Salah satu usaha mencegah penularan COVID-19 adalah dengan cara menggunakan masker, khususnya bagi yang sedang terkena flu. Warga yang sedang sakit juga diminta agar tak salat ke masjid dulu agar tak menulari jamaah lainnya.Namun tidak jarang, sebagian masyarakat ketika sedang kurang fit tetap pergi ke masjid dan melaksanakan salat.
Lalu bagaimana hukum memakai masker ketika shalat karena khawatir terkena virus, apakah boleh?
Pada dasarnya, memakai penutup mulut ketika shalat, seperti masker dan lainnya, hukumnya adalah makruh. Tidak dianjurkan memakai masker ketika melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki dan perempuan. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Abud Daud dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, dia berkata;
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ
Rasulullah Saw melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat.
Dalam kitab Al-Majmu, Imam Nawawi menegaskan kemakruhan memakai penutup mulut seperti masker dan lainnya ketika sedang melaksanakan shalat. Beliau berkata sebagai berikut;
ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها… وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة
Makruh seseorang melakukan shalat dengan talatsum, artinya menutupi mulutnya dengan tangannya atau yang lainnya. Makruh di sini adalah makruh tanzih (tidak haram) sehingga tidak menghalangi keabsahan shalat.
Namun demikian, jika pemakain masker dalam shalat sangat dibutuhkan, seperti karena khawatir terkena virus corona, kuman dan lainnya, maka hal itu tidak masalah. Menurut Ibnu Abdil Barr, menutup mulut dengan masker diperbolehkan jika hal itu ada kebutuhan. Hal in sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;
أجمعوا على أن على المرأة أن تكشف وجهها في الصلاة والإحرام ولأن ستر الوجه يخل بمباشرة المصلي بالجبهة والأنف ويغطي الفم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل عنه، فإن كان لحاجة كحضور أجانب فلا كراهة. وكذلك الرجل تزول الكراهة في حقه إذا احتاج إلى ذلك
Ulama sepakat bahwa wajib atas wanita membuka wajahnya di dalam shalat dan ihram (haji/umrah). Karena sungguh penutup wajah itu menghalangi seorang yang melaksanakan shalat (untuk menempelkan) secara langsung dahi dan hidung serta dapat menutupi mulut. Nabi Saw telah melarang seorang laki-laki melakukan hal itu (juga).Jika ada kebutuhan, seperti adanya laki-laki lain (yang bukan mahramnya bereda di dekatnya ketika shalat), maka tidak makruh. Demikian pula lelaki, hukumnya menjadi tidak makruh jika dia butuh untuk menutupi mulutnya.
Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani penggunaan masker saat shalat juga tidak dilarang. Asalkan masker tersebut suci, maka diperbolehkan untuk dikenakan saat shalat. Bila masker yang dipakai terkena najis, maka haram dan tidak sah shalatnya. Beliau mengatakan:
ـ (و) الثاني (الطهارة عن النجاسة) أي التي لا يعفى عنها (في الثوب) أي الملبوس من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك
“Syarat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dimaafkan, di dalam pakaian, mencakup atribut yang dibawa, meski tidak ikut bergerak dengan bergeraknya orang yang shalat, dan disyaratkan pula suci dari najis, perkara yang bertemu dengan hal di atas,” (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, halaman 102).
Bila melihat pertimbangan keutamaan, sebaiknya penggunaan masker dihindari saat shalat, bila penggunaan masker dapat menghalangi terbukanya hidung secara sempurna saat melakukan sujud. Para ahli fiqih bermazhab Syafi’i menegaskan bahwa salah satu yang disunahkan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara sempurna. Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan:
ـ (ويسن في السجود وضع ركبتيه) أولا للاتباع وخلافه منسوخ عل ما فيه (ثم يديه ثم جبهته وأنفه) معا ويسن كونه (مكشوفا) قياسا على كشف اليدين ويكره مخالفة الترتيب المذكور وعدم وضع الأنف
“Disunahkan di dalam sujud, meletakan kedua lutut untuk pertama kali, karena mengikuti Nabi. Nash hadits yang berbeda dengan anjuran ini dinaskh (direvisi) menurut suatu keterangan. Kemudian meletakan kedua tangannya, lalu dahi dan hidungnya secara bersamaan. Dan disunahkan hidung terbuka, karena dianalogikan dengan membuka kedua tangan. Makruh menyalahi urutan yang telah disebutkan, demikian pula makruh tidak meletakan hidung,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyatut Tarmasi, juz III, halaman 36). Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjelaskan sebagai berikut:
قوله ويسن كونه اي الانف قوله مكشوفا قياسا على كشف اليدين لم يذكر هذا القياس في التحفة، وعبارة شيخ الاسلام ثم يضع جبهته وانفه مكشوفا للاتباع رواه ابو داود وغيره الخ ومقتضى هذا رجوع الاتباع للكشف ايضا فليتأمل وليراجع
“Ucapan Syekh Ibnu Hajar dan sunah terbukanya hidung karena dianalogikan dengan membuka tangan, Syekh Ibnu Hajar tidak menyebutkan analogi ini dalam kitab al-Tuhfah. Adapun redaksinya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari adalah, kemudian sunah meletakan dahi dan hidungnya dalam keadaan terbuka karena mengikuti Nabi. Hadits riwayat Imam Abu Daud dan lainnya. Tuntutan dari redaksi ini adalah kembalinya alasan mengikuti Nabi kepada persoalan membuka hidung juga. Berpikirlah dan periksalah kembali,” (Lihat Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, juz III, halaman 36).
Demikian penjelasan mengenai hukum memakai masker saat shalat. Simpulannya, sebaiknya penggunaan masker dihindari bila sampai menghalangi terbukanya hidung secara sempurna ketika sujud. Solusi agar tetap mendapat keutamaan adalah, penggunaan masker tidak sampai menutupi bagian hidung, atau saat prosesi sujud, bagian hidung dibuka.