“Mengapa
Tuan melubangi perahu itu, yang akibatnya bisa menenggelamkan
penumpangnya? Sesungguhnya Tuan telah berbuat suatu kesalahan yang
besar.”
Di dalam Al-Quran nama “Khidhir” RA tidak disebut secara sharih
(tegas dan lugas). Namun, ada ceritera Nabi Musa yang mendapat
perintah Allah SWT untuk berguru kepada salah seorang hamba-Nya yang
shalih dan dirahmati dengan ilmu ladunni, yaitu ilmu ghaib yang secara
khusus diberikan oleh Allah SWT langsung dari sisi-Nya tanpa perantara
guru zhahir (dari golongan manusia).
Orang shalih yang ditemui Nabi Musa AS dan dijadikan guru tersebut menurut pendapat jumhur ulama tafsir (mufassiriin)
adalah seorang yang terkenal dengan julukan “Khidhir” RA. Nama
panggilannya adalah Abal Abbas, nama aslinya Balya bin Mulkan bin
Faaligh bin ‘Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Syam bin Nuh AS. Dia
adalah keturunan para raja.
Adapun sebab dari datangnya perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS untuk belajar kepada Khidhir adalah sebagai berikut:
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Ibnu Abbas dari Ubai bin Ka’ab, Rasulullah SAW bersabda: Ketika bangsa
Israel sudah terbebas dari kejaran Fir’aun, Nabi Musa AS berkhutbah di
depan Bani Israel, umatnya.
Isi khutbah itu sangat menyentuh kesadaran para pendengarnya, maka
bercucuran air mata mereka. Hati mereka juga bergetar hebat, karena
sangat terkesan.
Dalam kesempatan tersebut, datang seorang laki-laki dari Bani Israel
dan bertanya kepada Nabi Musa AS, “Ya Rasulullah, adakah di muka bumi
ini seorang yang lebih pandai dari Tuan?”
Nabi Musa menjawab, “Tidak ada.”
Kemudian Allah SWT memberikan teguran keras kepada Nabi Musa AS,
karena ia lalai, tidak menyandarkan ilmunya kepada Allah SWT (tidak
mengatakan ‘Allaahu a’lam’). Allah juga memberi tahu kepada
Nabi Musa AS bahwa ada seorang hamba di antara hamba hamba-Nya yang
lebih pandai darinya. Dan hamba itu adalah Khidhir, yang tinggal di
pulau kecil terletak di pertemuan dua lautan.
Mendengar bahwa ada orang yang lebih pandai dari dirinya, Nabi Musa AS berniat untuk berguru kepadanya.
Setelah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam
perjalanan jauh, Nabi Musa AS, atas petunjuk Allah SWT, berangkat
bersama seorang muridnya yang bernama Yusya’ bin Nun. Sebagaimana
dikisahkan dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 60-82:
Ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya (menurut ahli tafsir
yang dimaksud dengan murid Nabi Musa di sini adalah Yusya bin Nun),
“Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua
lautan, atau aku berjalan sampai bertahun-tahun”.
Maka tatkala mereka bertemu dengan pertemuan dua lautan itu, mereka
lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut.
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada
muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa
letih dengan perjalanan kita ini.”
Muridnya menjawab, “Tahukah Tuan tatkala kita mencari tempat
berlindung tadi? Maka sesungguhnya aku lupa untuk menceriterakan ihwal
ikan itu. Dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceriterakannya
kecuali setan. Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang
aneh sekali.”
Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang
telah Kami ajarkan kepadanya ilmu langsung dari sisi Kami (ilmu
ladunni).” Menurut beberapa ahli tafsir, beberapa kalimat yang ada di
dalam Al-Quran surah Al-Kahfi itu menunjuk kepada kisah Nabi Musa
bertemu dengan Khidhir.
“Seorang hamba di antara hamba hamba Kami”, menurut ahli tafsir, yang
dimaksud “hamba” di sini adalah Khidhir RA. “Yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu”, maksudnya ilmu khusus, yaitu ilmu tentang yang ghaib,
“langsung dari sisi Kami (ilmu ladunni).”
Musa berkata kepada Khidhir RA, “Bolehkah saya mengikuti Tuan supaya
Tuan mengajarkan kepada saya ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepada Tuan?”
Dia menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
Musa berkata, “Insya Allah, Tuan akan mendapati saya sebagai orang
yang sabar. Dan saya tidak akan menentang Tuan dalam sesuatu urusan
pun.”
Dia berkata, “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Maka berjalanlah keduanya, hingga keduanya menaiki perahu lalu Khidhir RA melubanginya.
Musa berkata, “Mengapa Tuan melubangi perahu itu, yang akibatnya
bisa menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya Tuan telah berbuat
suatu kesalahan yang besar.”
Khidhir berkata, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali kali tidak akan sabar bersama dengan aku’?”
Musa berkata, “Janganlah Tuan menghukum saya karena kelupaan saya,
dan janganlah Tuan membebani saya dengan kesulitan dalam urusan saya.”
Maka berjalanlah keduanya. Tatkala mereka berjumpa dengan seorang remaja, Khidhir RA membunuhnya.
Musa berkata, “Mengapa Tuan bunuh jiwa yang bersih bukan karena dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya Tuan telah melakukan sesuatu yang
munkar.”
Khidhir berkata, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama denganku’?”
Musa berkata, “Jika saya bertanya kepada Tuan tentang sesuatu sesudah
ini, Tuan jangan memperbolehkan saya menyertai Tuan, sesungguhnya Tuan
sudah cukup memberikan ‘udzur (toleransi) kepada saya.”
Maka keduanya berjalan, hingga sampai kepada penduduk suatu negeri.
Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu. Tapi penduduk negeri
itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding
rumah yang hampir roboh. Maka Khidhir menegakkan (memperbaiki) dinding
itu.
Musa berkata, “Jikalau Tuan mau, niscaya Tuan mengambil upah untuk itu.”
Khidhir berkata, “Inilah perpisahan kita. Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar terhadapnya.
Adapun bahtera atau kapal itu kepunyaan orang orang miskin yang
bekerja di laut. Dan aku merusak bahtera itu (dengan tujuan
menyelamatkan), karena di depan mereka ada seorang raja yang selalu
merampas tiap-tiap bahtera.
Tentang anak muda itu, kedua orangtuanya adalah orang mukmin. Dan
kami khawatir dia akan mendorong mereka pada kesesatan dan kekafiran.
Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka anak
lain yang lebih baik kesuciannya daripada anak itu dan lebih kasih
sayangnya (kepada ibu-bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua.
Sedangkan ayahnya adalah seorang yang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki
agar mereka sampai kepada kedewasaan dan mengeluarkan simpanan itu.
Sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukan semua itu atas
kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak sabar terhadapnya.”
Keterangan Ahli Tafsir
Dalam kitab Tafsir Al-Jalalain, karya Al ‘Allamah
Jalaluddin bin Ahmad Al-Mahalli dan diteruskan oleh muridnya,
Al-’Allamah Jalaluddin bin Abi Bakar As-Suyuthi, ditulis sebagai
berikut:
Ayat yang berkenaan langsung dengan status Khidhir apakah ia nabi
atau wali adalah surah Al-Kahfi ayat 65, dengan penafsiran sebagai
berikut: “Lalu mereka berdua (Nabi Musa AS dan muridnya) bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami (menurut ahli tafsir
yang dimaksud hamba di sini adalah Khidhir RA), dan telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi kami (maksudnya derajat kenabian).” Itu
menurut pendapat sebagian ulama. Tapi ulama yang setuju dengan pendapat
kedua, yakni Khidhir RA sebagai wali, lebih banyak.
Dalam kitab Badai’uz Zuhur fi Waqaai’id Duhur
diceriterakan, Khidhir lahir di sebuah gua. Ketika ia masih bayi,
ibundanya memberinya susu kambing segar setiap hari. Kemudian dia
diadopsi oleh seorang penggembala dan mendapat didikan darinya hingga
dewasa.
Dia memang seorang anak yang cerdas dan terampil, terutama dalam bidang baca tulis. Sehingga dia bisa mendalami Shuhuf, kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Al-Khalil AS.
Mengenai nama, aslinya ia bernama Balya bin Mulkan, sedangkan nama panggilannya adalah Abul Abbas. Gelarnya adalah “Khidhir”.
Berkenaan dengan gelar itu, juga banyak versi. Menurut hadits
riwayat Imam Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
dia disebut Khidhra’ (Khidhir) karena dia duduk memakai kain dari bulu
unta berwarna putih, jika digerakkan keluar sinar warna hijau di
bawahnya.” (HR Ahmad). Dalam bahasa Arab, khidir bermakna “hijau”.
Sedang menurut versi Imam Bukhari, “Sesungguhnya dia disebut Khidhir
karena dia duduk memakai kain dari bulu unta berwarna putih, jika
digerakkan keluar sinar warna hijau.” (HR Bukhari).
Versi lain, menurut riwayat Abu Nashr Muhammad bin Al-Fadh
Al-Khaza’i, dari Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan Al-Qasar, dari Ahmad
bin Yusuf As-Salami, dari Muhammad bin Yusuf Al-Faryani, ia berkata,
“Sufyan telah menuturkan dari Mansur, dari Mujahid, ia berkata,
Dinamakan Khidhir kerena, setiap kali ia shalat, di sekitarnya memancar
warna hijau.”
Al-Khatabi mengatakan, “Ia dijuluki Khidhir karena cahaya wajahnya berwarna hijau.”
Sedangkan menurut Mujahid, “Ia dijuluki Khidhir karena, kalau ia shalat, tempat sujudnya menjadi hijau.”
Wallaahu a’lam. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.