )
As-Suyuthi berkata dalam Syarh
ash–Shudur: "Adapun (hukum) membaca al-Quran di kuburan, menurut
pendapat para sahabat kami (ulama mazhab Syafi'i) dan selain mereka, adalah masyru'
(disyari'atkan)". (al-Hafizh Murtadla az-Zabidi, Ithaf as-Sadah
al-Muttaqin, juz X, hlm. 370).
An-Nawawi dalam karyanya Syarh
Shahih Muslim juz III, hlm 202 berkata: "Para ulama menyatakan
kesunnahan membaca al-Quran di kuburan berdasarkan hadits ini (hadits ranting
basah), karena jika (dapat) diharapkan keringanan (siksa kubur) dengan
tasbihnya ranting, terlebih dengan bacaan al-Qur’an".
Dalam kitab al-Adzkar, hlm
173, beliau berkata: "as-Syafi'i dan para sahabatnya berkata: Disunnahkan
membaca beberapa ayat al-Quran di dekat mayit yang telah dikubur”. Meraka
menambahkan: “Apabila dikhatamkan al-Qur'an seluruhnya maka hal itu lebih
baik". (lihat juga Riyadl as-Shalihin hlm 290).
An-Nawawi juga berkata:
"Disunahkan (bagi yang ziarah kubur) untuk membaca al-Quran sekedarnya
kemudian mendoakan mereka (ahli kubur) setelah itu. Hal ini telah dinash
oleh asy-Syafi'i dan sudah di sepakati oleh para sahabat ". (al-Majmu'
Syarh al-Muhadzdzab, juz V,
hlm. 311)
Ibn
ar-Rif'ah berkata: "Yang ditunjukan hadist melalui jalan istinbath (penggalian
hukum) adalah bahwa sebagian ayat al-Qur’an apabila yang dimaksudkan (oleh
pembacanya) untuk memberi manfaat kepada mayit dan meringankan siksa yang ada
padanya maka manfaat itu akan dirasakan oleh mayit. Karena telah tsabit
bahwa al-Fatihah ketika dimaksudkan oleh pembacanya untuk mengobati orang yang
terkena sengatan binatang berbisa, dia bisa merasakan manfaatnya".
(Dituturkan oleh al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah, juz
X, hlm. 370, mengutip perkataan Ibn al-Qaththan, salah seorang guru al-Hafizh
ibn Hajar al-'Asqalani).
Dalam kitab al-Qaul bi al-Ihsan al-'Amim fi Intifa' al-Mayyit bi al-Qur'an
al-‘Azhim, ibn Qaththan mengatakan: “Dikutip dari (imam)
asy-Syafi'i bahwa beliau berpendapat;
bacaan al-Qur’an dimakam mayit bisa memberi manfaat kepadanya. Inilah pendapat
yang dipilih guru kami; Syihabuddin ibn Aqil, dan telah mutawatir diceritakan
banyak orang bahwa al-Laits ibn Sa'd, beliau memujinya lalu mengkhatamkan
al-Quran sekali khataman dimakamnya". (lihat al-Ithaf , juz X, hlm. 369)
Syaikh ‘Abdur Rahman ibn Muhammad yang terkenal dengan sebutan Ba 'Alawi
berkata dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 97: "Faedah:
Seseorang yang melewati kuburan lalu membaca al-Fatihah dan menghadiahkan
pahalanya untuk ahli kubur, apakah pahalanya dibagi (untuk para ahli kubur)
ataukah pahala itu akan sampai kepada masing-masing ahli kubur secara utuh?.
Ibnu Hajar menjawab: "Sejumlah ulama memfatwakan kemungkinan yang kedua,
dan inilah yang sesuai dengan luasnya rahmat Allah ta'ala".
Sementara itu syekh Zakariya al-Anshari, dalam kitab Syarh Raudl
ath-Thalib, Juz II, hlm 412, berkata: "Far'un: Ijarah (menyewa
atau mengupah seseorang) untuk membaca (al-Qur'an) dikuburan selama beberapa
waktu yang telah ditentukan, hukumnya adalah boleh,
--pada saat itu-- mayit seperti orang hidup, baik bacaan (al-Qur'an) itu
diikuti dengan doa untuknya atau dibarengi doa supaya pahala bacaan sampai
kepadanya, maupun tidak disertai dengan keduanya. Maka manfaat bacaan itu akan
dirasakan oleh mayit. Karena doa itu menyertai bacaan al-Qur'an, maka ia lebih
(mungkin) untuk dikabulkan dan lebih banyak berkahnya".
Syekh Syamsuddin al-Ramli dalam kitabnya, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh
al-Minhaj, juz 6, hlm 93, berkata: "Dalam (masalah) bacaan (al-Qur'an
untuk mayit) terdapat pendapat yang merupakan madzhab imam yang tiga, yaitu
sampainya pahala bacaan kepada mayit dengan hanya meniatkan (untuk
menghadiahkan pahalanya kepada mayit), dan inilah pendapat yang dipilih oleh
banyak imam kita. Adapun sejumlah ulama yang menerangkan mengenai pernyataan
tidak sampainya pahala bacaan kepada mayit, yang dimaksud mereka adalah jika bacaan
itu tidak dilakukan didekat (kuburan) mayit atau tidak disertai niat
(menghadiahkan) pahala bacaan kepadanya atau sudah meniatkan hal itu namun
tidak berdoa (setelah membaca al-Qur'an). Ibn as-Shalah berkata:
"Seyogyanya dipastikan bahwa doa "Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan
kami", bermanfaat bagi mayit".
Imam ar-Rafi'i dalam kitab Fath al-'Aziz Syarh al-Wajiz, juz 5, hlm
249, berkata: "Al-Qadli Abu at-Thayyib ditanya prihal mengkhatamkan
al-Qur'an di kuburan, beliau menjawab: Pahalanya untuk yang membaca, dan mayit
seperti orang (hidup) yang berada didekat kita, diharapkan (dia memperoleh)
rahmat dan berkah (di saat al-Qur'an dibaca). Maka membaca al-Qur'an di kuburan
disunnahkan dalam arti ini. Dan juga doa yang dibaca setelah membaca
(al-Qur'an) lebih diharapkan untuk dikabulkan. Doa itu memberikan manfaat
kepada mayit".
Selain dari kutipan di atas, hukum dibolehkannya membaca al-Qur'an untuk
mayit dan sampainya pahala bacaan kepadanya juga telah difatwakan oleh Qadli
al-Qudlat al-Hafizh Taqiyuddin as-Subki yang dinilai sejumlah ulama sudah
mencapai derajat Mujtahid (lihat fatwa beliau dalam kitabnya Qadla al-Arab
Fi As’ilah Halab, hlm 452)
II. ULAMA MADZHAB HANAFI
Al-Marghinani dalam kitabnya al-Hidayah Syarh al-Bidayah, juz I,
hlm. 183, berkata: "Bab tentang menghajikan orang lain: Ketentuan dalam
hal ini adalah bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan (baik)nya
untuk orang lain, baik berupa shalat, puasa, shadaqah atau yang lainnya menurut
Ahlussunnah wal Jamaah, berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi
berkorban dengan dua ekor domba yang berwarna putih campur hitam (Amlah), yang
satu untuk diri beliau dan satu lagi untuk budak perempuannya yang telah
mengakui keesaan Allah ta'ala dan bersaksi atas kerasulannya. Beliau
menjadikan kurban salah satu domba itu untuk budak perempuannya".
Senada dengan al-Marghinani, Ibnu 'Abidin dalam Syifa al-'Alil (lihat Majmu'ah Rasa'il Ibn 'Abidin,
juz I, hlm 165), menambahkan: "…baik berupa shalat, puasa, shadaqah atau
yang lain. Syarih (pensyarah kitab al-Hidayah) berkomentar:
"Seperti bacaan al-Qur'an dan dzikir…". (lihat juga Radd al-Muhtar
'Ala ad-Durr al-Mukhtar yang tekenal dengan sebutan Hasyiah Ibnu 'Abidin,
juz I, hlm 243).
Az-zaila'i mengatakan hal yang sama dalam kitabnya Tabyin al-Haqaiq
Syarh Kanz ad-Daqaiq, juz 2, hlm 83. Beliau juga menambahkan: “Dan pahala
perbuatan-perbuatan baik itu akan sampai kepada mayit dan memberikan manfaat
baginya".
III. ULAMA MADZHAB HANBALI
Al-Khallal meriwayatkan dalam al-Jami' dari 'Ali bin Musa al-Haddad,
dia berkata: "Adalah aku, Ahmad ibn Hanbal (pendiri madzhab Hanbali) dan
Muhammad ibn Quddamah al-Jauhari --mengiringi-- sebuah jenazah. Ketika mayit
sudah dimakamkan, seorang yang buta duduk untuk membaca al-Qur'an di
kuburannnya. Imam Ahmad menegurnya: "Hai, membaca al-Qur'an di kuburan
adalah bid'ah. Ketika aku keluar dari areal kuburan, Muhammad bin Qudamah
berkata kepada Ahmad bin Hanbal: "Wahai Abu 'Abdillah (sebutan untuk imam
Ahmad) apa pendapatmu tentang --orang bernama-- Mubasyir al-Halabi?".
Ahmad menjawab: "Tsiqah (terpercaya)". Muhammad bertanya lagi:
"Apakah engkau pernah menulis sesuatu darinya?". Ahmad berkata:
"Iya". Muhammad bin Qudamah selanjutnya berkata: "Aku diberi
tahu oleh Mubasyir, dari 'Abdur Rahman bin al-'Ala’ bin al-Lajlaj dari ayahnya
(al-'Ala’ bin al-Lajlaj) bahwa dia berwasiat supaya dibacakan di dekat
kepalanya ayat-ayat permulaan surat al-Baqarah dan ayat-ayat akhirnya setelah
dimakamkan. Al-'Ala berkata: "Aku mendengar bahwa ibnu 'Umar juga
berwasiat dengan hal yang sama". Maka kemudian Ahmad berkata kepada
Muhammad ibn Qudamah: "Kembalilah ke kuburan dan katakanlah kepada orang
yang buta itu untuk memulai bacaannya lagi". (dituturkan oleh al-Qurthubi
dalam at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, hlm. 83 dan
juga oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Takhrij al-Adzkar sebagaimana
disebutkan oleh ibn 'Allan as-Shiddiqi dan al-Futuhat ar-Rabbaniyyah 'Ala
al-Adzkar an-Nawawiyyah, juz III, hlm. 193, lihat juga al-Mughni karya
Ibnu Qudamah al-Hanbali, juz II hlm. 424).
Dalam kitab al-Maqashid al-Arsyad fi Dzikr Ashhab al-Imam Ahmad karya
Ibrahim bin Muflih al-Hanbali, juz II, hlm 338-339, disebutkan: "Salah
seorang murid imam Ahmad (Muhammad bin Ahmad al-Marwarrudzi) mengatakan: Aku
mendengar imam Ahmad berkata: Jika kalian masuk makam maka bacalah ayat kursi
dan surat al-Ikhlash tiga kali, kemudian bacalah doa: ya Allah, peruntukanlah
fadlilah bacaan tersebut untuk para ahli kubur".
Al-Mardawi dalam kitabnya al-Inshaf fi Ma'rifat ar-Rajih min al-Khilaf,
juz II, hlm 558, mengatakan: Ibnu Tamim mengatakan: Membaca al-Qur'an di
kuburan tidaklah makruh (hukumnya), bahkan hal itu disunnahkan…". (lihat
juga: Syarh Muntaha al-Iradah, juz I hlm. 361-362, dan Kasyaf
al-Qina' 'An Matn al-Iqna', juz II, hlm. 147, keduanya karangan al-Buhuti,
seorang ulama madzhab Hanbali yang sangat terkenal).
IV. ULAMA MADZHAB MALIKI
Setelah menyebut hadits tentang ranting basah yang ditancapkan Rasulullah
di dua kuburan untuk meringankan siksa dua ahli kuburnya, al-Qurthubi
mengatakan: "Jika siksa ahli kubur bisa diringankan dengan (tasbihnya)
pohon, maka tentunya bacaan al-Qur'an seorang mukmin (lebih bisa
meringankan)". Al-Qurthubi melanjutkan: "Dasar dari bahasan ini
adakah shadaqah yang tidak ada perselisihan pendapat (mengenai sampainya pahala
shadaqah kepada mayit). Sebagaimana pahala shadaqah sampai kepada mayit, begitu
juga bacaan al-Qur'an, doa dan istighfar, semua masuk dalam kategori shadaqah,
sebab shadaqah tidak hanya khusus dengan harta". (at-Tadzkirah Fi Ahwal
al-Mauta Wa Umur al-Akhirah, hlm. 84)
Ibn al-Hajj, seorang ulama madzhab Maliki yang terkenal dengan sikap
kerasnya (tasyaddud) dalam mengingkari bid'ah mengatakan dalam al-Madkhal
Ila Tanmiyah al-A'mal Bi Tahsin an-Niyah, juz I, hlm. 266: "Jika
seseorang membaca al-Qur'an dirumahnya lalu menghadiahkannya untuk mayit maka
pasti akan sampai. Cara sampainya bacaan kepada mayit adalah apa bila setelah
selesai membaca, ia dihadiahkan pahalanya kepada mayit atau berdoa: Ya Allah
peruntukanlah pahalanya untuk si mayit. Karena hal ini adalah perbuatan
mendoakan agar pahala sampai kepada saudaranya (mayit). Dan doa itu sendiri
akan sampai kepada mayit tanpa ada perselisihan pendapat".
Syekh Muhammad 'Illaisy dalam karyanya Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar
Khalil, juz I, hlm. 509, mengatakan: "Ibnu 'Arafah berkata: al-Qadli
'Iyadl setuju dengan istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan
sebagian ulama atas hukum kesunnahan membaca al-Qur'an di kuburan dari hadits
tentang dua ranting, hal ini juga dinyatakan oleh asy-Syafi'i". Ibn Rusyd
dalam Nawazilnya berkata: "Ketentuannya adalah apabila seseorang
membaca al-Qur'an lalu menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, hal ini
hukumnya adalah boleh dan si mayit akan memperoleh pahalanya Insya Allah
ta'ala".
Hal yang sama juga dikatakan oleh Syekh Ahmad ad-Dardir dalam Syarh
Mukhtashar Khalil yang terkenal dengan sebutan as-Syarh al-Kabir,
juz I, hlm. 423 dan juga oleh Syekh ad-Dusuqi dalam Hasyiah ad-Dusuqi 'Ala
as-Syarh al-Kabir, juz I, hlm. 423. Bahkan yang terakhir ini mengatakan:
“Hal ini adalah tradisi umat Islam sejak dahulu baik di timur maupun di
barat".
BAB III
BANTAHAN AHLUSSUNNAH TERHADAP DALIH-DALIH AHLI BID’AH
Di atas telah dipaparkan dengan sangat jelas mengenai disunnahkan dan
dibolehkan membaca al-Qur'an untuk mayit dan sampainya pahala bacaan tersebut
kepadanya sesuai penjelasan ulama berdasarkan al-Qur'an, sunnah, atsar para
sahabat dan tabi'in serta penegasan para ulama salaf pendiri-pendiri madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali dan pengikut-pengikut mereka, dan kerenanya
hal ini menjadi tradisi umat Islam dari masa ke masa. Namun ada sebagian
kalangan yang mempunyai kegemaran syudzudz (menyempal), mereka tidak
belajar ilmu agama dengan benar kepada ulama yang terpercaya seperti layaknya
para ulama Islam terdahulu, tetapi sebaliknya selalu menyalah-nyalahkan umat
Islam, menganggap mereka sebagai ahli bid'ah dan berbagai sangkaan buruk yang
lain. Termasuk dalam masalah ini, mereka mengajukan dalih-dalih berikut:
Pertama: Mereka mengatakan: "Bukankah Allah
berfirman:
"وَأنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاّ مَا سَعَى" النجم:39
Ini berarti seseorang
tidak bisa mendapat manfaat kecuali dari amal yang ia kerjakan sendiri .
Jawab: Ayat tersebut, seperti dipahami oleh
para ulama, tidak menafikan (meniadakan) bahwa seseorang bisa mendapat manfaat
dari amal orang lain, melainkan menafikan kepemilikan seseorang terhadap amal
orang lain. Amal orang lain adalah milik orang yang beramal itu, jika berkenan
ia bisa memberikannya kepada orang lain. Jika ia tidak berkenan maka amal
tersebut adalah milik dia sendiri, demikian dijelaskan oleh al-Hafizh Murtadla
az-Zabidi dalam Syarah al-Ihya, juz II, hlm. 284. Bahkan al-Imam
al-Hafiz as-Suyuthi menyebut sepuluh kemungkinan arti atau tafsir ayat tersebut
dalam karyanya Syarh as-Shudur. Diantara sepuluh tafsiran yang ia
kemukakan dari para ulama salaf dan khalaf tidak satupun yang mengatakan bahwa
ayat tersebut mengandung makna bawha seseorang tidak bisa mendapat manfaat
kecuali dari amalnya sendiri.
Kedua: mereka menyatakan bukankah Rasulullah telah
bersabda:
"إذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ
مِنْ ثَلاَثٍ : إلاَّ منْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ"
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Jawab: Hadits ini menunjukkan terhentinya amal
seseorang yang menyebabkannya terus mendapat pahala setelah mati, karena ia
sudah tidak berada di Dar at-Taklif sehingga tidak bisa melakukan
amal-amal saleh dengan dirinya, bukan
menafikan bahwa mayit bisa saja mendapat pahala dari amal orang lain. Buktinya
ia bisa memperoleh manfaat dari doa, sedekah orang lain untuknya meskipun yang
berdoa atau bersedekah untuknya bukan anaknya. Demikian halnya mayit akan
memperoleh manfa’at dari doa pembaca al-Qur'an yang berdoa "Ya Allah
sampaikanlah pahala bacaanku kepada fulan", dengan izin Allah ta'ala.
Ketiga: Kalangan ini mempunyai kebiasaan jika
melihat suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh satu atau dua orang sahabat
--menurut pengetahuan mereka-- untuk mengatakan: "itu perbuatan perorangan
sahabat dan itu adalah ijtihadnya, karena ijtihad itu selalu mempunyai
kemungkinan benar atau salah, maka ijtihad satu atau dua orang sahabat itu
salah".
Jawab: Orang semacam ini seakan lebih tahu dari para sahabat. Siapakah yang lebih
memahami agama ini, mereka atau para sahabat nabi, meskipun hanya satu atau dua
orang ?!. Lagi pula membaca al-Qur'an untuk mayit ini, bukan hanya Ibnu Umar
atau al-'Ala' ibn al-Lajlaj yang menganggapnya sunnah (tradisi) para sahabat
terutama dari kalangan Anshar, seperti diriwayatkan al-Kharaithi dalam kitab al-Qubur:
"سُنَّةٌ فِي الأنْصَارِ إذَا حَملُوا المَيّتَ أنْ
يَقْرَءُوا مَعَهُ سُوْرَةَ البَقرَة " ذكرَه القُرطُبِيّ
فِي التّذْكِرَةِ فِي أحْوَالِ المَوْتَى وَأمُورُ الآخِرَةِ ص93
Maknanya: “Kebiasaan
di kalangan para sahabat Anshar jika mereka membawa jenazah (ke pemakaman)
adalah mengiringinya dengan membaca surat al-Baqarah". (Dituturkan
oleh al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah,
hlm. 93).
Al-Khallal juga meriwayatkan dalam al-Jami' dari as-Sya'bi, bahwa ia
berkata:
أَخْرَجَ الخَلاّلُ فِي الجَامِعِ عَنِ الشَّعْبِيّ قالَ: "كَانَتِ
الأنْصَارُ إذَا مَاتَ لَهُمْ مَيِّتٌ اخْتَلَفُوْا إلَى قَبْرِهِ يَقرَءُوْنَ
لَهُ القُرْءَان"َ ذكَرَهُ
السُّيُوطِيّ في شَرْحِ الصُّدُوْر
Maknanya: "(kebiasaan) para
sahabat Anshar ketika salah seorang diantara mereka meninggal dunia, (mereka)
mendatangi kuburnya, membacakan al-Qur'an untuknya". (dituturkan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam Syarh as-Shudur).
Keempat: Mereka mengatakan: "Mereka yang
mengaku sebagai pengikut Imam Syafi'i itu selalu membaca al-Qur'an untuk mayit,
padahal Imam Syafi'i mengharamkan itu dan mengatakan tidak sampai pahala bacaan
itu kepada mayit".
Jawab: Tidak benar dan sama sekali tidak
berdasar yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i mengharamkan membaca al-Qur'an
untuk mayit. Karena yang diperselisihkan oleh para ulama adalah sampai atau
tidaknya pahala membaca al-Qur'an kepada mayit bukan boleh atau tidaknya.
Sementara apa yang masyhur bahwa Imam Syafi'i mengatakan bacaan al-Qur'an tidak
sampai pahalanya kepada mayit, yang beliau maksud adalah bila bacaan itu tidak
dilakukan di kuburan atau tidak dibarengi dengan doa iishaal seperti
penjelasan beliau sendiri kepada az-Za'farani, muridnya dan dijelaskan oleh
penerus-penerus madzhab Syafi'i seperti al-Khaththabi, al-Baghawi, an-Nawawi,
Ibnu Rif'ah, Imam Taqiyyuddin as-Subki dan lain-lain.
Az-Za'farani berkata: “Aku bertanya kepada as-Syafi'i tentang membaca
al-Qur'an di kuburan, beliau menjawab: la ba'sa bihi (tidak apa-apa).
(lihat al-Hafizh as-Suyuthi, Syarh ash-Shudur).
An-Nawawi berkata dalam Syarh al-Muhadzdzab juz V, hlm. 311:
"Disunnahkan bagi peziarah kubur untuk membaca al-Qur'an semampunya dan
mendoakan mereka sesudahnya, ini dinashkan oleh Imam Syafi'i dan disepakati
oleh sahabat-sahabatnya dan jika sampai dibacakan satu khataman di atas
kuburan, itu lebih utama". Pernyataan serupa juga dinyatakan an-Nawawi
dalam al-Adzkar, hlm. 173 dan Riyadl as-Shalihin, hlm 290.
Ibnu ar-Rif'ah dan as-Subki mengatakan: "Maksud asy-Syafi'i dan yang
lain adalah bila pambaca meniatkan pahala bacaannya untuk mayit tanpa dibarengi
dengan doa (iishaal)". (lihat Syekh Zakariya al-Anshari, Syarh
Raudl at-Thalib, juz II, hlm. 412, Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj juz VI, hlm. 23).
Kelima: Mereka mengaku sebagi pengikut Imam
Ahmad ibn Hanbal dan mereka mengatakan: "Imam Ahmad mengatakan membaca
al-Qur'an untuk mayit adalah bid'ah".
Jawab: Memang benar bahwa Imam Ahmad pernah
mengatakan itu adalah bid'ah tetapi kemudian beliau menarik kembali (ruju') pernyataan
tersebut dan menggapnya sunnah seperti ulama-ulama salaf yang lain. Demikian
dijelaskan oleh pengikut-pengikut madzhab beliau, madzhab Hanbali sepert Ibnu
Qudamah al-Hanbali dalam al-Mughni juz II, hlm 424, al Buhuti al Hanbali
dalam Kasysyaf al Qina’, jilid II, h. 147.
Bahkan beliau dengan tegas menganjurkan orang yang masuk daerah perkuburan
agar membaca ayat kursi, surat al-Ikhlas tiga kali dan mengakhiri dengan doa
"Ya Allah peruntukkanlah keutamaannya bagi ahli kubur pemakaman ini"
seperti diriwayatkan oleh murid beliau sendiri, Muhammad ibn Hanbal
al-Marwarrudzi (lihat al-Maqshid al-Arsyad, juz II, hlm. 338-339).
Dengan demikian, jelaslah bahwa sama
sekali tidak ada dasar untuk mengharamkan membaca al-Qur'an untuk mayit. Karena
Ibnu Taimiyah --yang selalu diagung-agungkan oleh kalangan yang mengingkari
membaca al-Qur'an untuk mayit ini dan fatwa-fatwanya selalu dianggap final dan
pasti benar-- tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengatakan: "Orang yang
membaca al-Qur'an dengan ikhlas karena Allah lalu menghadiahkan kepada mayit,
akan bermanfaat bagi mayit tersebut". (lihat Majmu' Fatawi Ibn
Taimiyyah, juz 24, hlm. 300). Ia juga mengatakan:
“Allah tidak mengatakan bahwa seseorang hanya bisa mendapat manfaat dari amal
perbuatannya sendiri, melainkan Allah berfirman:
"وَأنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاّ مَا سَعَى" النجم:39
yang berarti seseorang
tidak memiliki kecuali amal perbuatannya sendiri dan tidak memiliki hak untuk
mendapatkan selain itu. Adapun amal orang lain adalah miliknya . Sebagaimana
seseorang tidak memiliki kecuali hartanya sendiri dan kemanfaatannya terhadap
dirinya sendiri begitu juga harta orang lain dan kemanfaatan orang lain untuk
orang lain itu sendiri. Namun jika orang lain tersebut menyumbangkan harta
untuknya ini adalah boleh, demikian pula jika orang lain tersebut menyumbangkan
(menghadiahkan) amalnya maka Allah akan
memberinya manfaat dengan itu sebagaimana doa, bersedekah orang lain tersebut
untuknya bermanfaat baginya. Kesimpulannya bahwa ia akan mendapat manfaat dari
setiap hal yang disampaikan seorang muslim, kerabat atau bukan, kepadanya,
sebagaimana ia mendapat manfaat dari orang-orang yang menyolatinya dan
mendoakannya di kuburannya” (lihat Majmu'
Fatawi Ibn Taimiyyah, juz 24, hlm. 367).
Lalu siapakah yang diikuti oleh golongan Wahhabiyyah ini yang menganggap
membaca al-Qur'an untuk mayit sebagai perkara bid'ah dan haram, Imam Ahmad ibn
Hanbal dan Madzhab Hanbali tidak, Ibn Taimiyyah juga bukan!. Naudzu billahi
minal khidzlan.
PENUTUP
Berikut adalah dua masalah terkait
dengan pembahasan risalah ini :
MASALAH PERTAMA: Menghadiahkan bacaan
al-Fatihah untuk Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam
Di antara tradisi ummat Islam adalah
membaca surat al Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah
boleh. Al Muhaddits Syekh Abdullah al Ghammari dalam kitabnya “Ar-Radd al
Muhkam al Matin”, hlm. 270, mengatakan: “Menurut saya boleh saja
seseorang menghadiahkan bacaan al Qur’an atau yang lain kepada baginda Nabi shallallahu
‘alayhi wasallam, meskipun beliau selalu mendapat pahala semua kebaikan yang
dilakukan oleh ummatnya, karena memang tidak ada dalil yang melarang hal
tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan
bahwa itu dilarang”. Ibnu
‘Abidin dalam kitabnya “Radd al Muhtar” menyusun sebuah bab dengan judul
“Bab tentang menghadiahkan bacaan al Qur’an untuk Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam”. Ia
mengatakan: “Ibnu Hajar menuturkan dalam al Fatawa al Fiqhiyyah bahwa Ibnu
Taimiyah melarang untuk menghadiahkan bacaan al Qur’an untuk Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dengan
alasan tidak ada izin khusus dari Nabi dalam masalah ini, kemudian Ibnu Hajar
mengatakan: As-Subki dan yang lain membantah dengan keras pendapat Ibnu
Taimiyah ini dan menyatakan bahwa hal semacam ini tidak memerlukan izin khusus
dari Rasulullah. Bukankah Ibnu Umar berkali-kali melakukan umrah untuk
Rasulullah setelah beliau meninggal padahal tidak ada wasiat dari Rasulullah
kepadanya untuk berumrah untuknya. Begitu juga Ibn al Muwaffaq, salah seorang
yang satu thabaqah (satu masa atau satu jaringan guru-murid) dengan al
Junayd, beliau berhaji untuk al Junayd sebanyak tujupuluh kali. Ibnu as-Siraj
juga mengkhatamkan al Qur\an untuk Rasulullah lebih dari 10.000 kali khataman
dan menyembelih kurban untuk Rasulullah sekitar bilangan itu juga”, Saya
(Ibnu ‘Abidin) berkata: “Penjelasan semacam ini juga aku lihat ditulis
tangan oleh Mufti Madzhab Hanafi, Syekh asy-Syahab Ahmad ibn asy-Syalabi, guru
penulis kitab al Bahr, menukil dari Syarh ath-Thayyibah karya an-Nuwairy. Di
antara yang dinukil adalah bahwa Ibnu ‘Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab
Hanbali mengatakan: Disunnahkan menghadiahkan bacaan kepada Nabi shallallahu
‘alayhi wasallam”. Saya (Ibnu ‘Abidin) berkata: “Ketika Para
ulama kita mengatakan: boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya
untuk orang lain, termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam. Karena beliau lebih berhak mendapatkannya dari pada yang
lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah
tersebut termasuh salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas
budi baiknya. Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan
untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang
yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshil hashil karena semua amal
ummatnya otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah, jawabannya adalah
bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah ta’ala memberitakan dalam Al Qur’an
bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam kemudian Allah
memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan
اللّهُمّ
صَلّّ عَلَى مُحَمّد
Wa Allahu A’lam”. (lihat Radd al Muhtar ‘Ala ad-Durr
al Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Dalam menghadiahkan al-Fatihah, kaum muslimin biasanya mengatakan:
إَلى
جَنَابِ النَّبيّ صَلّّى اللهُ عَلَيْه وَسَلّّّمَ الفَاتِحَة
Maknanya: “Kepada junjungan Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam (kita hadiahkan
bacaan) al Fatihah”.
MASALAH KEDUA : Meletakkan ranting basah di atas kuburan
Meletakkan ranting basah di atas kuburan
orang muslim hukumnya adalah boleh sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam terhadap kuburan dua orang muslim yang sedang disiksa di
kuburnya seperti diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim (lihat bab I).
Hadits tersebut dipahami oleh sahabat
Buraidah al-Aslami umum berlaku bagi siapapun, tidak hanya boleh dilakukan
oleh Rasulullah saja sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih
al-Bukhari. Al-Imam al-Bukhari mengatakan: “Sahabat Buraidah mewasiatkan agar
diletakkan dua ranting basah di kuburannya”. Ibn Sa’ad dalam ath-Thabaqat al
Kubra juga meriwayatkan bahwa sahabat
Buraidah al-Aslami mewasiatkan agar diletakkan dua ranting basah di
kuburannya dan bahwa hal ini diikuti oleh Abu al-‘Aliyah, salah seorang ulama
at-Tabi’in. Beliau berwasiat
kepada Muwarriq al-‘Ijli agar meletakkan dua ranting basah di
kuburannya. (lihat Thabaqat Ibn Sa’d, jilid VII, hlm. 83-84, pada biografi Abu al-‘Aliyah Rufay’i ibn
Mihran).
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al
Bari mengatakan: “Yang nampak dari tulisan al Bukhari dalam bab ini beliau berpendapat untuk meletakkan
(ranting basah di atas kuburan)”.
وَالَحمْدُ للهِ رَبِّّ العَالمَين وَصَلّّّى اللهُ
وَسَلّّمَ عَلَى سَيّد الُمُرسَلَِِين
Bahwa parameter yang digunakan untuk menilai
suatu perbuatan atau perkara adalah al-Qur'an, sunnah dan kaidah-kaidah syara'
adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apa yang dianjurkan oleh syara'
atau diperbolehkan, maka demikianlah adanya. Yang sunnah adalah sunnah dan yang
mubah adalah mubah. Maka tidak selayaknya seorang yang berilmu berkomentar
dengan nada sinis atau melecehkan terhadap perbuatan yang dalam syara'
berstatus hukum sunnah, baik atau boleh. Segala hal diposisikan sesuai
kedudukannya dan apa yang perlu diperbaiki, diperbaiki. Mengambil berkah
al-Qur'an dan membacanya untuk kesembuhan dari suatu penyakit adalah hal yang
baik dan boleh. Mengawali suatu prosesi acara dengan bacaan al-Qur'an adalah
suatu yang baik. Karena itu tidak perlu kiranya mengatakan: "Al-Qur'an
sekarang ini berubah fungsi, menjadi jampi-jampi keselamatan atau senandung
pembukaan". Termasuk dalam hal ini membaca al-Qur'an untuk mayit muslim
yang merupakan perkara sunnah atau boleh dalam syara', yang merupakan topik bahasan buku ini.
AHLUSSUNNAH:
DALIL-DALIL KEBOLEHAN MENGHADIAHKAN PAHALA
BACAAN AL-QUR’AN KEPADA MAYIT
Diterbitkan dan disebarluaskan oleh:
Pusat Kajian
Islam Syabab Ahlussunnah
Wal Jama’ah (SYAHAMAH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.