TUGAS MAKALAH
Mata Kuliah:
CIVIC EDUCATION
Judul:
CLEAN AND GOOD GOVERNANCE
DOSEN PEMBIMBING:
Drs. Al-Kusyairi, M.PdI.
Disusun oleh: SYAFA’AT MUBARI
HALAMAN DEPAN................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang...................................................................................1
A.2. Rumusan Masalah..............................................................................1
A.3. Tujuan dan Manfaat...........................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN
B.1. Pengertian Good and Clean Governance…………………….……..2
B.2. Prinsip-prinsip Good and Clean Governance……………………….2
a. Partisipasi.........................................................................................3
b. Penegakan hukum............................................................................3
c. Transparansi.....................................................................................4
d. Rensponsip.......................................................................................5
e. Konsensus........................................................................................6
f. Kesetaraan........................................................................................6
g. Efektifitas dan Efensiense................................................................6
h. Akuntanbilitas..................................................................................7
i. Visi strategis.....................................................................................7
B.3. Pengertian Korupsi.............................................................................7
a. Asal usul korupsi di negara berkembang.........................................7
b. Dampak korupsi.............................................................................11
c. Hubungan antara good and clean governance dengan gerakan anti korupsi..................12
B.3. Hubungan Antara Good And Clean Governance Dengan Dengan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik..13
BAB III : PENUTUP
C.1. Kesimpulan ......................................................................................14
C.2. Saran.................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.1. LATAR BELAKANG
Istilah clean and good governance atau tata pemerintah yang bersih dan baik merupakan wacana yang mengiringi gerakan reformasi. Wacana clean and good governance sering kali dikaitkan dengan tuntutan atau pengelolaan pemerintahan yang professional, akuntabel dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebuah kritik terhadap pengelolaan pemerintahan orde baru yang sarat KKN yang berakhir krisis ekonomi yang berkepanjangan . perdebatan clean and good governance merupakan bagian penting dari wacana umum demokrasi, HAM dan masyarakat madani yang di usung gerakan reformasi.
A.2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah materi dalam makalah ini diarahkan pada pengertian clean and good governance, prinsip-prinsip clean and good governance, pengertian korupsi menurut Kartini Kartono, asal usul korupsi dinegara berkembang, dampak dari korupsi, hubungan antara clean and good governance dengan kinerja birokrasi pelayanan public, supaya Pemerintah lebih bisa Akuntanbel.
A.3. TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan makalah ini untuk memahami pentingnya clean and good governance yang mewujudkan transparasi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan terjadinya kebocoran anggaran, penggunaan negara untuk kepentingan individu atau golongan, bukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
B.1. PENGERTIAN GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Istilah good and clean governance merupakan wacana baru dalam kosa kata ilmu politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara umum pengertiab good and clean governance adalah segala hal yang terkait dengan tindakan yang bersifat mengarah. Mengendalikan atau mempengaruhi urusan public untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Andi Faisal Bakti good and clean governance adalah pengejawentahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga Negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintah yang berkeadapan melalui wujud pemerintah yang suci dan damai. Dalam kontek Indonesia substansi good and clean governance di padankan dengan pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa. Menurut Santoso sebagaimana didefinisikan UNDP good and clean governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah bangsa. Pelaksanaan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsive terhadap kebutuhan rakyat dalam suasana demokratis, akuntabel dan trasparan.
B.2. PRINSIP-PRINSIP GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Untuk merealisasikan pemerintahan yang professional dan akutanbel yang berdasarkan pada prinsip-prinsip good and clean governance, Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental yaitu :
Partisipasi
Penegaan hukum
Transparansi
Rensponsif
Orientasi kesepakatan
Keadilan
Efektifitas dan efesiensi
Akutanbilitas
Visi strategis
a. Partisipasi
Semua warga negara mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah. Patisipasi tersebut di bangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa warga negara dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menyatakan pikiran melewati tulisan maupun lisan.[1] Dan Setiap orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi, serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi,jaksa,hakim,advokat). Dalam pasal 1,ayat 1,PP Nomor 71 Tahun 2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya bahkan setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi yang menangani perkara tindak pidana korupsi, seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut. [2]
b. Penegakan hukum
Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintah harus di tata oleh sebuah aturan hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum. Sehubungan dengan itu Santoso menegaskan harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum dengan karakter-karakter antara lain:
Supremasi hukum
Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan penguasa atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya)
Kepastian hukum
Bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak pertentangan antara satu dan lainnya.
Hukum yang reponsif
Aturan-aturan hukum itu disusun berdasrkan aspirasi masyarakat dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik
Penegakan hukum yang konsisten dan non diskrimatis
Bahwa penegakan hukum berlaku untuk semua islam
Independensi peradilan
Bahwa peradilan tidak dipengaruhi oleh penguasa
c. Trasparansi
Hal ini mutlak dilakukan untuk menghilangkan budaya korupsi dikalangan pelaksana pemerintah.
Mengutip kesimpulan Syed Husain Alatas, Kumorotomo menyimpulkan 7 macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi di Indonesia, yaitu:
Transactive corruption
Yaitu korupsi yang dilakukan saat transaksi dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dari transaksi dengan merugikan negara.
Investive corruption
Yakni investasi yang belum memiliki kepastian keuntungannya.
Neposistive corruption
Yakni pemberian pekerjaan pada keluarga sehingga mengurang efektifitas kontrol.
Defensive corruption
Yakni pihak korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan prilaku pemberikan tersebut merugikan negara.
Autogenic corruption
yakni korupsi yang dilakukan seseorang dan tidak melibatkan orang lain yang dapat menguntungkan dirinya.
Supportive corruption
yakni korupsi untuk melindungi korupsi yang lain yang telah dilakukannya.
Menurut Gaffar terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara trasparan, yaitu:
Penetapan posisi dan jabatan
Kekayaan pejabat publik
Pemberian penghargaan
Penetapan kebijakan
Kesehatan
Moralitas pejabat
Keamanan dan ketertiban
Kebijakan strategis
d. Rensponsif
Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat, tidak menunggu mereka menunggu keinginannya tetapi secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan masyarakat untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
Sesuai asas rensponsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki 2 etika yaitu:
Etika individual
Yakni kualivikasi etika individual menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.
Etika sosial
Yakni menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
Pemerintah bisa dikatakan baik jika telah melahirkan kebijakan yang beerdampak baik kepada sebagian negaranya. Sebaliknya Pemerintah bisa dikatakan buruk jika membuat sebagian warganya hidup tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh elit birokrasi. Terkait asas rensponsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kebijaka-kebijakan pembangunan terhadap semu kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya. Hal ini karena masih sering dijumpai masyarakat yang hidup dlam kemiskinan dan terbelakang dari segi pendidikan namun mereka menikmatinya. Hal ini bukan disebabkan karena tidak ada program yang dilakukan pemerintah tetapi secara kultural mereka menolak terhadap program-program pembangunan.
e. Konsensus
Bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Paradikma ini perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pemerintah karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan public yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntanbilitas dari proses pengelolaan tugas-tugas pemerintah dalam pengambilan berbagai kebijakan, pemerintah harus mengembankan kebijakan sikap yaitu:
Optimistik
Yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
Keberanian
Yakni keberanian dalam mengambil keputusan dengan penuh integritas dan kejujuran sesuai dengan prosedur yang benar serta tidak takut dengan intimadi penguasa atau organisasi tertentu.
Keadilan yang berwatak kemurahan hati
Yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.
f. Kesetaraan
Yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan karena kenyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majmuk baik etnis, agama dan budaya.
g. Efektifitas dan Efisiensi
Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan produk yang dapat menjangkau sebesar-besar kepentingan masyarakat. Sedangkan efesiensinya diukur dengan rasinalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan terbesar maka termasuk dalam kategori pemerintahan efesien.
h. Akutanbilitas
Akutanbilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Pengembangan akutanbilitas bertujuan agar para pejabat yang diberi kewenangan mengelola urusan publik selalu terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan.
Secara teoritik akutanbilitas menyangkut 2 dimensi yaitu akutanbilitas vertikal dan akutanbilitas horisontal. Akutanbilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya. Pemegang kekuasaan dalam struktur kenegaraan harus menjelaskan kepada masyarakat apa yang telah dilakukan, sedang dan akan yang dilakukan dimasa mendatang. Akutanbilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada atasan yang lebih tinggi. Seperti bupati mempertanggungjawabkan tugasnya kepada gubernur.
Sedangkan akutanbilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang jawaban publik kepada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD I, bupati dengan DPRD II.
i. Visi strategis
Visi strategis adalah pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang karena perubahan dunia dengan kemajuan tegnoliginya begitu cepat. Seseorang yang menempati jabatan publik harus mempunyai kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
B.3. PENGERTIAN KORUPSI
Menurut Kartini Kartono korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang mengambil keuntungan pribadi dengan merugikan kepentingan umumatau negara.
- Asal usul korupsi di negara berkembang
Sesungguhnya sejarah perkembangan korupsi beserta upaya pemberatasannya, terutama dalam skala mega, sudah berlangsung sejak tengah dasawarsa 1950-an. Dimulai ketika terjadi abuse of power oleh menteri ekonomi kala itu, Iskak Tjokroadisuryo, pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Korupsi berupa pemberian lisensi impor dari Politik Benteng dengan tak memberikannya kepada pengusaha pribumi yang kompeten dan diberikan kepada konco-konconya. Lisensi-lisensi tersebut akhirnya dijual kepada pengusaha keturunan Cina, sehingga dikenal istilah ''pengusaha Ali-Baba''.
PM Burhanuddin Harahap yang bekerja sama dengan TNI AD mengambil kebijakan antikorupsi yang efektif, yakni meluruskan pelaksanaan Politik Benteng. Karena kabinet ini umurnya pendek, upaya penegakan pemerintahan bersih tenggelam dengan suasana konflik politik antarpartai dalam Konstituante yang akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Konstituante itu pada 5 juli 1959. Pada saat yang hampir sama, Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Karena ketidaksiapan dalam mengisi pengganti manajemen dari asing ke tangan nasional, maka dari sini pula sejarah bancakan perusahaan negara (belakangan dikenal BUMN), banyak dilakukan pihak-pihak partai.
Kedahsyatan korupsi mengalami momentum pada pemerintahan lebih 30 tahun Orde Baru. Di mulai korupsi skala mega yang dialami Pertamina (1975) dengan kerugian diperkirakan sekitar 12,5 miliar dolar AS tanpa ada tindakan hukum kepada pihak-pihak yang terlibat. Kemudian dengan mengalirnya dana utang luar negeri rata-rata 5 miliar dolar AS per tahun (saat lengser Pak Harto stok utang sekitar 70 miliar dolar AS), investasi langsung perusahaan asing, eksploitasi sumber daya alam (terutama migas dan hutan) yang menjadi sumber dana domestik yang kolosal, maka pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis korupsi dari yang tradisional (upeti, sogok, perkoncoan, premanisme, dll) maupun bentuk baru (kolusi birokrat-pengusaha, kolusi bankir-pengusaha, mafia peradilan, penggelapan pajak, komersialisasi jabatan, kick-back dan mark-up proyek-proyek, rekayasa finansial, monopoli-oligopoli serta monopsoni-oligopsoni komoditas strategis, dst).
Kesemua itu menjadikan potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen menjadi hanya 7 persen per tahun. Perkiraan kebocoran anggaran bisa mencapai 30 persen hingga lebih dari 50 persen. Pada saat krisis tahun 1977 terjadi capital flight. Simpanan orang Indonesia di luar negeri akibat pelbagai kebocoran alias korupsi tersebut menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sekitar 85 miliar dolaar AS (atau sekitar Rp 750 triliun). Upaya pembentasan korupsi kala Orba sejak awal sudah ada. Mulai dengan adanya Komisi 4 dengan penasihatnya mantan Wapres Bung Hatta. Namun rekomendasinyapun tak digubris. Kemudian di luar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah tercantum dalam UUD 45, pemerintah Soeharto membentuk Inspektorat Jenderal di tiap lembaga negara dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai kontrol yang dikendalikan langsung presiden.
Namun efektivitasnya bukan hanya diragukan bahkan menjadi sumber kobocoran baru dengan terjadinya pengaturan laporan keuangan dan pelbagai bentuk KKN. Akhirnya BPK pun menjadi mandul dan malahan menjadi pengganda kebocoran. Wapres yang fokus kepada pengawasan serta juga ada menko dan menneg PAN yang juga bertugas untuk pengawasan pun hampir tak pernah terdengar kiprahnya. Barangkali semua itu karena sifat pemerintahan dan sistem politik otoritarian dan sentralistik sehingga sistem check and balance dari DPR maupun yudikatif menjadi lumpuh. Pers pun dibungkam bahkan para aktivis kritis pun banyak ditangkap.
Reformasi yang dilakukan sejak 1998 hingga sekarang juga baru menyentuh secara politik. Dan korupsi pun makin mengalami ramifikasi baik vertikal (menyebar ke daerah) maupun horizontal (bukan hanya di pemerintah dan lembaga yudikatif tapi juga ke DPR) sehingga popular dengan adanya ''korupsi berjamaah''. Modus operandinya di samping yang tradisional dan modern tak pernah hilang bahkan tipikal pascamodern pun bermunculan seperti lenyapnya keuangan negara ratusan triliun karena gelontoran dana rekap perbankan. Kemudian pembobolan bank (skala triliunan antara lain BNI, Mandiri), illegal logging, illegal fishing, penyelundupan komoditas strategis (migas, gula, beras, dst). Yang lebih baru adalah politik uang dalam sistem politik di pusat (KPU, pemilihan ketua partai, promosi jabatan di pemerintahan dan BUMN, dst), di daerah (pilkada oleh DPRD maupun pilkada langsung), dan masih banyak lagi. Upaya pemberantasan korupsi di masa reformasi ini dimulai momentum dengan adanya kebebasan pers dan kebebesan politik umumnya.
Dalam pelembagaannya dimulai dengan pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang mulai terjadi sedikit gereget dengan terungkapnya daftar kekayaan berbagai pejabat tinggi yang abnormal. Misalnya terungkapnya misteri kekayaan Jaksa Agung MA Rahman dan pejabat lainnya meski satu pun dari temuan itu tak ada tindak lanjut secara hukum. Malahan oleh pemerintahan Megawati KPKPN ini pun ''dibubarkan'' dan dintegrasikan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Pada pemerintahan Megawati keberadaan KPTPK ini pun sulit berperan, karena konon sulitnya pemberian izin bagi pejabat untuk diperiksa.
Baru sejak pemerintahan SBY sedikit terkuak harapan dengan lebih lancarnya izin tersebut dengan mulai adanya pemeriksaan (misal kasus KPU dan Bank Mandiri) bahkan juga mulai ada yang divonis (kasus pimpinan DPRD Sumbar dan pejabat daerah lainnya, kasus Gubernur Abdullah Puteh dan Kharis Walid). Patut dicatat dengan sedikit ada harapan ini, tak luput dari peran BPK sejak dipimpin Billy Joedono dan diteruskan oleh Anwar Nasution yang menguak data-data penyelewengan skala mega di pelbagai lembaga strategis. Namun, kesan masih memburu kasus sensitif secara politis dalam pemberantasan korupsi ini masih belum pupus, karena untuk kasus lebih kolosal semisal kasus BLBI yang nilainya puluhan triliun masih belum tersentuh sama sekali.
Dengan perkembangan tersebut, Indonesia menurut berbagai lembaga pemeringkat internasional sejak awal tahun 90-an hingga sekarang selalu masuk kategori negara terkorup. Gejala korupsi ini seperti belum terbersit harapan untuk pemberantasannya. Hal ini karena korupsi telah kadung menjadi kebudayaan.[3]
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya korupsi antara lain:
Kemiskinan
Korupsi dengan latar belakang kemiskinan berasal dari kebutuhan.
Kekuasaan
Kekuasaan sering membuat orang bertindak sewenang-wenang dan mengambil keuntungan dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Budaya
Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem keluarga besar, yaitu masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota keluarga besar itu.
Ketidaktahuan
Ini adalah alasan yang mengada-ada karena dana yang diberikan sering tidak diketahui peruntukannya. Karena tidak tahu dan tidak perlu mencari tahu maka ketika ada masalah dana tersebut dijadikan sebagai korupsi.
Rendahnya kualitas moral masyarakat
Lemahnya kelembagaan politik suatu negara
Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum dan penerapannya. Jika kasus korupsi tidak ditangani sungguh-sungguh maka akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa korusi ”aman” dilakukan asal membayar ”harga tertentu”.
Menjadi penyakit bersama.
Sebagai sebuah penyakit maka dengan cepat menular dari kawasan satu kekawasan lain.
- Dampak korupsi
Beberapa hal yang diakibatkan dari korupsi antara lain menimbulkan:
Kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah.
Menular kesektor swasta dalam bentuk usaha mengejar laba dengan cepat dan berlebihan, menyisihkan investor baru dan mengurangi pertumbuhan sektor swasta.
Kenaikan harga administrasi karena pembayar pajak membayar beberapa kalilipat untuk pelayanan yang sama.
Mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik.
Merusak moral aparat pemerintah.
Menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan yang akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah.
Pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban untuk kemakmuran bersama di masa mendatang.
B.3. HUBUNGAN ANTARA CLEAN AND GOOD GOVERNANCE DENGAN GERAKAN ANTI KORUPSI
Clean and good governance meniscayakan adanya transparansi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan individu atau golongan bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam menciptakan situasi perang terhadap korupsi Didin S Damanhuri menyusun grand design:
Pertama, apapun kebijakan antikorupsi yang diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut hendaknya ditempatkan sebagai ''totok nadi'' yang strategis, berkelanjutan, dan paling bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, baik dari kaum agamawan, akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia internasional, dan seterusnya
Kedua, menghindari politik belah bambu yang menggunakan KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu pihak-pihak yang secara politis harus dikalahkan dan membiarkan pihak-pihak yang dianggap kawan politik.
Ketiga, keseriusan untuk mencari solusi terbebasnya TNI dan Polri dari dunia politik dan bisnis secara tuntas.
Keempat, euforia elite politik di pusat dan daerah dalam menikmati kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang seharusnya semakin mendewasakan kehidupan berdemokrasi yang ujung-ujungnya juga mampu membangkitkan kembali kehidupan ekonomi dengan ukuran rakyat yang semakin sejahtera. [4]
B.4. HUBUNGAN ANTARA GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DENGAN DENGAN KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Dalam rangka menyelamatkan keuangan negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan diantaranya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Kemudian dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah semakin jelas keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem pengelolaan keuangan negara, mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang diterapkan nampaknya masih lemah dan cenderung membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran.
Penerapan PP Nomor 60 Tahun 2008 bukan hanya tanggungjawab BPKP tetapi seluruh instansi pemerintah guna mewujudkan Good Governance untuk menuju Clean Government. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) PP 60 tahun 2008 jelas bahwa BPKP mempunyai tugas yang cukup berat.
Tentu bukan soal yang mudah dalam mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas tersebut, perlu adanya kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa yang tertuang dalam PP tersebut.[5]
Dengan tiga pilar pelayanan public menjadi titik setrategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Clean and good governance di Indonesia. Tiga pilar tersebut yakni:
Pelayanan publik selama ini menjadi tempat dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah.
Pelayanan publik tempat dimana berbagai aspek Clean and good governance dapat diartikulasikan lebih mudah.
Pelayanan publik melibatkan semua unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.
BAB III : PENUTUP
C.1. Kesimpulan
Dari penjabaran pembahasan diatas, kami penulis menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
- Good and Clean Governance sebagai wacana bagi pemerintah untuk mewujudkan kepemerintahan yang besih, profesional, akuntanbel dalam segala bidang, serta bebas dari mala praktek yang merugikan negara.
- Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah bisa lebih transparan dalam pelayanan publik, dan bisa meningkatkan kinerja birokasi.
- Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah bisa mempunyai monitoring yang handal dari kalangan swasta atau masyarakat pada umumnya.
- Good and Clean Governance adalah landasan untuk menciptakan negara yang kuat, kokoh, tangguh dalam segala aspek.
C.2. Saran
- Good and Clean Governance harus dijalankan semaksimal mungkin oleh kalangan birokrasi atau kalangan pemegang kekuasaan dan juga harus didukung oleh masyarakat. Kalau semua sudah maksimal maka pemerintah akan selalu memegang teguh peraturannya yakni (bebas KKN).
- Pemerintah harus transparan dalam hal dalam pelayanan publik, supaya negara terbebas dari oknum-oknum yang merugikan negara.
- Supaya pemerintah menggalakkan kepada semua kalangan kepemerintahan mulai dari RT sampai ke Pejabat yang paling tinggi.
- Supaya pemerintah mengadakan semacam seminar-seminar wawasan kebangsaan kepada semua masyarakat umumnya, khususnya kepada para Pejabat Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Dwipayana G. Ramadhan K.H. Soeharto pt. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989
Didin S Damanhuri, Kompleksitas Korupsi ,Pengamat Ekonomi Politik dan Guru Besar Ekonomi IPB, sumber opini agung prabowo * AGP_ketan@yahoo.co.id
Pengurus Pergerakan Indonesia (PI) Banten, Edisi: LI, Maret 2007
Rosyada, et. Al., Dede. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Tata kelola Good & Clean Governance, Jakarta : ICC UIN Malang 2007
Sri Rahayu BERITA KEGIATAN - Diklat SPIP BPKP Jabar, (Humas), Situs Web BPKP, PERWAKILAN BPKP PROVINSI JAWA BARAT, Bandung, Kamis - 23 April 2009
[1] Dwipayana G. Ramadhan K.H. Soeharto pt. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989
[2] Pengurus Pergerakan Indonesia (PI) Banten, Edisi: LI, Maret 2007
[3]. Didin S Damanhuri, Kompleksitas Korupsi ,Pengamat Ekonomi Politik dan Guru Besar Ekonomi IPB, sumber opini agung prabowo * AGP_ketan@yahoo.co.id
[4]. Didin S Damanhuri, Kompleksitas Korupsi ,Pengamat Ekonomi Politik dan Guru Besar Ekonomi IPB, sumber opini agung prabowo * AGP_ketan@yahoo.co.id
[5]. Berita Kegiatan - Diklat SPIP BPKP Jabar, Penulis: Sri Rahayu (Humas), Situs Web BPKP, Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Barat, Bandung, Kamis - 23 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.