Sabtu, 01 Oktober 2011

IYYAKA NA'BUDU


IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IN
(Ayat ke empat Suratul Fatihah)

Iyyaka na’budu, hanya kepada-Mu kami beribadah. Hanya kepada Engkaulah, ya Allah, kami persembahkan segala karya bakti kami, sebagai ibadah kami kepadamu. Saat yang paling dekat bagi seorang muslim di hadapan Allah adalah saat ia bersujud. Saat ia meletakkan bagian tubuhnya yang paling dihormati, yaitu kepalanya, ditempat yang paling rendah, yaitu atas tanah. Nabi saw bersabda, “Saat terdekat bagi seorang hamba dengan Rabbnya adalah kala ia bersujud.”

Ada rahasia di balik pendahuluan frasa iyyaka sebelum kata na’budu dan nasta’in, yakni maksud Tuhan memberikan pengertian makna khusus. Dengan pemahaman ini makna ayat tersebut berbunyi, “Kami hanya menyembah-Mu, tidak menyembah yang lain. Kami hanya memohon pertolongan kepada-Mu, tidak kepada yang lain.” Jika di dalami lebih jauh, ayat ini mengandung makna syahadat, la ilaha illa Allah, tiada Tuhan selain Allah. Hanya Allah satu-satunya yang kami sembah. Hanya Allah satu-satunya yang kami mintakan pertolongan.

Sebagaimana dua kalimah syahadat, ayat ini terasa ringan di lisan, namun mengandung makna yang hebat. Di dalamnya terkandung intisari dari dakwah Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Allah menurunkan 114 kitab, yang isinya kemudian digabungkan di dalam kitab Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an. Kemudian kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur itu tersarikan dalam satu kitab yaitu Al-Qur’an, lalu isi Al-Qur’an ini tersarikan lagi secara lebih khusus di dalam surah Al-Fatihah. Lalu secara lebih khusus lagi, semua isi Al-Fatihah tersarikan lagi dalam ayat iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in. Inilah rahasia dakwah Rasulullah, intisari dari risalahnya.

Kita semua tahu, tujuan hidup seorang Muslim adalah untuk mempersembahkan ibadah dan seluruh karya baktinya sebagai ibadah kepada Allah swt. Karena itu, membicarakan kondisi ibadah sangat penting dan sangat strategis dalam rangka mencari jalan keluar membangun kembali peradaban umat Islam. Kita perlu menengok, bagaimanakah kondisi ibadah mahdah umat Islam yang paling mendasar dalam pencapaian tujuan hidupnya, yaitu mempersembahkan seluruh ibadah yang juga karya baktinya hanya kepada Allah swt. semata.

Ternyata, kita akui bersama, sebagian besar pribadi Muslim masih belum sempurna dalam melaksanakan ibadah dan zikir ibadahnya, sehingga mereka tidak khusyuk. Pada diri mereka tidak berlangsung proses pikir (‘aliman), memahami (tafahum), menghayati (tafakkur), sehingga mampu berzikir lebih sempurna dengan bahasa hati kepada allah swt. (zikir qalbiyah ilahiah). Karena ibadah tidak dilakukan pada tingkat khusyuk, maka Allah belum memberikan keberuntungan kepada kaum Muslimin seperti yang dijanjikan-Nya (QS; Al-Mu’minun : 1-2).

Apa yang diperoleh dari tingkat keKhusyukan seseorang yang berkomunikasi dengan Tuhannya jika tidak mengetahui arti, tidak mengerti apalagi memahami dan menghayati lafal yang diucapkan dengan lisannya, Jawabannya, tidak ada. Nonsens. Tidak ada pengaruh yang diperolehnya dari shalat yang demikian itu. Berapa banyak diantara kita yang shalatnya rajin bahkan berjamaah di masjid, tetapi tindak-tanduknya tak mencerminkan penghambaannya kepada allah. Kelakuannya masih juga bejat, bahkan tak jarang menjarah harta orang dengan terang-terangan ataupun tidak, berapa banyak harta negara (rakyat) yang amblas dijarah para pejabatnya alias di korupsi. Orang demikian mungkin telah sangat terbiasa menghafal-hafalkan lafal shalat sejak kecil, sehingga sangat sulit baginya untuk mencoba belajar kembali arti dan pemahamannya.

Boleh dikata, keterpurukan kehidupan dan peradaban kaum Muslimin dewasa ini tak lain karena Muslim itu tidak melakukan ibadahnya dengan Khusyuk. Mereka tidak mengerti, tidak memahami dan selanjutnya tidak menghayati khususnya shalat, karena hanya menghafal-hafalkannya, padahal shalat adalah tiang agama Islam. Mereka tidak khusyuk beribadah karena tidak dilakukan dengan proses zikir yang melibatkan pikir, tafahum dan tafakkur (menghayati, melakukan proses penyadaran bathin). Asumsinya, jika mencapai tingkat khusyuk, Allah akan mengkaruniai cahaya-Nya, berbentuk hudan, petunjuk, idea, ilham, kesempatan setiap saat, kesempatan tidak terhingga, gerak hati manusia dan lain-lain, yang membuka peluang bagi yang bersangkutan untuk berjuang bagi kehidupan yang lebih baik di dunia ini menuju hari akhir yang lebih mulia.

Dengan menggunakan bahasa bertutur dari seorang guru pesantren bernama Abah Latif, mengatakan bahwa sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na’budu, kepada-Mu aku menyembah. Tetapi kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na’budu. Menurut Emha Ainun Nadjib Al-Fatihah semestinya mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah, umat yang satu. Ketika sampai di kalimat na’budu, tingkat yang harus kita telah capai lebih dari abdullah yakni khalifah Allah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan kaum Muslimin dalam menyembah Allah dimana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na’budu dalam shalat harus memiliki akar dan pijakan di mana kita kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan social, urusan politik, urusan negara dan segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. “Maka anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa lidah kita tidak kelu dan air mata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?” Begitu ungkap Abah Latif yang di tokohkan oleh Emha Ainun Nadjib.

Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifah Allah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita benar-benar takan berpenghabisan karena dengan mengucap wa iyyaka nasta’in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakikatnya melawan Allah. “Anak-anakku pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri. Telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah keurusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas. Tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu, air mata pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya,” demikian nasihat Emha melalui gaya bertutur Abah Latif.

Dalam al-‘ubudiyah, karya Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa, “ibadah merupakan ungkapan yang mencakup segala sesuatu yang disukai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, lahir maupun bathin.” Jadi, bukan hanya shalat, zakat, puasa, atau haji. Membaca artikel ini pun merupakan sebuah ibadah dalam pengertian Ibnu Taimiyyah ini. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah pada-Ku” (QS; Adz-Dzariyat : 56) Maka, ibadah menjadi tujuan yang paling di idam-idamkan seorang hamba. Tidak ada predikat yang lebih hebat bagi seorang hamba daripada sebagai ahli ibadah. Mereka yang beribadah kepada Allah secara ikhlas disebut ahli ibadah, sementara mereka yang enggan beribadah kepada-Nya disebut orang-orang yang sombong dan takabur. Allah berfirman, “Dan kepunyaan-Nya-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh (sombong) untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS; Al-Anbiya : 19) Allah mengecam orang-orang yang sombong dan enggan beribadah kepada-Nya (QS Al-Mukmin : 60).

Jika surat Adz-Dzuriat ayat 56 diatas kita hubungkan dengan ayat 55, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Kemudian ayat 57, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka member-Ku makan,” serta ayat 58, “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh,” kata ibadah yang diterjemahkan dengan mengabdi kepada-Ku (Allah), mencakup pengertian beriman, berzikir, semua kegiatan yang bermanfaat bagi manusia, mencari makan, mencari rezeki dan lain-lain. Demikian pula jika di amati surat Al-Baqarah ayat 83, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari bani Israil, (yaitu) janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”
Kata “ta’budu” dalam ayat tsb. mencakup perbuatan berbuat baik bagi ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, mengucapkan kata-kata yang baik kepada manusia, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan memenuhi janji, serta beriman kepada Allah, tidak berpaling.

Jika kita simak kisah Nabi Saleh dengan kaum Tsamud dalah surat Al-A’raf : 73, “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Saleh. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini untuk menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.” Dan juga riwayat Nabi Syu’aib dengan penduduk Madyan dalam ayat 85, “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Yuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimunjika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.”

Dengan demikian, kata beribadah, kata sembahlah (i’budullah), mengandung pengertian beriman kepada Allah, memelihara unta atau mengembangkan peternakan, menyempurnakan takaran dan timbangan dan jangan membuat kerusakan di muka bumi.

Kita perhatikan contoh lain yaitu ibadah shalat. Ayat-ayat Al-Qur’an mulia yang memerintahkan shalat (aqimu ash shalah), bukan hanya sekedar menyuruh melaksanakannya. Menegakkan sesuatu berarti juga melaksanakannya secara sempurna berdasarkan alasan yang tepat dan berdampak. Dampak shalat tampak dari apa yang diberitakan Allah swt dalam firmannya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS; Al-Ankabut : 45), “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan, apabila mendapatkan kebaikan, ia amat kikir kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS; Al-Ma’arij : 19-22)

Allah menegur orang yang melakukan gerakan dan ucapan shalat tetapi melalaikan arti dan rahasia ibdah shalat yang mengantarkan pada tujuannya. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS; Al-Maa’un : 4-7). Allah tetap menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat (mushallin) karena mereka melakukan gerakan-gerakan shalat. Namun, Dia menyifati mereka sebagai orang yang lalai dari shalat hakiki, yaitu menyertakan hati dalam menghadap Allah swt yang mengingatkannya pada keharusan takwa kepada-Nya dan mengakui keagungan-Nya.

Tentang makna “lalai” pada ayat diatas, Abu al-‘Aliyah berkata, “yaitu orang yang lalai dalam shalatnya sehingga ia tidak ingat, apakah sedang melaksanakan rakaat genap atau rakaat ganjil.” Al-Hasan berkata, “yaitu orang yang melalaikan waktu shalat sehingga ia mengerjakan di luar waktunya”. Pendapat lain mengatakan, “yaitu orang yang tidak memandang baik shalat yang dikerjakan segera dan tidak memandang dosa bila ditunda-tunda.” Kita semua mengakui, shalat merupakan tiang agama, dienul Islam. Karena itu shalat merupakan ibadah yang utama dan penting dalam menegakkan agama Allah. Di akhirat kelak, di yaumil akhir, Allah akan menanyakan terlebih dahulu kepada setiap diri “Bagaimana kualitas shalatnya?” Jika dalam pelaksanaan shalat saja, kebanyakan orang Islam tidak mengerti apa yang diucapkannya, bagaimana ia akan mencapai tingkat khusyuk dalam shalatnya. Padahal kekhusyukan shalat adalah syarat untuk mendapatkan keberuntungan atau kemenangan. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang Khusyuk dalam shalatnya.” (QS; Al-Mu’min : 1-2).

Wallahu’alam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.