Minggu, 06 Oktober 2024

The Real Raja Jawa Di Nusantara

Ki Ageng Suryomentaram adalah putra ke-55 Sri Sultan Hamengkubuwono VII dari Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Dirinya lahir dengan nama Bendara Raden Mas Kudiarmaji pada tanggal 20 Mei 1892 di lingkungan istana.
Dia menempuh pendidikan setingkat sekolah dasar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan keraton. Atas saran ibunya, dia kemudian mengambil kursus bahasa Belanda, Arab, dan Inggris.
Dia juga mengikuti persiapan dan ujian sebagai Klein Ambtenaar, dan kemudian magang bekerja di gubernuran selama dua tahun. 

Kudiarmaji gemar belajar dan membaca buku-buku sejarah, filsafat, ilmu jiwa dan agama.Di usia 18 tahun, Kudiarmaji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. 
Kedudukannya sebagai pangeran membuatnya mendapatkan banyak fasilitas, seperti tempat tinggal, gaji bulanan, kendaraan, dan pengawalan.

Pangeran Suryomentaram merasakan kegelisahan dalam hidupnya. Dia merasakan lingkungan keraton mengekangnya. Berbagai upaya dirinya lakukan untuk mengatasi kegelisahannya. 
Dia membagikan harta kekayaannya, bertirakat ke tempat-tempat keramat, dan berguru ke mana-mana. Ia juga pergi mengembara ke daerah Kroya, Purworejo, sembari melakukan pekerjaan serabutan sebagai pedagang batik, petani, kuli dan penggali sumur. 
Dia kemudian dijemput balik lagi ke kraton. 

Pada 1921, ayahandanya meninggal dunia. Setelah kakaknya dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana VIII, dirinya mengajukan permohonan berhenti dari kedudukan sebagai pangeran.
Setelah kematian istrinya, juga permohonan dikabulkan,dengan berbekal uang secukupnya Suryomentaram meninggalkan keraton. Gelar pangeran pun kini benar-benar ditinggalkan, dia mengganti namanya menjadi Ki Ageng Suryomentaram dan memilih menjadi seorang petani 
di daerah Bringin, Salatiga. Di sana ia menjadi guru aliran kebatinan bernama Kawruh Begja.

Walau mengasingkan diri, Suryomentaram tetap menjalin relasi dengan beberapa pangeran yang memilih menepi seperti dirinya, termasuk Ki Hajar Dewantara. Mereka membentuk perkumpulan dan menggelar sarasehan rutin setiap malam Selasa Kliwon.
Ki Ageng Suryomentaram juga berperan penting dalam pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang kini jadi TNI.

Salah satu ajaran moralnya yang populer hingga kini adalah “aja dumeh” yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan mengecilkan orang lain karena diri berpangkat tinggi, karena pada hakikatnya manusia itu sama.
Suryomentaram juga  merumuskan hidup sederhana dalam NEMSA (6-SA): 
sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samesthine, sabenere.

Sementara itu, ia beranggapan bahwa sumber ketidakbahagiaan adalah keinginan. Wujud keinginan itu ada semat, drajat, dan kramat.
Semat itu berupa kekayaan, kesenangan, kecantikan, ketampanan, dan hal-hal yang biasanya bersifat fisik. Sementara drajat adalah keluhuran, kemuliaan, keutamaan, dan status sosial. Sedangkan kramat adalah kekuasaan, kedudukan, dan pangkat.

Ki Ageng Suryomentaram biasa menyampaikan ceramah dengan kesederhanaan hanya mengenakan celana pendek, sarung, dan memakai kaos.
suatu kali ketika sedang mengadakan ceramah di Desa Sajen, Ki Ageng Suryomentaram jatuh sakit. 
Dia lalu dirawat di rumah sakit namun kondisinya tak kunjung membaik.
Ki Ageng Suryomentaram kemudian meninggal pada Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962. 

Begitulah kiisah Ki Ageng Suryomentaram,ada yang menjulukiya Plato Jawa, seorang Raja juga  Filsuf yang memilih hidup jadi rakyat biasa

Berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.