A.
PENGERTIAN ILMU FARAIDH
Setiap manusia
pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan mengalami kematian. Peristiwa
kelahiran seseorang, tentunya menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti
timbulnya hubungan hukum dengan masyarakat sekitarnya, dan timbulnya hak dan
kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan menimbulkan akibat hukum
kepada orang lain, terutama pada pihak keluarganya dan pihak-pihak tertentu
yang ada hubungannya dengan orang tersebut semasa hidupnya.
Dalam hal kematian (meninggalnya) seseorang, pada prinsipnya, segala kewajiban perorangannya tidak beralih kepada pihak lain. Adapun yang menyangkut harta kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih kepada pihak lain yang masih hidup, yaitu kepada orang-orang yang telah ditentukan sebagai pihak penerimanya.
Proses
peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang masih hidup inilah
yang diatur Hukum Waris/Ilmu Faraidh (Suparman Usman,1990:48), atau juga
disebut Fiqh Mawaris (فقه الموارث).
Lafaz al-faraidh
(الفرائض),
sebagai jamak dari lafaz faridhah (فريضة), oleh ulama, faradhiyun diartikan
semakna dengan lafaz mafrudah (مفروضة), yakni bagian yang telah dipastikan atau
ditentukan kadarnya. Diartikan demikian, karena saham-saham (bagian-bagian)
yang telah dipastikan kadarnya dapat mengalahkan saham-saham yang belum
dipastikan kadarnya (Fatchurrahman, 1981:31).
Lafaz
al-Mawarits (المواريث) merupakan jamak dari lafal mirats (ميراث). Maksudnya adalah:
التركة التي خلفها الميت وورثها غيره
Harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh si mati diwarisi oleh yang lainnya (ahli
waris) (Hasanain Muhammad Makhluf, 1958:9).
Para ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang
ilmu faraidh atau fiqh mawaris. Walapun definisi-definisi yang mereka kemukakan
se-cara redaksional berbeda, namun definisi-definisi tersebut mempunyai
pengertian yang sama.
Muhammad
al-Syarbiny mendefinisikan ilmu Faraidh sebagai berikut:
الفقه المتعلق بالإرث ومعرفة الحساب الموصل إلى معرفة ذلك
ومعرفة قدر الواجب من التركة لكل ذي حق .
Ilmu fiqh
yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang
dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian
yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris) (Muhammad
al-Syarbiny, 1958:3).
Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan
sebagai berikut:
علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقدار كل وارث وكيفية
التوزيع .
Ilmu yang
mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak
mendapatkannya, kadar yang diterima oelh tiap-tiap ahli waris, dan cara
pembagiannya (Hasbi Ash-Shiddieqy. 197:18).
Muhammad
Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut:
العلم الموصل إلى معرفة قدر ما يجب بكل ذي حق من التركة
Ilmu yang
membahas tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang
berhak menerimanya (ahli waris) (Abd. al-Hamid, t.t.:7).
Rifa`i Arief
mendefinisikan sebagai berikut:
قواعد وأصول تعرف بها الورثة والنصيب المقدر لهم وطريقة
تقسيم التركة لمستحقها.
Kaidah-kaidah
dan pokok-pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah
ditentukan bagi mereka (ahli waris), dan cara membagikan harta peninggalan
kepada orang (ahli waris) yang berhak menerimanya. (Rifa`i Arief, t.t.:1).
Dari definisi-definisi
di atas, dapatlah dipahami bahwa ilmu Faraidh atau Fiqh Mawaris adalah ilmu
yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang
ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peniggalan tersebut,
bagain masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta
peninggalan itu.
B.
PEMBAGIAN WARISAN MENURUT
KETENTUAN SYARI`AT ISLAM DAN SUMBER HUKUMNYA
Ketentuan-ketentuan
Syari`at yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih, termasuk didalamnya
masalah pembagian warisan, selama tidak ada dalil yang menunjukkan
ketidakwajibannya, merupakan suatu keharusan yang patut dilaksanakan oleh
seluruh umat Islam.
Bagi
umat Islam yang mentaati dan melaksanakn ketentuan pembagian warisan sesuai dengan
yang diperintahkan oleh Allah SWT. niscaya mereka akan dimasukkan oleh Allah
SWT. ke dalam surga untuk selama-lamanya. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak
mengindahkannya akan dimasukkan ke dalam api neraka untuk selama-lamanya.
Ultimatum kekekalan di neraka bagi mereka yang melanggar ketentuan Allah SWT.
dinyatakan dalam al-Qur’an:
ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خالدا فيها
وله عذاب مهين (النساء: 14)
Dan barang
siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, Allah akan memasukkannya ke dalam neraka sedang ia
kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. al-Nisa,
4:14).
Mengenai
pembagin warisan ini, Rasulullah saw. memerintahkan secara tegas kepada umatnya
untuk melaksanakan pembagian warisan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan
dalam kitab allah (al-Qur’an). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dan
Abu Daud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
أقسموا المال بين أهل الفرائض على كتاب الله .
Bagikanlah
harta waris di antara para ahli waris menurut Kitabullah.
Dari uraian
di atas, dapatlah difahami bahwa hukum melaksanakan dan mengamalkan pembagian
warisan yang sesuai dengan syari’at Islam adalah wajib (fardhu ‘ain)
bagi setiap individu muslim.
Sumber-sumber
hukum Islam yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan atau memecahkan suatu
masalah hukum adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijtihad (fardi dan jama’i).
apabila suatu masalah belum/tidak ada dasar hukumnya dalam al-Qur’an, maka
ditetapkan berdasarkan al-Sunnah. Apabila dalam al-Sunnah pun tidak
diketemukan, maka ditetapkan berdasarkan hasil ijtihad. Hal tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Mu’adz bin Jabal:
كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال
أقضي بكتاب الله فإن لم أجد فبسنة رسول الله فإن لم أجد أجتهد رأيي ولا ألو فضرب
رسول الله على صدري وقال : الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله .
(رواه أحمد وأبو داود)
Bagaimana
engkau memutuskan apabila datang padamu suatu perkara ? Mu’adz menjawab: aku
putuskan berdasarkan kitabullah, jika atu tidak memperoleh (hukumnya dalam
kitabullah), maka aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah, jika aku tidak
menemukan (hukumnya dalam sunnah rasulullah) maka aku berijtihad pendapatku dan
aku tidak mengabaikan (perkara itu). Lalu Rasulullah menepuk dadaku seraya
berkata: Segala puji bagi rasulullah (Mua’dz) kepada sesuatu yang diridhai oleh
rasulullah (H.R. ahmad dan abu Dawud).
Sumber-sumber hukum yang
dijadikan dasar dalam pembagian warisan adalah:
1.
Al-Qur’an
Al-Qu’an menjelaskan
ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara jelas antara lain:
للرجال نصيب مما ترك الوالدان
والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون مما قل منه أو كثر نصيبا
مفروضا (النساء: 7)
Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. Dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan (Q.S.
al-nisa, 4:7).
يوصيكم الله في أولادكم للذكر
مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة فلها
النصف ولأبويه لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد فإن لم يكن له ولد
وورثه أبواه فلأمه الثلث فإن كان له إخوة فلأمه السدس من بعد وصية يوصي بها أو دين
آبأؤكم وأبنآؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعا فريضة من الله إن الله كان عليما
حكيما .
(النساء: 11)
Alaah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu:
bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua, makak bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu satu saja, maka ia memperoleh
separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas sudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-nisa, 4:12).
ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن
لم يكن لهن ولد فإن كان لهم ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بها أو دين
ولهم الربع مما تركتم إن لم يكن لكم ولد فإن كان لكم ولد فلهن الثمن مما تركتم من
بعد وصية توصون بها أو دين وإن كان رجل يورث كلالة أو امرأة وله أخ أو أخت فلكل
واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء فى الثلث من بعد وصية يوصي بها
أو دين غير مضار وصية من الله والله عليم حليم.
(النساء:
12)
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sudah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu atau (dan) sudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha pemyantun. (Q.S. al-Nisa, 4: 12)
يستفتونك قل الله يفتيكم فى
الكللة إن امرؤا هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ما ترك وهو يرثها إن لم يكن لها
ولد فإن كانتا اثنتين فلهما الثلنم مما ترك وإن كانوا إخوة رجالا ونساء فللذكر مثل
حظ الأنثيين يبين الله لكم أن تضلوا والله بكل شيء عليم . (النساء: 176)
Memereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah), katakanlah: Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalh (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan, Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu (Q.S.
al-nisa, 4: 176).
2.
Al-Sunnah
Hadis yang
menjadi ketentuan pembagian warisan antara lain:
أقسموا المال بين أهل الفرائض
على كتاب الله .
Bagikanlah
harta warisan di antara ahli waris menurut kitabullah. (H.R. muslim dan abu
Dawud).
قال النبي صلى الله عليه وسلم
ك ألحقوا الفرائض بأهلها، فما بقي فهو لأولى رجل ذكر .
Nabi saw
bersabda: “Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak. Sesudah
itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama (H.R. Bukhori dan
Muslim).
3.
Ijma’ dan Ijtihad
Ijma’
dan ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid
kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap
pemecahan-pemecahan terhadap masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh
nash-nash sharih. Seperti pembagian muqasamah (bagi sama) dalam
masalah al-Jaddu wal-Ikhwah (kakek bersama-sama dengan saudara-saudara),
pembagian bagi yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam masalah wasiat
wajibah, pengurangan dan penambahan bagi para ahli waris dalam masalah ‘Aul
dan Radd, pembagian tsulutsul baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika
hanya bersama bapak dan suami atau isteri dalam masalah Gharrawain, dan
lain sebagainya.
C.
HUKUM MEMPELAJARI DAN
MENGAJARKAN ILMU FARAIDH
Dalam
ayat-ayat mawaris (Q.S. al-nisa, 4: 11, 12, dan 176), Allah SWT. menjelaskan
bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian
wariasan dan syarat-syaratnya, menjelaskan keadaan-keadaan di mana manusia
mendapat warisan dan di mana ia tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan
dengan penetapan atau menjadi ‘ashabah (menunggu sisa atau mendapat
seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus, dan kapan ia terhalang untuk
mendapatkan warisan,sebagian atau seluruhnya.
Ketiga
ayat di atas mencakup pokok-pokok ilmu faraidh. Barang siapa memahami,
menghafal dan menguasainya, maka mudahlah baginya mengetahui bagian setiap ahli
waris dan memahami hikmah Allah dalam pembagian warisan tersebut (lihat
al-Shabuni, t.t.:8-9).
Begitu
besar derajat ilmu Faraidh bagi umat islam sehingga – oleh sebagian besar ulama
– dikatakan sebagai separoh ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh ahmad Nasa’i, dan Daru Quthni:
تعلموا القرآن وعلموه الناس،
وتعلموا الفرائض وعلموها الناس، فإني امرؤ مقبوض والعلم مرفوع ويوشك أن يختلف
اثنان فى الفريضة فلا يجدان أحدا يخبرها .
Pelajarilah
al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu Faraidh dan
ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan
direnggut (wafat). Sesungguhnya Ilmu ini akan dijabut dan akan timbul fitnah
hingga kelak ada dua orang berselisih mengenai pembagian warisan, namun tidak
ada orang yang memutuskan perkara mereka.
Hadis di atas menunjukkan, bahwa
Rasulullah saw. memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan
mengajarkan ilmu Faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam
pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama Faraidh. Perintah
tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu
itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada
seorang pun yang melaksanakannnya, maka seluruh umat islam menanggung dosa,
disebabkan melalaikan suatu kewajiban, tak ubahnya meninggalkan kifa’i
yang lain.
Dari uraian di atas, dapatlah
dipahami bahwa hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu Faraidh adalah fardhu
kifayah. Namun demikian, ada sebagian ahli Faraidh yang menyatakan
bahwa hukumnya fardhu kifayah di satu pihak, dan fardhu ‘ain di pihak
lain (lihat Ali bin Qasim t.tL22; Rifa’i Arief, t.t:2).
Hukum
mempelajari dan mengajarkan ilmu Faraidh bagi seluruh umat islam adalah fardhu
kifayah, sedangkan bagi para qadhi (hakim) dan mufti (pemberi
fatwa) adalah fardhu ‘ain. Sebab, di antara syarat-syarat pewarisan,
pengetahuan tentang pewarisan (Ilmu faraidh) merupakan syarat khusus yang harus
mereka (hakim dan mufti) kuasai/miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.