Pencipta Syiir Tanpo Waton
Selama akhir-akhir ini, sempat booming sebuah syiir yang disebut syiir tanpo waton. Apalagi kemudian syiir itu kemudian tenar dengan sebutan, Syiiran Gus Dur, sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden RI ke 4. Sebutan tersebut muncul lantaran mayoritas masyarakat menganggap syiir itu dilantunkan Gus Dur. Padahal, syiir tersebut tidak diciptakan dan dilantunkan Gus Nidzom Ash-Shofa, Sidoarjo.
Syiir tersebut menjadi lekat dengan nama Gus Dur karena ada yang mengupload syiir itu ke YouTube beberapa saat setelah pemakaman Gus Dur dengan disertai gambar-gambar beliau. Apalagi ummat saat itu dalam suasana duka dengan wafatnya Gus Dur. Dan, memang liriknya mencerminkan ajaran Gus Dur dan suaranya juga mirip.
Gus Nizam justru mengaku terbantu dengan lekatnya Syiir tanpo Waton dengan Gus Dur. Sebab, dengan begitu, syair tersebut semakin tersebar ke masyarakat, di berbagai daerah.
Gus Nizam ternyata telah menyusun syiir ini sejak tahun 2004, jauh sebelum wafatnya Gus Dur pada tanggal 30 Desember 2009.
KETURUNAN MURSYID
Gus Nizam kelahiran Wonoayu Sidoarjo, Jawa Timur, pada 10 Agustus 1973, dari keluarga santri. Kakeknya, Hadratus as-Syaikh al-Mukarram KH. Sahlan Tholib, Krian, Sidoarjo. KH. Sahlan merupakan seorang guru mursyid yang telah menelorkan beberapa orang wali seperti Al Maghfurillah Mbah ‘Ud Pagerwojo, Sidoarjo.
Gus Nizam dididik orang tuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar, beliau melanjut ke sekolah tingkat pertama, setelah lulus kemudian berhenti dan tidak ingin melanjutkan lagi, dengan kondisi yang demikian orang tua beliau selalu memotivasi agar kembali belajar di sekolah. Supaya tidak mengecewakan pria lulusan Timur Tengah ini, mondok di salah satu pesantren selama setahun, dan kemudian melanjutkan sekolah lagi, namun tanpa sepengetahuan abahnya.
Lama-kelamaan Gus Nizam merasa jenuh juga berdiam diri di rumah. Beliau mencoba berkelana ke Jakarta, bahkan sampai kota Medan mencari temannya untuk melanjutkan kehausannya mencari ilmu. Selama di perantauan, Gus Nizam memulai kehidupan yang baru, bergaul dengan berbagai model orang, mulai dari seniman, budayawan, anak-anak jalanan, masuk galeri, bahkan makan dengan kuli-kuli bangunan pun hal biasa. Dari sinilah Gus Nizam belajar banyak tentang ilmu kehidupan, termasuk ilmu sastra, seni dan budaya.
KULIAH DI AL-AZHAR
Sampai pada suatu ketika, beliau mendengar ada kabar dari departemen Agama RI mengadakan semacam tes untuk ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Gus Nizam iseng-iseng mengikuti tes tersebut. Karena hanya iseng, beliau tidak begitu peduli dengan hasilnya. Tiba-tiba, Depag mengirimkan surat panggilan bahwa Gus Nizam termasuk yang lulus. Beliau kebingungan karena belum mempersiapkan segala sesuatunya. Sesampainya di Al-Azhar, Gus Nizam sempat bingung memilih fakultas apa yang akan dimasuki. Saat itu, para petinggi Al-Azhar memutuskan untuk mempertahankan adanya syekh-syekh di Al-Azhar. Akhirnya, dibukalah Al-Qismul Ali li Al Darasah Islamiyyah wa al-Arabiyyah, Studi Keislaman dan Bahasa Arab.
Meski demikian, ruang kuliahnya tidak di kampus seperti pada umumnya, tapi di masjid. Persis seperti pada masa para syekh-syekh menuntut ilmu dahulu. Yang mengajar juga pensiunan Al-Azhar; Materi pelajaran yang distudikan Al-Qismul Ali li Al Darasah Islamiyyah wa al-Arabiyyah terbilang banyak.
Namun, materinya tidak jauh beda dengan pelajaran pesantren, ada tauhid, tafsir, hadits, dan segala macam. Dengan pertimbangan inilah, akhirnya Gus Nizam menentukan pilihannya untuk masuk di fakultas baru tersebut.
Seusai menempuh pendidikan tinggi di Mesir Gus Nizam kembali ke Krian. Beliau menikah dengan pujaan hatinya salah satu keluarga pondok pesantren Peterongan Jombang. Gus Nizam mengatakan, pendidikannya di pondok maupun di sekolah formal memang cuma sebentar, seperti numpang lewat saja. Tapi, beliau banyak belajar dari pergaulan. Gus Nizam punya prinsip, semua orang bisa menjadi gurunya,” pungkas Gus Nizam.
SYIIR TANPO WATON
Syiir Tanpo Waton sejatinya sudah diciptakan jauh hari sebelum Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009. Gus Nizam menyebut syair itu tercipta pada tahun 2004. Saat usianya menginjak pada 30 tahun. Penciptaannya pun butuh proses yang tidak pendek. Kiai yang baru berusia 41 tahun tersebut mengungkapkan, lirik dan lagunya diciptakan dalam kurun waktu dua minggu.
“Syiir itu saya ciptakan saat saya sedang kholwat (menyepi untuk bermunjat kepada ALLooh) di dalam kamar. Kholwat itu sendiri sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga saya,” paparnya.
Gus Nizam mengatakan, masa kholwat dalam tradisi keluarganya paling lama 40 hari. Tapi ada pula yang melaksanakannya 20 hari, 10 hari, dan paling pendek 3 hari. Lirik Syiir tanpo Waton terinsipirasi oleh keprihatinan Gus Nizam atas perilaku ummat saat ini.
Terutama bermunculannya aliran garis keras yang dengan ringannya orang mengecap orang lain kafir. Padahal, Islam itu mengajarkan perdamaian serta mengutamakan toleransi dan silaturahmi.
Saat kholwat pada 2004 itu, Gus Nizam mencoba menuliskan keprihatinannya. “Saya memakai bahasa Jawa campuran. Liriknya sebagian saya ambil dari kalimat kakek saya. Kiai Sahal Sidorangu, Krian,” beber kiai yang selalu merendah tersebut.
Setelah diciptakan, Syiir Tanpo Waton tersebut juga langsung dilantunkan Gus Nizam pada pengajian Rabu malam di pondoknya. Kitab yang dikaji adalah Kitab Jami’ul Ushul fii Auliya’ (Syaikh Ahmad Dhiya’uddin Musthofa Al-Kamisykhonawy) dan kitab Al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmany (Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani) setiap Rabu jam 21:30 WIB.
Saat itu Pondok Ahlus Shofa Wal Wafa masih berada di daerah Tanggul, Wonoayu. Pondokayu tak seberapa luas. Dalam pengajian Rabu malam, Syiir tanpo Waton yang dilantunkan Nizam selalu direkam pengurus pondok dan jamaahnya.
Maka tak heran jika syair tersebut bisa dihafal para jamaah pengajian Rabu malam yang jumlahnya berkisar 2000 orang. Mungkin lagunya jadi begitu enak didengar karena direkam di pondok yang tidak luas sehingga suaranya begitu padat, ucap kyai yang dikaruniai tiga putri tersebut. Soal suara saya yang terdengar lebih tua daripada usia saya, itu karena saya bisa berubah menjadi tua, juga bisa berubah menjadi muda, kelakarnya.
Sebagai pencipta dan pelantun syiir tanpo waton ini, Gus Nizam bersyukur sekali syiir ini beredar luas di masyarakat dengan saran nama Guru Bangsa kita yaitu Gus Dur. Kuatnya label kewalian Gus Dur yang semakin hari semakin berjubel, puluhan ribu peziarah terus memadati makam Al Maghfurllah Gus Dur. Gus Nizam juga mengaku senang sekali jika syiir ini ditempelkan atau dinisbatkan ke Gus Dur. Karena Gus Nizam sendiri mengakui bahwa Gus Dur merupakan salah seorang waliyullah. Itu terbukti di setiap pengajiannya hadiah Al-Fatihah selalu dikirimkan ke Al Maghfirullah Gus Dur untuk mendapatkan keberkahannya.
Kyai dengan suara mirip Gus Dur, itu mengingat, kali pertama rekaman Syiir tanpo waton diputar secara luas oleh Masjid Agung Kota Malang yang dimotori oleh Kyai Marzuki Musytamar ketua PCNU Kota Malang saat itu, sesaat setelah wafatnya Gus Dur. Setelah itu syair tersebut semakin tersebar luas menyusul pengenalan orang-orang bahwa syair itu merupakan syiir Gus Dur.
Kini Syiir Tanpo Waton sudah terdaftar secara resmi di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen HKI Kemenkum HAM).
Nama KH. Mohammad Nizam pun tercantum sebagai penciptanya. “Sebenarnya saya tidak mempedulikan hal itu. Tapi, diam-diam jamaah saya ternyata mendaftarkan hak cipta. Kalau tahu, saya pasti tidak mengizinkannya,” tegas Gus Nizam.
#KHMohammadNizamAshShofa #GusNizam #SyiirTanpoWaton #Sidoarjo #SyiirGusDur #PenggubahSyair #Pujian #NUJatim #SalamSatuNisan #MakamKuno #MakamKeramat #MakamWaliAllah #ZiarahWali #PerawatBudaya #PenjagaTradisi #MakamUlama #MakamLeluhur #ayonyarkub #makamwali
#ayomelusarkub #ayondereksarkub #Sarkub #SarjanaKuburan #SarkubMadiun #ZiarahKubur #UniversitasMenyanIndonesia #FakultasSuwuk #JurusanAkhirat #NgalapBerkah #WisataReligi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.