Puasa Rajab
sebagaimana puasa sunnah lainnya sah dilakukan dengan niat berpuasa secara mutlak, tidak disyaratkan ta’yin (menentukan jenis puasanya).
Misalkan dengan niat “Saya niat berpuasa karena Allah”, tidak harus ditambahkan “karena melakukan kesunnahan puasa Rajab”.
Sementara puasa qadla’ Ramadhan tergolong puasa wajib yang wajib ditentukan jenis puasanya, misalkan dengan niat “Saya niat berpuasa qadla’ Ramadhan fardlu karena Allah”.
Menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadla’ Ramadhan hukumnya diperbolehkan (sah) dan pahala keduanya bisa didapatkan.
Bahkan menurut Syekh al-Barizi, meski hanya niat mengqadla’ puasa Ramadhan, secara otomatis pahala berpuasa Rajab bisa didapatkan.
Kesimpulan di atas didasarkan atas keterangan dalam kitab Fathul Mu’in beserta hasyiyahnya, I’anatuth Thalibin sebagai berikut:
ﻭﺑﺎﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻴﺼﺢ ﻭﻟﻮ ﻣﺆﻗﺘﺎ ﺑﻨﻴﺔ ﻣﻄﻠﻘﺔ ﻛﻤﺎ ﺍﻋﺘﻤﺪﻩ ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ
( ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻭﻟﻮ ﻣﺆﻗﺘﺎ ) ﻏﺎﻳﺔ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﺑﻨﻴﺔ ﻣﻄﻠﻘﺔ ﺃﻱ ﻻ ﻓﺮﻕ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺑﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺆﻗﺘﺎ ﻛﺼﻮﻡ ﺍﻻﺛﻨﻴﻦ ﻭﺍﻟﺨﻤﻴﺲ ﻭﻋﺮﻓﺔ ﻭﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﻭﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺒﻴﺾ ﺃﻭ ﻻ ﻛﺄﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﺍ ﺳﺒﺐ ﻛﺼﻮﻡ ﺍﻻﺳﺘﺴﻘﺎﺀ ﺑﻐﻴﺮ ﺃﻣﺮ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﻭ ﻧﻔﻼ ﻣﻄﻠﻘﺎ
( ﻗﻮﻟﻪ ﺑﻨﻴﺔ ﻣﻄﻠﻘﺔ ) ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﻴﺼﺢ ﻓﻴﻜﻔﻲ ﻓﻲ ﻧﻴﺔ ﺻﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻣﺜﻼ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻧﻮﻳﺖ ﺍﻟﺼﻮﻡ ( ﻗﻮﻟﻪ ﻛﻤﺎ ﺍﻋﺘﻤﺪﻩ ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ ) ﺃﻱ ﺍﻋﺘﻤﺪ ﺻﺤﺔ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﺍﻟﻤﺆﻗﺖ ﺑﻨﻴﺔ ﻣﻄﻠﻘﺔ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻜﺮﺩﻱ ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﺳﻨﻰ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﺍﻟﺨﻄﻴﺐ ﺍﻟﺸﺮﺑﻴﻨﻲ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻝ ﺍﻟﺮﻣﻠﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻓﻲ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﻤﺘﺄﻛﺪ ﺻﻮﻣﻬﺎ ﻣﻨﺼﺮﻑ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺑﻞ ﻟﻮ ﻧﻮﻯ ﺑﻪ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﺣﺼﻠﺖ ﺇﻟﺦ ﺯﺍﺩ ﻓﻲ ﺍﻹﻳﻌﺎﺏ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﺃﻓﺘﻰ ﺍﻟﺒﺎﺭﺯﻱ ﺑﺄﻧﻪ ﻟﻮ ﺻﺎﻡ ﻓﻴﻪ ﻗﻀﺎﺀ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻩ ﺣﺼﻼ ﻧﻮﺍﻩ ﻣﻌﻪ ﺃﻭ ﻻ ﻭﺫﻛﺮ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﻥ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻟﻮ ﺍﺗﻔﻖ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﺭﺍﺗﺒﺎﻥ ﻛﻌﺮﻓﺔ ﻭﻳﻮﻡ ﺍﻟﺨﻤﻴﺲ ﺍﻧﺘﻬﻰ
“Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardlu, yaitu puasa sunnah, maka sah berpuasa sunnah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunnah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama.
“Ucapan Syekh Zainuddin, meski puasa sunnah yang memiliki jangka waktu, ini adalah ghayah (puncak) keabsahan puasa sunnah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam keabsahan tersebut antara puasa sunnah yang berjangka waktu seperti puasa Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunnah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa’ dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak”.
“Ucapan Syekh Zainuddin, dengan niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dengan niat semisal, saya niat berpuasa.”
“Ucapan Syekh Zainuddin, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama, maksudnya lebih dari satu ulamaberpegangan dalam keabsahan puasa sunnah dengan niat puasa mutlak.
Dalam kitabnya Syekh al-Kurdi disebutkan, dalam kitab al-Asna demikian pula Syekh Khatib al-Sayarbini dan Syekh al-Jamal al-Ramli, berpuasa di hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan.
Dalam kitab al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syekh al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadla’ (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yang dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya bisa didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila berketepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis.
(Syekh Zainuddin al-Malibari dan Syekh Abu Bakr bin Syatha, Fathul Mu’in
dan Hasyiyah I’anatuth Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz 2, halaman 224).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.